Rambut sebahu itu berkibar seiiring langkah kakinya yang cepat. Besar dan tegas menjadi ciri khas perempuan yang berusia dua puluh tiga tahun itu. Minggunya saat ini buruk sekali. Dua hari lalu ia kumat dan membuat semua orang di kantornya panik —padahal ia hanya menangis—. Dan hari ini dia merasa akan meledak lagi. Usapan kasar dari tangan kurusnya pada pipi tirusnya untuk menghalau buliran air mata yang hendak mengalir. Mukanya menekuk seperti kardus yang tertindih kardus lain. Jelek dan tidak enak dilihat.
Punggung tegak itu melangkah ke mushola atau tempat ibadah untuk ia mengadu. Jam tangannya menunjukkan pukul empat lewat empat puluh menit. Masih ada dua puluh menit sebelum jam pulang. Sepuluh menit lalu atasannya memanggil ia, dan dirinya ditegur karena kinerjanya yang buruk akhir-akhir ini. Target perusahaan dalam seminggu kacau karena ia tidak bisa memenuhi pasar masyarakat. Beberapa makian terdengar nyaring dan menyiksa ia tahan. Dibiarkan tangannya mencubit-cubit lengan atasnya sampai merah demi menjaga kewarasannya agar tidak mengamuk pada bos tempatnya mendapatkan uang. Nadya Indyra mengumpat dalam hati, "Bangsat, lu di kantor doang diem deh!"
Lima menit kemudian ia diminta keluar dan memaksimalkan kinerjanya untuk mencapai target hari ini. Bahkan, ia diberi peringatan bahwa masa kerjanya hanya sisa seminggu. Kurang sial apalagi gua Minggu ini? Giginya gemeletuk beradu satu sama lain, bibirnya ia gigit menahan kekesalan.
Nadya mengarahkan kakinya ke tempat wudhu dan memulainya. Awalnya ia merasa marah, namun ketika air pada tangannya tersapu ke wajah, air matanya luruh seketika. Ia berjongkok terisak pelan. Nadya Indyra merasa hidupnya tidak adil. Ia susah payah mencari pekerjaan ini dan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan target perusahaan. Isakannya tidak terlalu terdengar, namun cukup menyayat hati. Air matanya terus turun, namun tangannya juga terus menghalaunya. Nadya merasa menangis tidak akan menyelesaikan masalah apapun.
Setelah berhasil menenangkan diri, Nadya kembali berdiri, ia melanjutkan wudhu-nya yang tertunda, namun mata sialan yang bagai air terjun itu kembali melimpahkan kembali cairan bening dan membuatnya tidak bisa melihat jelas. Perempuan itu mengabaikan air matanya, dibiarkan dirinya melakukan shalat ashar. Baru sujud pertama, ia kembali terisak.
'Ndy lelah. Pikirnya pelan. Gerakan tubuhnya masih dalam sembahyang, hanya kepalanya yang berbicara berlawanan dengan sang bibir yang melantunkan ayat suci Al-Quran. Bisikan rendah dan juga isakan terendam akibat ia menggigit bibirnya membuat suara-suara aneh dalam mushola tersebut. Pada sujud terakhir dalam sembahyang, Nadya menyatukan dahinya dengan sang lantai yang hanya terbalut sajadah kecil. Lantunan doa sembahyang ia sadurkan, diiringin oleh ringisan dan kesesakan yang ia rasakan.
"Gusti Allah, 'Ndy capek. 'Ndy mau pulang tapi engga enak dengan bunda dan ayah yang sudah mengurus 'Ndy. 'Ndy cuma mau menghidupi diri sendiri aja kenapa sulit sekali, Tuhan?" Gumaman rendah ia haturkan, mengeluh kesah mengenai hidupnya yang selalu gagal.
Diangkat tubuhnya untuk meneruskan ibadah yang sembilan puluh persen hampir selesai, kepalanya miring ke kanan sedikit dengan tetap menghadap depan. Bibirnya bergetar menyebutkan lafadz doa-doa sembahyang, di detik sebelum salam terakhir Nadya berbisik rendah dalam pikirannya, Hamba memohon padamu, Ya Allah, tolong, sekali saja biarkan 'Ndy mendapatkan hasil jerih payah 'Ndy ini, tak apa jika hanya sepeser atau dua peser, berikan 'Ndy hasilnya. 'Ndy sudah bekerja juga, kenapa 'Ndy tidak mendapatkan apa hasilnya? Tolong sekali, Ya Allah, 'Ndy cuma mau mencicipi kerja keras 'Ndy ini.
"Assalamualaikum warahmatullah," menelengkan kepalanya ke arah kanan, berlanjut ke arah kiri. Diusap wajahnya yang penuh air mata dengan telapak tangannya yang kasar akibat sering menggenggam barang. Nadya Indyra kembali terisak. Isakannya semakin kuat memenuhi rongga suara musholla yang kosong di jam sebelum pulang kerja. Nadya merasa sesak sekali.
Nadya Indyra memang memiliki keluarga yang memenuhi kebutuhannya, tetapi ia tahu diri, bahwa dirinya bukanlah bagian resmi dari keluarga tersebut. Ia bahkan hanya anak angkat yang diambil ayahnya ketika ia berusia dua puluh satu tahun di tepi hutan Kalimantan. Saat dimana ia sedang melarikan diri dari penjahat yang ia berhasil ingat belakangan ini berkat bantuan seseorang. Nadya tidak mungkin tidak membalas kebaikan seluruh keluarga yang telah merawatnya selama ini.
'Ndy cuma ingin membiayai diri sendiri.. 'Ndy ga enak dengan bunda, ya Allah.
Meskipun keluarga angkatnya sangatlah baik, tetapi Nadya adalah perempuan yang sudah memasuki usia dewasa. Sudah seharusnya ia memenuhi kebutuhannya sendiri, tetapi dunia begitu kejam sehingga ia harus terbentur berkali-kali. Dan sekarang belum ada sebulan ia bekerja, dirinya sudah kembali mendapatkan peringatan untuk berhenti. Nadya sudah berusaha semaksimal mungkin. Ia melakukan pekerjaan yang jaraknya dua jam perjalanan dari rumah, ia biarkan tubuhnya babak belur bertemu para pembeli, Nadya juga terkadang tertidur di kendaraan umum demi menghemat uang yang diberikan sang ayah sebagai modalnya untuk berangkat kerja, bahkan Nadya menyudahi pendidikannya yang dan melakukan pekerjaan diluar dari passion yang ia miliki. Nadya hanya ingin mencicipi jerih payahnya yang terus gagal ia dapatkan.
Dan ini bukanlah pekerjaan pertamanya. Ini sudah ketiga kalinya dan semuanya tidak pernah berhasil. Nadya Indyra putus asa dengan apa yang ia harus lakukan. Rasa ingin mengakhiri hidupnya tinggi seiring rasa ingin membahagiakan kedua orang tuanya. Nadya tidak ingat wajah orang tua kandungnya, tetapi alasan ia bekerja adalah untuk mencari mereka. Mereka yang membuang Nadya atau memang Nadya yang tidak ditemukan dalam dua tahun kehilangannya.
"'Ndy harus apa astagaa. 'Ndy harus bagaimana lagi?" Nadya Indyra membungkukkan tubuhnya, membiarkan dahinya menyentuh lantai dingin mushola. Isakannya semakin kuat.
*****
Lima menit kemudian, Nadya keluar dari mushola dengan mata sembab dan hidung merah. Merapihkan anak rambutnya yang berantakan, ia membasuh mukanya lagi agar tidak terlihat berantakan. Ia juga bersuara-suara asal demi menghilangkan serak akibat menangis. Nadya Indyra berjalan kembali ke lorong kantornya menuju stand tempat ia berjaga, hanya tersisa beberapa menit sebelum jam berdentang pukul lima sore. Tetapi, tak apa. Mungkin ini adalah hari terakhirnya dan Nadya akan menyerah jika di detik terakhir ia tak mendapatkan apapun.
Tak apa, kita coba lain waktu, ya? Bisiknya pelan sembari melangkahkan kakinya dengan wajah penuh senyuman menyapa rekan kerjanya.
"Hai, guyssss~!"
—
YOU ARE READING
Illusion
Short StoryTangan itu bergerak lamat, menuliskan bait-bait kata yang tersusun menjadi kalimat. Ia hanya menginginkan ketenangan. Pikirannya kacau, jadi dia memutuskan untuk menulis semua isi kepalanya. Di dalamnya terdapat bermacam-macam cerita. Penuh deskrip...