Aku membiarkan suasana tenang di sore hari meredakan rasa rinduku kepada adikku Rasen. Rasen memang menyebalkan saat dekat denganku, di satu sisi aku sangat rindu apabila jauh dari dengannya.
Burung berterbangan saling berpasang-pasangan berkicau riang seperti meledekku yang masih jomblo ini, tapi aku tidak mempersalahkan tentang status lajangku saat ini.
"Memulai kisah cinta itu harus bisa menerima konsekuensi dipatahkan di kemudian hari. Aku bukan mati rasa tapi pernah merasakan jatuh cinta sangat tulus dengan seseorang, namun dia malah menghancurkan perasaan tulusku," ucapku.
Aku pernah berpacaran dua tahun yang lalu, dia sosok gadis yang manis tutur kata dia lemah lembut bahkan aku tidak mengira dia begitu tega meninggalkan aku begitu saja.
Mantanku berselingkuh di hari ulang tahunku ke-16 tahun kukira dia hanya melakukan semacam prank di hari itu, nyatanya dia malah bermain di ranjang dengan pria yang merupakan teman dekatku dulu. Rasen yang mengatakan itu semua padaku selesai acara ulang tahunku, dia bilang melihat mantanku jalan bersama teman dekatku, awalnya aku tidak percaya tapi demi membuktikan kebenaran aku telusuri yah aku mendapatkan fakta yang sangat menyakitkan itu.
"Cinta membawa kita melayang setinggi langit, dan dijatuhkan sangat keras saat menerima pengkhianatan yang amat pedih," ucapku.
Aku tidak membenci sebuah pertemanan. Tapi dari pengkhianat pertemanan di masa lalu aku belajar untuk memilih teman yang benar-benar harus ku percaya bukan hanya teman berkedok musuh dalam selimut.
"Aditya!" panggil Adrian.
Aku mengambil rokok di saku celanaku menyalakan tembakau ini menyalurkan rasa sakit di belakang kepalaku. Kanker otak Aditya menyerang bagian belakang kepala jadi aku tidak kaget apabila sakit ini terus menyerangku.
"Sejak kapan kau merokok?" tanya Adrian.
"Di bungkus rokok tertera apabila terlalu banyak merokok akan membunuhmu, kupikir aku akan menggunakan cara itu agar segera mati seperti keinginan kalian semua," ujarku santai.
"Setelah bangun dari koma sikap takutmu berkurang drastis kepada kami semua," ucap Adrian.
Aku menghembuskan asap rokok kearah langit sedikit melirik kearah Adrian sejenak. "Kalian dan aku memakan nasi untuk apa aku takut kalian yang bukan menciptakan aku ada disini," ucapku.
"Tapi kau hadir karena papa dan mama dek. Mereka semua mengkhawatirkan keadaanmu, dek. Setiap ucapanmu menyakiti hati kami semua," ucap Adrian sedu.
Aku menaruh rokok di sisi balkon. "Kukira kalian tidak punya hati," ucapku.
Adrian mendekat kearahku saat dia akan menyentuh pundakku, aku mendorong tubuh Adrian tidak ingin disentuh oleh kakak kurang ajar seperti dia. Adrian kakak kedua Aditya tidak peduli sama sekali ketika Aditya disiksa di depan mata dia sendiri, bahkan Adrian seolah tuli akan jeritan kesakitan Aditya saat disiksa ayahnya.
"Pergi lu dari sini," usirku.
"Dek!" panggil Adrian.
Aku menendang Adrian kesal akan ucapan penolakan dari dia aku benci sosok dia di luar sana banyak yang mengagumi sosok dia, tapi bagiku dia sosok pria menyebalkan dan harus kulenyapkan segera.
Adrian terbatuk akibat tendanganku salah satu gigi Adrian copot akibat tendanganku, aku sendiri wajahku menampilkan wajah tidak peduli soal itu.
Aku mengambil sesuatu di meja belajar Aditya sebuah cutter yang biasa digunakan Aditya menyakiti diri sendiri. Aku menancapkan cutter tersebut tepat di sebelah kepala Adrian membuat dia ketakutan akan tindakanku barusan.
Aku menyeringai melihat wajah ketakutan Adrian. "P-E-R-G-I," ucapku mengeja satu-persatu kata.
Adrian bangun dan langsung pergi dari kamarku begitu saja, dia membanting pintu kamar sangat keras sekali. Aku mencari obat pereda rasa sakit di tas sekolah, lalu meminumnya sekaligus tanpa air sama sekali.
"Sayangnya lu gak bolehin gua bunuh keluarga lu, Dit. Andai lu mengizinkan gua dengan senang hati membunuh seluruh keluarga lu saat ini juga," ucapku.
Aku mungkin terlihat kalem di luar padahal aku sering tertawa gila saat melihat darah segar bahkan Rasen bilang aku sedikit psikopat. Aku tidak menyangkal fakta itu, di depan kedua orangtuaku mereka mengenalku sebagai pribadi yang hangat, tapi menghajar seseorang yang mengganggu adikku hanya alibiku memuaskan rasa hausku melihat darah segar dari tubuh seseorang.
Memutarkan cutter akibat rasa bosan menyerangku, aku baru sadar selama menempati tubuh ini, aku hanya berdiam diri terus di kamar ini, lebih baik aku mencari kegiatan yang bermanfaat di tubuh Aditya. Aku memiliki ide cemerlang seketika beberapa hari lalu dibully di sekolah daripada bosan hajar mereka saja.
Mengobrak-abrik lemari baju kutemukan hodie berwarna hijau tua padahal aku mengharapkan warna hitam, tapi tidak masalah sih ini juga tidak terlalu mencolok. Aku melihat sekeliling mencari cctv di sekitar sini agar mudah aku keluar dari kamar. Ada dua cctv terpasang disini entah maksudnya apa mungkin ulah si ayah menyebalkan itu.
Aku mengambil batu di tas milikku, dan memecahkan kedua cctv tersebut tidak mau direkam oleh siapapun. Jangan tanya aku mendapatkan batu itu darimana sebab aku selalu memungut batu setiap pulang sekolah, aneh sih tapi itu menyenangkan saja bagiku. Kegiatan memungut batu sudah kulakukan sejak masuk sekolah dasar sampai saat ini bahkan Rasen saja kebingungan akan hal itu.
Urusan cctv beres aku keluar balkon menuju keatap rumah memantau situasi sejenak sebelum kabur dari neraka dunia ini. Kulihat ada beberapa bodyguard di depan gerbang menjaga pintu masuk, dari arah kolam renang juga sama, ternyata setiap sisi rumah tidak ada celah, namun di sisi belakang hanya ada dua penjaga jadi aku bisa lewat sana.
Aku turun secara perlahan-lahan dari atas atap rumah menghampiri kedua penjaga di belakang rumah sekedar menyapanya mungkin.
"Paman bisa buka pintu gerbang aku disuruh papa melihat sesuatu yang janggal di belakang sana," ucapku.
"Kawasan di belakang sangat berbahaya tuan muda,"
"Hanya beberapa menit saja kok paman," ucapku.
"Baiklah, tuan muda,"
Pintu gerbang terbuka secepat kilat aku berlari menjauh dari gerbang ingin segera menghilang dari keluarga Aditya, dan mati dengan tenang di raga Aditya.
Suasana memang menakutkan suara burung hantu saling bersahutan menambah kesan horor di hutan buatan ini. Aku tidak kenal takut apapun kata ayahku anak laki-laki tidak boleh takut apapun hanya boleh takut dengan kedua orangtua dan Tuhan. Aku memegang prinsip itu sampai saat walaupun melanggar janji menyakiti orang tua sih.
Satu jam hanya ada suasana horor yang mengelilingiku akhirnya ada berada di ujung hutan buatan ternyata hanya ada jurang tak berdasar. Aku mencari jalan yang tidak membahayakan mengingat waktu Aditya masih sedikit lama. Aku menemukan jalan setapak dekat jurang jadi aku memilih jalan tersebut, dan melepaskan hodie yang kugunakan mengambil cutter yang kubawa merobek-robek sedemikian rupa menipu seluruh keluarga Aditya.
Kudengar ada suara orang memanggil nama Aditya dengan segera aku berlari menuju jalan setapak menghindari mereka semua. Bersembunyi dari mereka kulihat ada ayah dan ketiga kakak Aditya nampak sedih melihat hodie yang berlumuran darah di atas jurang.
"Gua gak bisa membantu lu banyak, Dit. Cara satu-satunya agar keluarga lu sadar hanya dengan kehilangan lu untuk selamanya," batinku.
Mereka pergi aku juga pergi secepat mungkin menuju jalan mencari tumpangan menuju ke rumah Rizky sementara waktu aku memutuskan menginap disana.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Minggu 04 September 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...