"Hidup itu ibarat roda yang terus berputar. Kita tidak tahu kapan roda itu akan membawa kita ke atas dan kapan roda itu akan menghempaskan kita jauh ke bawah."
"Samchoon... apa benar appa?" Ji Hyun menelpon sambil mencoba mengatur nafasnya yang semakin menghilang. Jantungnya terus berdetak dengan cepat seperti akan meledak sebentar lagi. Nyawanya seperti pergi dari dirinya sekarang.
Ia habis berlari dari parkiran menuju kamar jenazah. Nafasnya seakan terhenti begitu mendengar ayahnya telah meninggal akibat serangan jantung. Sebelum tiba di rumah sakit, Ji Hyun menyalakan ponselnya dan menemukan puluhan panggilan tak terjawab dan puluhan sms dari pamannya. Ia sangat menyesal karena tidak mengindahkan telepon dari pamannya.
"Ke mana saja kau? Aku sudah menelponmu berkali-kali, kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Apa kau tidak tahu apa yang sudah terjadi pada ayahmu?" Ji Nam meletakkan kedua tangannya di pinggang dan membalikkan badan.
Ia menarik nafas panjang, memijat dahinya menggunakan kedua jari kanannya. Ia mencoba menahan emosinya. Ia tidak habis pikir, kenapa keponakannya ini tidak pernah bisa bersikap dewasa. Selalu saja bermain dan bermain. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan keponakannya itu selain belanja dan berpesta.
Ji Nam tidak ingin menambah keruh suasana. "Maafkan aku, tidak seharusnya aku marah-marah padamu. Aku harus secepatnya mengurus pemakaman hyeong. Kau juga harus bersiap-siap," Ji Nam meletakkan tangan kanannya di bahu Ji Hyun sebelum akhirnya berjalan keluar.
Ji Nam terlihat sangat pucat. Kematian kakaknya yang tiba-tiba membuatnya terlihat sangat terkejut, sama seperti Ji Hyun. Kakaknya itu memang mempunyai penyakit jantung bawaan. Mendengar perusahaannya bangkrut total membuat kakaknya itu mengalami serangan jantung dadakan yang merenggut nyawa ayah beranak satu tersebut. Perusahaannya kali ini sudah tidak dapat tertolong lagi dan dinyatakan pailed. Semua asset perusahaan pun sebentar lagi juga akan di tarik oleh bank.
Badan Ji Hyun terasa lemas melihat sosok ayahnya yang sudah terbujur kaku di hadapannya. Ayahnya yang kini sudah meninggalkannya. Tidak ada lagi orang yang memanjakannya, tidak ada lagi orang yang ia rindukan, tidak ada lagi orang yang memanggilnya gadis kecilku, tidak ada lagi yang ia panggil appa.
Air matanya mengalir deras di kedua ujung pelupuk matanya. Kedua lututnya jatuh menyentuh lantai. Semua tulangnya seakan lepas dari tubuhnya sehingga badannya terhempas lemas. Ia bahkan tidak punya tenaga lagi untuk mengusap air matanya yang terus mengalir membasahi pipinya.
"Appa!!!" ia berteriak keras memanggil ayahnya yang kini pergi dan tidak akan kembali lagi. "Appa!!!"
Ji Nam menghentikan langkahnya. Suara teriakan dan tangisan Ji Hyun terdengar sangat jelas di kedua telinganya. Suara yang terdengar pilu di telinga Ji Nam. Hatinya terasa teriris mendengar teriakan dan tangisan Ji Hyun. Keponakannya itu sekarang sudah menjadi yatim piatu.
Ia menyandarkan punggungnya di tembok. Bahunya bergetar hebat, nafasnya turun naik tidak menentu dan tangisannya pun tidak terbendung lagi. Ia tidak bisa mengendalikan kesedihannya yang tak terkira. Hanya sekali ia menangis dalam hidupnya, saat kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan. Dan sekarang ia menangis lagi setelah bertahun-tahun lamanya.
Suster-suster yang berlalu lalang di hadapannya menatap miris wajahnya tapi Ji Nam tidak peduli. Pandangan suster-suster itu penuh rasa kasihan. Mereka sudah terbiasa melihat orang yang menangis histeris di depan ruang jenazah. Kehilangan orang yang kita sayangi memang terasa sangat menyakitkan dan menyayat hati. Membuat kita terlarut dalam kesedihan yang terdalam.
***
Tiga hari setelah pemakaman, Ji Hyun terbangun dengan kepala penat. Semalam ia minum bersama dengan teman-temannya dan berpesta sampai dini hari untuk menghilangkan kesedihannya. Ia ingin melupakan kesedihan yang menimpanya, tetapi tampaknya dengan minum-minum tidak akan menyelesaikan masalahnya. Ia hanya akan terbangun dengan tubuh lemas dan kepala yang berat seperti batu.
Ji Hyun merasakan luka yang cukup besar menganga di hatinya karena kehilangan orang yang sangat berharga dalam hidupnya atau lebih tepatnya orang yang menyokong semua kebutugan Ji Hyun selama ia hidup. Ji Hyun masih mengenakan piyama setelah mendengar suara ribut yang ada di bawah rumahnya.
Dengan langkah gontai, ia membuka pintu kamarnya dan berjalan menuju lantai bawah. Matanya membelalak begitu melihat sekumpulan pria berpakaian hitam-hitam mendorong-dorong bibi Hwan. Tanpa pikir panjang, Ji Hyun langsung berlari menuju mereka.
"Ada apa ini?" ia menghalangi seorang pria bertubuh kekar yang mencoba mendorong bibi Hwan.
"Kami hanya memberikan waktu dua hari untuk mengosongkan rumah ini," ucap salah satu pria sebelum akhirnya membalikkan badan dan berjalan menuju pintu keluar. Wajahnya tampak sangat sangar sekali sehingga bisa membuat siapa saja merinding ketakutan.
Ji Hyun yang gemetar ketakutan tidak berani mengatakan apa-apa lagi meski saat ini dirinya sudah dibuat bingung oleh pria sangar itu. Beribu tanda tanya berlalu lalang di kepalanya.
"Bibi Hwan, sebenarnya apa yang terjadi?" Ji Hyun bertanya pada kepala pembantunya itu.
"Agassi, kita harus secepatnya keluar dari rumah ini. Rumah ini sudah digadaikan oleh tuan muda Ji Nam," perkataan bibi Hwan membuat aliran darah Ji Hyun memuncak hingga ke kepala. Ia berlari menuju kamar pamannya dengan wajah yang membara.
"Agassi...agassi..." bibi Hwan mencoba menghalangi Ji Hyun. Ji Hyun tidak mengindahkan perkataan bibi Hwan.
"Samchoon!" ia membuka pintu kamar pamannya yang tidak terkunci dan membanting pintu itu dengan kasar. Dirinya tampak sudah terbakar amarah. Ji Hyun tidak menemukan pamannya. Ia membuka pintu kamar mandi dan tetap tidak menemukan pamannya.
Tangan Ji Hyun menyambar gagang telepon yang terletak di samping tempat tidur pamannya. Tangannya dengan cepat menekan angka-angka yang merupakan nomer ponsel pamannya. Bukan suara pamannya yang ia dengar di seberang telepon, tetapi hanya nada tut tut tut yang terdengar. Ji Hyun membanting telepon itu dengan kesal.
"Agassi," bibi Hwan tampak hati-hati berbicara dengan Ji Hyun. "Tuan muda Ji Nam sudah pergi pagi-pagi tadi membawa koper besar," bibi Hwan menundukkan kepalanya, ia merasa sangat bersalah karena telah membiarkan tuan mudanya itu kabur.
Ji Hyun berjalan cepat menuju lemari pamannya. Ia membuka pintu lemari dan mendapati isi lemari yang kosong. Ia mengepalkan kedua tangannya. Giginya berbunyi gemeletuk, ia menarik nafas panjang dan berteriak dengan kencang, "SAMCHOOOON!!!" teriakan Ji Hyun membahana ke seluruh penjuru rumah.
***
Notes:
* Appa adalah ayah
* Agassi adalah nona
* Samchoon adalah paman dari pihak laki-laki
![](https://img.wattpad.com/cover/319410304-288-k527401.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rooftop Melody
RomanceRoda kehidupan Ji Hyun berputar hanya dalam satu hari. Dirinya yang merupakan keturunan konglomerat Korea berubah jadi gadis miskin dan harus tinggal di rooftop sempit dengan uang seadanya. Pertemuannya dengan Hyun Soo yang merupakan tetangga roof...