Prolog

6.9K 1.1K 125
                                    

Prolog

Elana Larasati berusaha amat keras untuk mengulas senyumannya begitu lebar, dan mengikuti Arkananta Sangkara, lelaki 28 tahun yang telah sah menjadi suaminya kini. Ke mana pun lelaki itu beranjak untuk menyalami para tamu yang hadir di pesta resepsi pernikahan mereka.

Sesaat lalu, Elana merasa jika ia sudah akan tumbang karena pening di kepalanya yang tiba-tiba menyerang. Namun, genggaman jemari Arka membuat ia sontak terperanjat dan kesadarannya kembali dengan cepat.

Hari ini, ia dan Arka telah resmi menjadi sepasang suami istri. Pagi tadi mereka melaksanakan akad nikah dan diteruskan resepsi di malam ini.

"Kamu belum lupa untuk mengulas senyuman, bukan?"

Satu pertanyaan yang dilayangkan dengan nada amat lirih itu membuat Elana mengulas senyuman amat lebar detik itu juga. Dia menoleh ke arah Arka dan menunjukkan senyumannya yang kaku.

Elana merasakan mulutnya teramat pegal karena terlalu sering mengulas senyuman begitu lebar. Ketika Arka mengobrol dengan teman-teman atau kolega bisnisnya, sepanjang itu pula Elana memperlihatkan senyumannya yang cerah.

"Kamu capek?" tanya Arka kemudian diiringi sebelah alis terangkat saat menemukan ekspresi Elana yang aneh sekali dengan ulasan senyum di bibirnya.

"Enggak."

Dan Elana mengutuk bodoh dirinya sendiri, karena gengsi tidak ingin mengakui kekalahan, akhirnya, ia malah semakin dimaanfaatkan Arka lebih banyak lagi.

Boleh tidak kalau dia bilang, ia tengah dieksploitasi suaminya sendiri karena harus bersikap manis sepanjang waktu.

"Syukur deh, acaranya baru akan berakhir tiga jam lagi."

Tolong, biarkan Elana pingsan saja sekarang. Bukan hanya ia yang harus tersenyum sepanjang waktu, tapi juga karena ia memakai highheels delapan senti yang teramat menyiksanya sedari tadi.

Lalu, apa yang Arka bilang tadi, tiga jam lagi? Benar-benar, lelaki itu memang ingin mengerjai Elana.

"Kamu oke, kan?"

Elana berkedip pelan, lalu mendesah lesu. "Memangnya, aku boleh enggak oke?"

Detik itu juga, Arka terbahak pelan. Dan karena tawanya itu, ia menjadi pusat perhatian orang-orang.

Jika Arka mungkin senang dan terbiasa menjadi pusat perhatian, maka hal itu sangat berbeda dengan Elana yang justru menjadi sekaku patung ketika banyak tatapan mata yang mengarah padanya. Dia tidak pernah menjadi pusat perhatian selama ini, apalagi sebanyak ini. Di tengah semua orang yang tampak berbisik-bisik membicarakan tentang dirinya.

Yah, memang sudah konsekuensinya menjadi istri Arkananta Sangkara.

Memang siapa yang tidak akan penasaran dengan istri Arka, lelaki tampan dan kaya raya yang setiap langkahnya selalu diikuti tatapan kaum hawa.

Lalu secara mendadak mengumumkan pernikahannya, dan pasangan yang ia pilih adalah dirinya, Elana Larasati. Si perempuan sederhana yang tercekik hutang dan tagihan rumah sakit. Si staf biasa di sebuah perusahaan yang tidak cukup besar.

Bukan dari kalangan konglomerat seperti Arka dan semua teman-teman lelaki itu.

Ibaratnya tuh, Arka adalan pangeran yang bersinar terang di istananya, sedangkan Elana hanyalah si upik abu yang tidak pernah ter-notice keberadaannya di bumi ini.

Elana tidak akan memungkiri untuk itu. Dia memang lebih dari sadar akan posisinya.

"Minum dulu kalau begitu."

Satu ucapan dari Arka dan sodoran gelas berkaki berisi cairan warna kuning membuat Elana menggeleng pelan, menyingkirkan sekelebat perbandingan antara dirinya dan Arka.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang