Bab 2

1.6K 299 19
                                    

Bab 2.

Elana menatap pantulan dirinya di depan kaca lift yang kali ini akan membawanya ke lantai di mana kantor Arka berada.

Benarkah keputusan yang ia ambil sekarang?

Meminta bantuan pada teman lelakinya saat kuliah, yang entah menganggap dia sebagai teman atau tidak. Karena dunianya dengan si teman amat sangat berbeda. Dia hanya upik abu sedangkan lelaki itu terlahir di keluarga sendok emas.

Elana saja belum pernah melihat sendok emas itu seperti apa?

Perempuan yang kali ini mengenakan blus putih dipadu dengan celana berwarna krem itu menghela napasnya berulang kali, dia merasa canggung tiba-tiba. Jemarinya terangkat untuk menyila anak rambut nakal yang lolos dari ikatan. Setelahnya, Elana menunduk melihat sepatu usangnya. Cukup pantas bukan jika dia bawa untuk bertemu dengan seorang direktur?

Elana tidak heran sama sekali jika Arka akan menjadi direktur eksekutif di usia semuda ini. Dulu pun saat berkuliah, lelaki itu sebenarnya bukan sosok yang bodoh, dia pintar. Hanya malas saja mengerjakan tugas. Coba saja rajin, Elana akan tersingkir dengan begitu mudah.

Terkadang, dunia memang begitu jenaka, bukan?

Tiba di lantai kantor Arka yang tadi ditunjukkan resepsionis, Elana menilik lorong yang sepi itu dan melangkahkan kaki keluar lift. Di bawah tadi, ada sedikit perdebatan alot karena permintaan Elana bertemu dengan Arka yang tanpa janji temu apapun. Beruntung, ia berhasil membujuk resepsionis untuk menghubungi sekretaris Arka dan menyambungkannya pada lelaki itu lalu menyebutkan namanya.

Dan keberuntungan lainnya, Arka sedang di kantor dan masih mengingatnya. Jika saja Arka berpura-pura tidak mengingatnya, maka, usai sudah perjuangan Elana meminta bantuan lelaki itu.

Di depan pintu bertuliskan Direktur Eksekutif, Elana merasa gamang tiba-tiba, ada desakkan di dalam hatinya yang memaksa dia untuk berbalik dan pulang. Saat tubuhnya hendak berbalik, pintu lebar yang sedari tadi dipandanginya membuka, seorang perempuan cantik nan rapi muncul di baliknya.

"Bu Elana," sebut perempuan itu.

Elana sedikit terkesiap, namun menyahut dengan cepat. "Ya."

Perempuan itu tersenyum manis, membiarkan pintu di baliknya tetap membuka. "Pak Arka sudah menunggu Anda. Silakan masuk," katanya sembari mengulurkan lengan ke dalam ruangan.

Keinginan Elana untuk berbalik ternyata kalah cepat. Dia akhirnya mengangguk, dan berucap, "Terima kasih."

Baru beberapa langkah kakinya memijak ruang kantor Arka yang luas, ia mendengar pintu di baliknya menutup. Elana sedikit mengutuk perempuan tadi yang bergerak terlalu cepat menutup pintu. Alangkah lebih baiknya kalau pintu itu dibiarkan tetap membuka. Jadi, sewaktu-waktu Elana bisa melarikan diri dengan mudah.

Sungguh, ia merasa pertemuannya dengan Arka kali ini, setelah bertahun-tahun lamanya, akan cukup alot.

Di dalam ruangan, Elana menemukan Arka tengah duduk di kursi kebesarannya, dengan beberapa dokumen terbuka di atas meja dan tangan kanan menggenggam bolpoin hitam berplisir perak.

Haruskah Elana membiarkan dirinya sendiri untuk terpesona dengan pemandangan di hadapannya kali ini?

Tidak ada waktu untuk terpesona, Elana.

Arka mendongak, tampak baru menyadari kehadiran Elana yang telah mematung sejak beberapa saat lalu. Lelaki itu kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Elana. Senyumnya mengembang tipis, seiring dengan sapaan ramah lolos dari bibirnya. "Apa kabar, Lana?" Dia mengulurkan tangannya.

Elana menyambut jabatan tangan Arka. "Aku baik."

"Silakan duduk," Arka menunjuk salah satu sofa, dibarengi dengan langkah kakinya yang menuju satu sofa lainnya.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang