Bab 10

607 142 10
                                    

Bab 10. Rumah Kita

"Kita akan tinggal di sini?" tanya Elana menggumam. Dia tidak mengira rumah yang Arka maksud adalah sebuah apartemen di lantai 20, di komplek apartemen mewah. Perempuan iu kemudian meletakkan tas tentengannya ke sofa di ruang tamu. "Bukankah kamu bilang kita akan tinggal di rumah?" Dia mengutarakan apa yang mengganjal di pikirannya.

Arka terkekeh pelan. "Ya, ini rumah kita."

Elana menatap Arka cukup lama. "Enggak. Maksudku, rumah yang di bawah. Ada halaman dan—"

"Kamu enggak suka tinggal di apartemen?"

"Kamu membohongiku," decap Elana akhirnya. Tidak lagi mendebat bahwa rumah yang dia dan Arka maksud adalah dua hal berbeda. Karena rasanya percuma saja. Dia masih ingat beberapa hari lalu mendebatkan tentang asisten rumah tangga dengan Arka, dengan kalimat balasan diselingi godaan dari lelaki itu. Dan ternyata semua benar-benar tidak berguna.

Arka berdiri di dekat Elana, senyumnya menghias seiring dengan tatapannya yang kian lekat pada Elana. "Ini rumah yang aku maksud. Dan selama ini yang aku tinggali. Lagipula kamu enggak suka ada banyak orang di rumah. Jadi, bukankah lebih baik di apartemen. Kita cukup panggil tukang bersih-bersih 2 sampai 3 kali seminggu," jelasnya panjang.

Lelaki itu berjalan ke arah dapur, membuka lemari es-nya dan mengeluarkan minuman kaleng dari sana. Lalu kembali ke ruang tamu dan mengambil duduk berseberangan dengan Elana. Tak lupa dia membukakan minuman kaleng itu lebh dulu sebelum diberikan pada Elana. Dan satu botol lainnya untuk dirinya sendiri.

"Kamu bisa berkeliling kalau sudah enggak lelah," ucap Arka. Dia menyandarkan punggungnya dan meneguk minumnya.

Yang bisa Elana lakukan hanya menghela napas pelan. Dia memang tidak suka jika rumahnya ramai dengan asisten rumah tangga, tapi bukan berarti hanya ada dia dan Arka di rumah, selama 24 jam. "Tapi aku pengangguran," desah Elana. Dia benar-benar akan mati kutu tinggal seharian di apartemen dan tidak ada hal yang bisa dilakukan. "Haruskah aku hanya makan tidur saja."

"Kenapa enggak?" Arka mengedikkan bahunya.

Manik mata Elana membola. "Kamu benar-benar keterlaluan."

"Ada banyak hal yang bisa kamu lakukan selain bekerja di kantor. Lagipula aku enggak suka kalau aku pulang lebih dulu dan kamu enggak di rumah karena lembur, tuntutan pekerjaanmu," ucap Arka. Dia sudah memikirkan matang-matang perihal Elana yang resign dari pekerjaannya. Dan seperti katanya, dia tidak suka ketika dia pulang, dia tidak menemukan Elana di apartemen. Lain halnya jika memang ia hidup sendiri.

"Kamu bisa ikut kelas memasak, table manner, atau bahkan ikut kelas yoga, berkuda, panahan. Apapun itu. Aku akan menanggung semua biayanya. Atau kamu ingin merintis bisnis kecil-kecilan. Aku akan dengan senang hati menjadi investor pertamamu," sambung Arka ringan. "Aku cuma enggak ingin kamu kelelahan dengan pekerjaanmu. Dan yang terpenting lainnya, karena aku ingin kamu menikmati hdiupmu mulai sekarang, Lana."

Ada detak kejut yang mampir di dada Elana tanpa permisi. Untaian kalimat yang lolos di bibir Arka terdengar begitu indah dan menenangkan.

Mungkinkah lelaki itu tahu bahwa selama ini Elana tidak benar-benar bisa menikmati hidupnya. Ada begitu banyak hal melelahkan selama ini yang memaksa Elana untuk tidak menikmati bagaimana hidupnya bisa berjalan.

Elana menggenggam kaleng minuman dinginnya, sedikit menggoyangkannya, berusaha merasakan jejak-jejak dingin di sana, karena tanpa alasan apa pun, wajahnya merambatkan panas sekarang.

"Aku akan memikirkannya nanti," putus Elana.

"Bagus. Aku menunggu keputusanmu," kata Arka. Dia lalu meletakkan kaleng minumannya, dan detik berikutnya dia merebahkan tubunya di sofa. "Aku ingin tidur sejenak. Kamu bisa melihat-lihat."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang