Bab 9

854 154 18
                                    

Bab 9. Sambutan manis?

Di tengah malam, Arka terbangun dari tidurnya. Dia menatap Elana yang tidur meringkuk di atas sofa dengan selimut membungkus tubuhnya. Lagi-lagi seperti malam sebelumnya perempuan itu tampak damai dalam tidurnya. Seolah tidak terusik sedikit pun, meski hanya sebuah sofa sebagai alas tidurnya.

Lagi-lagi, Elana meminta untuk tidur di sofa saja sedangkan Arka menempati ranjang.

"Keras kepala," gumam Arka. Dia lalu sedikit merendahkan tubuhnya untuk menggendong Elana dan memindahkannya ke atas ranjang. Entah selelah apa perempuan itu, sampai saat dipindahkan pun Elana tidak terjaga sedikit pun.

Arka tidak setega itu membiarkan Elana untuk tidur di sofa seperti kemarin malam.

Di hotel kemarin adalah pengecualian. Karena Arka benar-benar merasa jengkel dan tidak habis pikir dengan semua ucapan dan tindakan Elana di malam pertama mereka. Perempuan itu sungguh berani dan keras kepala.

"Kamu tahu, harusnya aku sangat amat marah padamu karena sikapmu yang antipati seperti ini padaku," gumam Arka. Dia meletakkan sebuah guling di tengah-tengah ranjang sebagai pembatas. "Seolah aku memang bajingan menjijikan yang harus kamu jauhi," decihnya sengit.

Setelahnya, dia merebahkan tubuhnya, namun satu lengannya masih terulur untuk menepuk puncak kepala Elana. "Tidurlah yang nyenyak. Aku enggak akan makan kamu malam ini." Diakhir kalimatnya dia mengulas senyum tipis.

Wajah ketakutan Elana saat mengira akan dimangsa olehnya sungguh menjadi hiburan tersendiri baginya. Sepertinya, dia tidak hanya tampak seperti bajingan. Namun juga singa kelaparan.

Yah, dia akan benar-benar menahan diri dan mengendalikan semua gejolak di dalam dirinya.

Hingga waktunya tiba.

Namun, satu hal yang pasti, dia tidak akan membiarkan Elana menganggur begitu saja.

***

Elana menatap riak air kolam renang yang tertiup angin dalam diam. Dia sedang berada di taman belakang rumah mertuanya. Duduk sendiri di gazebo di tepian kolam. Tadinya, dia bersama Arka, namun beberapa saat lalu Arka dipanggil oleh sang Ayah untuk menemui di ruang kerja.

Sepertinya ada beberapa pekerjaan mendesak yang harus dibahas, mengingat beberapa hari ini pun Arka memilih untuk benar-benar mengambil cuti tanpa disibukkan dengan pekerjaan sedikit pun. Yah, sebenarnya itu adalah hal yang wajar, karena memang hari pernikahannya, meski hanya sandiwara.

Elana menghela napas lelah. Sandiwara ini tidakkah tampak terlalu nyata. Bahkan sikap Arka padanya terlalu baik. Tidak sama seperti saat ia bertemu Arka pertama kali dulu, saat ia berniat meminjam uang. Arka selalu mengarahkan tatapan mengintimidasi.

Tadi pagi, Elana terbangun dengan perasaan terkejut karena dia berada di atas ranjang. Padahal ia ingat betul kalau ia telah tidur di sofa kamar Arka. Dan bertambah terkejut kala dia melirik ke samping, menemukan Arka yang tidur dan memeluk guling.

Dia bukan seseorang yang bisa berjalan saat tidur, jadi, jawaban pastinya adalah karena Arka yang memindahkannya ke atas ranjang.

Bodohnya Elana karena tidak terusik saat tubuhnya dipindahkan.

Entah harus ia syukuri atau tidak mengenai sikap Arka yang sebaik ini. Atau haruskah dia mengharapkan Arka bersikap keras padanya. Namun rasanya, ia pun tidak cukup tangguh menghadapi sikap keras dan berengsek Arka jika lelaki itu melakukannya.

Karena sungguh Elana sudah muak dan lelah dengan semua sikap kasar laki-laki sepanjang hidupnya. Ayahnya telah meninggalkan begitu banyak luka sepanjang hidupnya. Sampai ia bahkan tidak mengingat adakah secuil momen indah antara ia dan ayahnya dulu.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang