6 (kabur)

25.1K 1.6K 19
                                        

Aku membiarkan suasana sore yang tenang meredakan rasa rinduku kepada adikku, Rasen. Meski sering menyebalkan saat bersama, di sisi lain, aku sangat merindukannya ketika jauh dariku. Kicauan burung yang beterbangan berpasang-pasangan seperti meledek statusku yang masih sendiri. Namun, aku tak mempersoalkan hal itu.

"Memulai kisah cinta harus siap menerima konsekuensi patah hati di kemudian hari. Aku bukan mati rasa, hanya pernah merasakan cinta yang begitu tulus, lalu dihancurkan dengan cara paling kejam," ucapku pelan, menatap langit yang mulai berawan.

Dua tahun lalu, aku pernah berpacaran. Dia gadis manis dengan tutur kata lembut yang membuatku jatuh cinta tanpa ragu. Namun, di hari ulang tahunku yang ke-16, aku mendapat kejutan paling menyakitkan. Kukira dia hanya mengerjaiku, tapi nyatanya dia berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Aku tak ingin percaya sampai Rasen sendiri yang memberitahuku. Dia melihat mereka jalan bersama. Aku pun mencari tahu kebenarannya, dan rasa sakit itu menjadi nyata.

"Cinta bisa membawa kita terbang tinggi, lalu menjatuhkan kita dengan keras saat pengkhianatan datang," gumamku pahit.

Pengalaman itu membuatku belajar memilih teman yang benar-benar bisa dipercaya, bukan hanya teman yang berkedok musuh dalam selimut.

"Aditya!" suara Adrian memanggil dari belakang.

Aku merogoh saku celana, mengeluarkan rokok, lalu menyalakannya. Asap tembakau perlahan menguap ke udara, sedikit mengalihkan rasa sakit yang menyerang kepala bagian belakang. Kanker otak Aditya kerap membuatku kesakitan, dan aku sudah terbiasa dengan itu.

"Sejak kapan kau merokok?" tanya Adrian, terlihat terkejut.

"Di bungkus rokok tertulis: ‘Merokok membunuhmu.’ Kupikir ini cara cepat untuk mati. Bukankah itu keinginan kalian semua?" balasku santai.

Adrian terdiam, menatapku penuh rasa bersalah. "Setelah koma, sikap takutmu berkurang drastis kepada kami," gumamnya.

Aku mengembuskan asap rokok sambil melirik Adrian sekilas. "Aku makan nasi seperti kalian. Untuk apa aku takut pada manusia yang bukan pencipta kehidupanku?"

"Tapi kau hadir karena papa dan mama, dek. Mereka semua mengkhawatirkanmu. Kau tidak sadar setiap ucapanmu menyakiti kami," ucap Adrian, suaranya mulai bergetar.

Aku menaruh rokok di sisi balkon. "Kupikir kalian tidak punya hati," sahutku dingin.

Adrian mendekat, berniat menyentuh pundakku, tapi aku mendorongnya kasar. Aku muak dengan sandiwara mereka, terutama Adrian—kakak kedua Aditya yang dulu tak pernah peduli. Saat Aditya disiksa di depan matanya, dia hanya diam, tuli terhadap jeritan adiknya sendiri.

"Pergi," ucapku tegas.

"Dek!" Adrian mencoba bertahan, tapi aku menendangnya keras. Salah satu giginya terlepas akibat tendanganku. Namun, aku tak peduli. Wajahku tetap dingin.

Aku mengambil cutter dari meja belajar Aditya, lalu menancapkannya di dinding tepat di samping kepala Adrian. Wajahnya berubah ketakutan.

"P-E-R-G-I," ucapku mengeja dengan dingin.

Adrian berdiri tergesa dan pergi membanting pintu kamarku keras-keras. Aku hanya menghela napas, lalu mencari obat pereda rasa sakit di tas sekolah Aditya. Menelannya tanpa air, aku merasakan rasa pahit yang seakan menambah penderitaan ini.

"Sayangnya, Dit, kau melarangku membunuh keluargamu. Andai kau izinkan, dengan senang hati aku akan melakukannya sekarang juga," gumamku sambil menyeringai.

Aku sadar, di balik sikapku yang terlihat kalem, ada sisi gelap yang haus akan darah. Rasen bahkan pernah bercanda bahwa aku sedikit psikopat, dan aku tak menyangkalnya. Di depan orang tua, aku dikenal sebagai anak yang hangat, tapi di belakang mereka, aku tak segan menghajar orang demi memuaskan sisi gelapku.

Bosan, aku memutuskan untuk kabur dari "neraka" ini. Mengobrak-abrik lemari, kutemukan hoodie hijau tua. Bukan warna favoritku, tapi cukup. Aku melihat ke sekeliling kamar. Ada dua CCTV terpasang. Pasti ulah Satria. Aku mengambil batu kecil dari tas, memecahkan kedua CCTV itu. Batu ini selalu kubawa sejak kecil, kebiasaan aneh yang membuat Rasen sering bingung.

Setelah memastikan tidak ada rekaman, aku memanjat balkon menuju atap. Dari sana, aku mengamati situasi. Setiap sudut rumah dijaga ketat, kecuali bagian belakang yang hanya dijaga dua orang.

Aku turun perlahan, mendekati dua penjaga. "Paman, bisa bukakan pintu? Papa menyuruhku memeriksa sesuatu di belakang," ujarku tenang.

"Area belakang berbahaya, Tuan Muda."

"Hanya sebentar, Paman," jawabku, mencoba meyakinkan mereka.

Mereka akhirnya membuka pintu, dan tanpa membuang waktu, aku berlari secepat mungkin menjauh dari rumah itu. Ingin segera lenyap dari kehidupan keluarga Aditya, dan akhirnya mati dengan tenang di tubuhnya.

Suasana semakin mencekam. Suara burung hantu saling bersahutan, menciptakan nuansa horor yang menyelimuti hutan buatan ini. Namun, rasa takut bukanlah sesuatu yang akrab denganku. Sejak kecil, ayahku selalu berkata, "Anak laki-laki tidak boleh takut pada apa pun. Satu-satunya yang harus kau takuti adalah Tuhan dan orang tuamu." Aku memegang prinsip itu hingga kini, meskipun pada kenyataannya aku telah melanggar banyak hal, termasuk menyakiti orang tua.

Satu jam aku berjalan, hanya ditemani kesunyian dan suara angin yang menggesek dedaunan. Akhirnya, aku tiba di ujung hutan. Pemandangan jurang gelap tanpa dasar menyambutku. Aku berhenti sejenak, mencari jalan lain yang lebih aman. Waktu Aditya di tubuh ini masih cukup lama, jadi aku harus berhati-hati. Tak jauh dari jurang, aku melihat jalan setapak yang tampak jarang dilalui. Tanpa ragu, aku memilih jalan itu.

Setelah memastikan tidak ada yang mengejarku, aku melepas hoodie hijau tua yang kukenakan. Aku mengambil cutter dari saku celana, lalu mulai merobek-robek hoodie itu dengan hati-hati. Kain itu kugunakan sebagai alat untuk menipu mereka, membuat mereka percaya bahwa aku—atau tepatnya, Aditya—tidak lagi ada.

Suara samar-samar terdengar dari kejauhan. Seseorang memanggil nama Aditya dengan nada cemas. Aku segera berlari mengikuti jalan setapak, berusaha menghindari mereka. Langkahku terhenti ketika kudengar suara ayah Aditya, diikuti ketiga kakaknya. Aku mengintip dari balik semak, melihat mereka berdiri di tepi jurang. Wajah mereka tampak penuh kesedihan, memandang ke arah hoodie yang telah kulumuri darah palsu dan kutinggalkan di dekat tepi.

"Ini satu-satunya cara agar keluarga lu sadar, Dit. Kadang, kehilangan adalah pelajaran paling kejam, tapi juga paling efektif," batinku, menatap mereka dari kejauhan.

Setelah memastikan mereka percaya dengan apa yang mereka lihat, aku bergegas pergi. Meninggalkan mereka dengan duka yang kurancang, aku berjalan menjauh dari hutan itu menuju jalan besar. Setelah beberapa saat, aku berhasil menemukan tumpangan.

Tujuanku jelas—rumah Rizky. Untuk sementara waktu, aku memutuskan menginap di sana. Ini bukan pelarian. Ini adalah kesempatan untuk menata strategi, jauh dari drama keluarga Aditya yang penuh kepalsuan.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Minggu 04 September 2022

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang