Kami

2 2 0
                                    

      “AARALYN LILYANA!” Perempuan mungil itu terlonjak mendengar seseorang memanggil dua penggal namanya. Dia menoleh pada gadis bercepol satu dengan wajah mengkerut. “What the hell are you doing?! You—lo ga berniat mengakhiri hidup kan?” Lanjut si pemanggil.

      Lilyana menggeleng pelan, mengangkat cutter yang ia pegang, “Ini? Engga. Ini lagi motong kertas tapi kena lem, jadi saya bersihkan. Karena pegal saya berdiri disini.” Jawabnya santai. Yah, posisi ia berdiri memang terlihat seperti sosok yang putus asa. Tepi balkon yang hanya sebatas lututnya saja, bahkan kakinya naik sebelah seolah-olah ingin menjatuhkan diri dari kamarnya yang berada di lantai tiga.

    “Serem banget, taruh cutter-nya. Atau gue aduin ke Gara.” Lilyana menghampiri perempuan yang cerewet itu. “Apa sih Il, saya lagi garap cover bukunya Ann nih. Lagian ngapain diaduin?”

    Ilo atau Iloria, sang kakak angkat Lilyana berdecak kesal mendudukkan diri pada kasur queen size di kamar adik perempuannya. “Ga tau. Gue cuma, yah—takut lo aneh-aneh dan dijadiin tersangka karena orang yang nemuin mayat.” Lilyana mengerutkan keningnya bingung memutuskan untuk menghampiri perempuan yang berbeda enam tahun dengannya itu. “Kenapa kesini?”

    “Ga boleh?” Lilyana menggeleng pelan. “Gara minta gue mantau. Lo jarang keluar kamar tiga hari terakhir. CCTV kamar ini mati dan dia takut lo kenapa-napa.”

    “Lebay, saya ga kenapa-napa. Cuma malas aja.”

    “Ribut sama cowok lo? Siapa namanya? Ga inget gue.”

    Jawaban Lilyana hanyalah gelengan kecil. “Minggir, ada cetak biru cover buku Ann. Nanti lecek.” Mendorong pelan tubuh Iloria, Lilyana mengambil kertas berwarna biru muda yang menggambarkan bagaimana karyanya akan jadi. “’Saya ga apa’, sampaikan itu pada Kak Gara. ‘Saya baik-baik saja’.” Lanjutnya pelan sambil menaruh benda di tangannya ke meja belajar.

    “I’m not sure you're okey, Lils. Tell me, what happen?” Iloria menarik tangan adik perempuannya sehingga berdiri tepat di hadapannya. Dipandangi gadis berusia 22 tahun itu dengan menyeluruh. Ada kantung mata yang cukup tebal dan sedikit menghitam. “Berapa jam terakhir lo tidur?”

    “Tiga jam? Entah, saya tidak mengingatnya” Seulas senyuman ditampilkan pada lawan bicaranya. “Obat tidurnya ga mempan, saya terjaga.” “Itu artinya Lo ga baik-baik aja, jingan!" Potong Iloria dengan cepat.

            "Lo punya mulut sempurna kenapa ga bilang sih? Mau terapi lagi? Gue temenin! Ayo—" Ditariknya tangan Lilyana namun tidak digubris oleh si pemilik. Gelengan kecil lagi-lagi menguar menandakan dirinya tidak ingin. "Tapi saya ga mau, Ilo. Saya ga apa, cuma malas saja."

            "Mau Lo apa? Gue panggilin yang lain ya. Ann, Az, Indy— atau siapa yang Lo mau? Cowok Lo? Atau Si brengsek Trisna dan Ganez?" Pertanyaan beruntun dilayangkan oleh Iloria. Ia menatap tubuh kurus Lilyana yang nampak rapuh.

            Sejujurnya adiknya ini memang rapuh. Balutan dress biru dongker polos yang ia gunakan nampak lusuh. Pipinya tirus; padahal terakhir kali mereka bertemu seminggu lalu, Lilyana masih segar dan banyak tertawa. Tidak ada cahaya bahagia di bola mata sang adik. "Kenapa, Lils? Kalau Lo ga berantem, terus kenapa?"

            Lilyana mengendikkan bahunya, "Nothing."

            "Putus?" Gelengan lainnya datang. "Terus kenapa, Aaralyn Lilyana Narcissa?!"

            Helaan nafas dikeluarkan secara kasar oleh perempuan 28 tahun ini. "Kasih tau gue, gue kakak Lo, dan gue peduli—" "Ga ada apa-apa, kak." Iloria bungkam dengan kata terakhir yang dikeluarkan lawan bicaranya. Kata yang menunjukkan jika percakapan mereka harus segera berakhir.

Illusion Where stories live. Discover now