Catatan: tulisan milik Amarel sudah selesai. Kembali lagi dengan saya:D
—
"Jadi, setelah Az sembuh, kita keliling Jakarta yuk!?" Tanya gadis bercepol satu dengan raut senang. "Naik kereta aja, kita dari Jurang Mangu terus ke Banten, nanti baliknya ke Stasiun Senin." Lanjutnya.
Lima pasang mata lainnya menatapnya ngeri. "Mau buat kita yang gantian sakit, Il?" Tanya yang lainnya. Si perempuan muda dengan balutan dress biru dongker motif bunga kesayangannya.
"Ayo saja. Saya ambil cuti."
"Susun jadwalnya; kemana aja, kapan, janjian jam berapa. Mau bareng, Ndy?"
Iloria memutar matanya refleks setelah mendengar suara berat yang menawarkan sesuatu pada perempuan bernama Indyra. "Mau lah." Ia pun langsung menyemburkan tawanya mendengar jawaban Indy.
"Saya kira bakal ditolak.." Ungkap Anneliese yang berada di sebelah kanan Indyra. "Oh, engga lah. Kesempatan langka manusia ini ngajak aku pergi bareng." Dengusan terdengar di akhir kalimatnya disambut kekehan kecil dan usapan hangat di kepala Nadya Indyra yang diberikan oleh sang penawar tadi.
Gelengan tercipta dari masing-masing orang yang berada di kamar Azrikha. "okeh! Tunggu Az sembuh, nanti jalan-jalan~" Senyuman lebar terulas dari pipi pucatnya.
Saat ini Azrikha tengah sakit tifus hingga ia perlu dirawat di salah satu rumah sakit di bawah naungan keluarga Maheswari. Dengan nama yang ia miliki, Azrikha mendapatkan kamar kelas VVIP dengan fasilitas lengkap bahkan diizinkan dijenguk lebih dari dua orang—enam tepatnya. Azrikha tentu saja senang teman-teman dan orang yang sangat ia sayangi datang sewaktu ia sakit. Kapan lagi, pikirnya.
"Tapi, emang kita mau kemana aja?"
Suara 'hm' panjang tercipta dari mulut Iloria yang tengah berpikir. "Kotu, Monas, yah sekitar Jakarta aja." Jawabnya asal. "Entah kenapa kelihatan bakal capek banget.." Timpal sang adik, Lilyana, perempuan yang lebih suka mendekam di perpustakaan tanpa berpergian.
"Sejak kapan yang namanya jalan-jalan ga capek, Lils?" Elusan singkat pada rambut sebahu milik Lilyana membuatnya menoleh pada si pelaku yang tak lain kakaknya sendiri, Sagara. Laki-laki yang berbeda enam tahun itu tersenyum tipis; sangat tipis yang mana hanya bisa dikenali oleh Lilyana dan Iloria saja."Sejak kapan Lily ga ngeluh tiap kali diajak pergi?" Sindir Iloria. "Yah, kecuali diajak ke pantai atau laut, baru dia diam."
Suara tawa kecil terdengar serak, sang penghuni kamar rumah sakit rupanya bersuara. "Kak Lil kan selalu begitu. Mengeluh tiap kita jalan-jalan~" ucapnya dengan senyum merekah.
*****
Dua jam berlalu begitu saja. Masa jenguk sudah habis. Dan kini waktu makan siang Azrikha. Ibunya sudah datang bersamaan dengan perawat rumah sakit yang membawanya makanan untuk makan siang. Raut bahagia tercipta setelah kedatangan empat orang kesayangannya— Ann, Indy, Lily, Ilo.
"Ma, Az diajak keliling Jakarta kalau udah sembuh. Boleh?" Suapan pertama masuk ke dalam mulutnya. Meski rasanya tidak enak, tapi Azrikha harus memakannya agar ia cepat sembuh dan rencana teman-temannya tadi bisa dijalankan.
"Engga."
Kunyahan mulutnya berhenti. "Kenapa? Az udah janji—" "Engga, ga ada keluar sampai nilaimu naik lagi!" Ibunya memotong perkataan Azrikha dengan cepat dan tegas.
"Az janji akan naikin nilai setelah sembuh. Az pingin jalan-jalan." Azrikha meletakkan nampan berisi makan siangnya. Ia menatap lekat wanita setengah abad yang telah melahirkannya. "Boleh ya, ma?"
Gelengan tegas diberikan oleh sang ibunda. Hasil tawar menawar mereka telah selesai. "Ga ada pergi-pergian. Kamu itu calon dokter, Azrikha! Mana ada dokter yang nilainya kecil kayak kamu itu?!" Bentaknya dengan jari telunjuk mengacung pada wajah anak sulungnya.
"Tapi, ga akan ada yang tau nilai pertengahan semester gini, ma.." Azrikha mencicit mengeluarkan suaranya. "Bahkan jika Az kerjapun mereka engga akan tau soal nilai—"
"OMONG KOSONG MACAM APA ITU, AZRIKHA?!" Wanita itu melempar pakaian kering milik Azrikha yang seharusnya masuk dalam lemari sebagai baju ganti untuk sore nanti. Azrikha berjengit pelan, matanya menunduk menatap piringan putih polos itu. "Kalau kamu mau jadi dokter, kamu harus lakuin yang terbaik. Bukan nilai 75 pada ujian tengah semestermu! Apa-apaan itu?! Bahkan adikmu bisa mendapatkan seratus. Seratus, Azrikha!"
Tatapan gadis 20 tahun itu semakin menunduk, ia biarkan suara sang ibunda menggelegar menusuk telinganya. Sakit. Tapi, ia sudah biasa walaupun sebenarnya Azrikha ingin sekali membungkam mulut wanita tersebut agar diam. Lelah ia mendengarkan ocehan ibunya mengenai nilai-nilai yang menjadi standar kepintaran.
"Ma, itu kan nilai untuk mata kuliah peminatan bukan di mata kuliah wajib—" plak! Azrikha ditampar. Suara tamparannya terdengar nyaring di dalam ruangan 4 × 3 itu. Tetes infus dan detik jam terdengar kasar menemani hening mereka.
Nyeri. Untung perawat tadi sudah keluar. Atau Azrikha tidak tahu harus menampilkan wajah apa melihat ibunya menampar pipi anak perempuannya. Dengusan kasar terdengar dari sosok wanita yang seharusnya menyayangi dan merawatnya ketika sakit.
"Sekali lagi saya mendengar jawaban tidak berguna seperti itu, jangan harap kamu bisa melihat matahari lagi, Azrikha!"
Suara hentakan kaki berbalut heels menabrak lantai pualam di kamar tersebut menjauh. Bantingan pintu kamar VVIP terdengar tajam di telinga Azrikha yang tengah sakit. Setetes air mata mengalir dari bola mata berwarna hitam pekat tanpa disadari pemiliknya. Azrikha sudah terbiasa dengan bentakan dan makian ibunya, tetapi tidak bisakah sekali saja ia dibiarkan? Az lagi sakit loh.. bisiknya pada dirinya sendiri.
Suara derit pintu terdengar kembali, Azrikha dengan cepat mengusap pipinya kasar. Merapihkan kembali nampan makannya dan menaruhnya pada meja kecil di sebelah ranjang rumah sakit. Ia berpura-pura menyibukkan diri dan mengabaikan siapa yang memasuki ruang inapnya.
Buk! Buku-buku jatuh di kasurnya. Buku setebal 200 lembar itu jatuh di depannya. Belum ada lima belas menit ibunya pergi, wanita itu kembali dengan silabus perkuliahannya yang Azrikha duga memang sudah disiapkan sebelumnya. Ada sekitar empat jenis buku.
Azrikha menutup matanya lelah. Secara tidak sadar helaan nafas panjang dikeluarkan dari mulutnya. Ibunya mendelik mendengar suaranya. "Pelajari. Ujian akhir semestermu akhir bulan ini. Kalau kamu belum sembuh dan tidak mendapat nilai sempurna, kamar kosong di bawah tanah itu menunggumu."
Kemudian wanita yang berusia setengah abad berjalan menjauhi ranjangnya dan keluar. Suara denting jam memenuhi kamar rawat Azrikha. Si gadis yang selalu dituntut untuk sempurna. Bulir air mata mengalir perlahan menuju pipi tirusnya yang mengurus selama ia sakit. Azrikha akui dirinya lelah. Lelah menjadi anak sempurna sesuai kemauan orang tuanya. Lelah menjadi dirinya yang bahkan ia tidak tahu sebenarnya siapa. Lelah bertumpuk. Isak tangis pun terdengar pelan. Azrikha hanya bisa memeluk dirinya sendiri.
*****
Tepukan ringan di atas kepalanya membuat Azrikha mendongak dan menatap siapa pelakunya. Senyuman tipis terbit di sela-sela air mata yang mengalir. Ganez. Pria itu janji akan datang pagi ini dan tepat ketika ia membutuhkannya. Direngkuh tubuh pria berusia 21 tahun itu, dan ia pun dilingkupi dekapan tubuh Ganezhwa.
"Tenang, ya. Aku temenin Az disini.." Bisik laki-laki itu pelan sembari mengelus lembut punggung perempuan yang ia cintai. "Ga apa. Nanti kita belajar bersama, kay?" Disambut anggukan kecil dari gadis dalam pelukannya.
Azrikha tau dirinya hanya perlu bertahan sebentar lagi. Tetapi sampai kapan? Kapanpun asal ia tetap bersama teman-temannya. Asalkan mereka tetap ada, Azrikha pasti bisa bertahan. Hanya saja.. Azrikha lupa bahwa dunia berputar, entah sampai kapan ia menutup mata bahwa mereka —Annelies, Iloria, Lilyana, Indyra dan dirinya— mulai berantakan.
Entahlah.
*****
Lyn, 31 Agustus 2022
YOU ARE READING
Illusion
Short StoryTangan itu bergerak lamat, menuliskan bait-bait kata yang tersusun menjadi kalimat. Ia hanya menginginkan ketenangan. Pikirannya kacau, jadi dia memutuskan untuk menulis semua isi kepalanya. Di dalamnya terdapat bermacam-macam cerita. Penuh deskrip...