Bab 4

1K 191 9
                                    

Bab 4. 

Gila.

Itu adalah sebutan paling tepat bagi seorang Elana Larasati sekarang. Dan dia pun amat setuju dengan itu. Entah sudah berapa kali dia mengumpati dirinya sendiri seharian ini, setelah pertemuannya dengan Arka dan membuat kesepakatan paling gila yang Elana buat selama hidup.

Uang memang semengerikan itu. Bahkan sebuah pernikahan yang sakral saja bisa diperjual belikan.

Elana terduduk lesu di kursi taman tepi trotoar tidak jauh dari gedung kantor Arka yang baru didatanginya. Di gedung itu, ia baru saja menyetujui sebuah kegilaan yang mempermainkan hidupnya. Elana sadar persis untuk itu, namun, dia juga tak memiliki banyak kesempatan untuk melarikan diri.

Segala hal di dunia terasa begitu sesak menghimpit dadanya. Hutang sialan itu membuat ia harus jatuh bangun mengejar uang yang tak pernah bisa ia dapatkan bertahun-tahun ini. Dan dalam sekejap saja, Arka bisa mengurai lilitan hutang yang mengikat hidup Elana selama ini, semudah seperti membalikkan telapak tangan.

Tidakkah dunia ini memang begitu adil, bagi mereka yang bergelimang harta.

Elana menunduk, menangkup wajahnya dengan dua telapak tangan, dan menangis. Di tengah lalu lalang kendaraan di depan sana, dia membiarkan air matanya menetes tanpa ia cegah sedikitpun.

Kali ini, biarkan dia mengurai semua kesedihan itu. Semua sesak yang ia tahan dan menghimpit dadanya selama ini. Dia selalu menjadi tegar bak karang selama ini. Yang tak tergoyahkan sedikitpun sekalipun badai datang menerjang. Dan ia ingin lemah sekarang, menyerah pada terjalnya jalan hidupnya.

Untuk beberapa saat terlewat, Elana membiarkan dirinya tenggelam dalam tangis tergugu. Tak lagi peduli pada apa pun di sekitarnya. Dia hanya ingin menumpahkannya sekarang. Hanya untuk saat ini. Karena setelah ini, dia akan kembali menjadi Elana Larasati yang dunia kenal. Tegar, periang, dan tentu saja sosok yang amat tangguh.

Puas dengan tangis yang memilukan itu, Elana mengusap wajahnya, menghapus jejak-jejak air mata dan menghela napas panjang. Ini siang hari, di jam makan siang, jadi, ia cukup beruntung tidak ada siapa pun yang duduk bersebelahan dengannya di kursi itu. Sehingga tidak perlu melihat dirinya yang menangis dengan cengengnya. Orang-orang di jalanan tidak terlalu ia pedulikan, mereka sibuk dengan jalanan Jakarta, jadi, sudah pasti tidak begitu tertarik untuk melihat ke arah Elana dan memperhatikan dirinya yang sedang menangis.

Setelah menarik napas beberapa kali dan memastikan jika jejak air mata di pipinya telah terhapus sempurna, Elana mengeluarkan ponselnya dari tas dan memesan ojek online. Dia akan kembali ke kantornya. Masih ada sisa waktu 15 menit sebelum jam masuknya.

Dia menggunakan jam makan siang untuk menemui Arka di kantor lelaki itu dan menandatangani perjanjian pernikahan dengan Arka.

Pernikahan kontrak memang bukanlah hal asing di telinganya, namun tidak ia sangka, hal tabu itu terjadi di dalam hidupnya. Dia akan menikah dengan Arka selama satu tahun, itu perjanjiannya. Dan pernikahan itu akan berlangsung kurang lebih dua bulan lagi, bisa maju, jika keluarga Arka menginginkannya untuk dipercepat. Namun, sebelum itu, Elana memang harus menyiapkan diri untuk menemui keluarga Arka dan perkenalan terlebih dulu.

Bukan hanya perkenalan dengan keluarga Arka saja, namun, Elana juga harus melakukan sebaliknya, memperkenalkan Arka pada keluargnya. Entah apa yang akan keluarganya pikirkan dengan pernikahannya yang mendadak ini, ditambah dengan calon suaminya yang berasal dari keluarga konglomerat.

"Ke depannya tidak akan mudah, Lana. Jadi, pastikan kamu bisa menanganinya dengan baik tanpa kesalahan."

Kalimat pengingat Arka terngiang di telinga Elana. Dia setuju sekali dengan yang Arka ucapkan itu, ke depannya memang tidak mudah. Namun, Elana rasa, tidak akan sesulit dengan jalan terjal yang selama ini telah dilaluinya.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang