Bab 7

843 169 14
                                    

"Kamu."

Arka menunjuk Elana yang duduk dengan amat tenang di sofa kamar hotel mereka dengan tatapan kesal.

"Sialan." Umpatnya diiringi hela napas kasar. Lalu melenggang masuk ke kamar mandi tanpa perlu menunggu respon Elana.

Sedangkan Elana yang sudah rapi dengan pakaiannya setelah mandi pagi, tertunduk lalu menangkup wajahnya dengan dua tangan. Dia menahan rasa malu dan senyuman yang terasa begitu inginnya terlukis di bibirnya.

Pengantin baru mana yang mengumpat seperti itu di pagi pertama mereka resmi menjadi suami istri, sepertinya hanya Arka dan Elana saja.

Dan meski diumpati seperti itu oleh Arka, Elana tidak merasa kesal sedikit pun. Justru malah terdengar lucu di telinganya. Arka yang baru bangun tidur dengan wajah kusut, langsung mendatangi Elana dan menunjuk perempuan itu. Seolah nyawanya saja belum terkumpul sempurna namun sudah mengumpati seseorang.

Elana begitu mewajarkan kekesalan Arka. Yah, bagaimana pun, dia telah menghancurkan malam pertama pengantin baru.

Semalam, hampir terjadi sesuatu. Namun, dengan segenap kesadaran dan keberanian Elana, dia berhasil memukul mundur Arka. Menghentikan aktifitas panas mereka di saat Arka sudah berada di puncak gairahnya. Dan sudah bisa ditebak, kemarahan seperti apa yang menyelimuti Arka semalam. Bola matanya yang membulat tampak memerah dan tarikan napas kasar.

Bagaimana pun Elana merasa sedikit bersyukur karena Arka hanya mengumpat, tidak melakukan kekerasan sedikit pun entah semalam atau pun pagi ini.

Elana memang gila. Semalam dia berlari ke kamar mandi mengunci diri di sana, dan berteriak kalau dia belum siap melakukannya. Itu memang kebenaran. Dia memang belum sesiap itu untuk menyerahkan dirinya pada Arka.

Di tengah ketidaksiapannya bercinta dengan Arka. Dia menerka-nerka sebebas apa kehidupan seksual Arka sebelum ini. Karena bagaimana pun, meski baik, Elana tidak menjamin akhlak lelaki itu sepenuhnya baik, apalagi lingkungan pergaulan Arka yang bebas dan memiliki segalanya. Tidak menjamin sedikit pun kalau lelaki itu masih perjaka.

Lalu semalam dengan nekatnya, Elana berseru dari dalam kamar mandi. "Aku belum siap. Maaf."

"Kamu enggak akan pernah siap kalau enggak mencobanya. Apalagi melarikan diri seperti ini." Arka menyahut, berjalan mendekati pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Di mana perempuan yang telah menjadi istrinya tengah bersembunyi di baliknya.

"Enggak, bukan hanya itu," sahut Elana. Dia mencengkeram gagang pintu kamar mandi bukan untuk membukanya, namun memastikannya terkunci dan tetap menutup. Dia lalu menarik bathrobe dan segera mengenakannya. Menyelimuti tubuh polosnya. "Aku ingin kita skrining dulu."

"Skrining apa?"

Elana menelan ludah kasar. Suara Arka yang terdengar menggeram dari balik pintu begitu mengintimidasi. "Skirining PMS—"

"Kamu sedang datang bulan?"

Respon Arka yang cepat dan memotong ucapannya, membuat Elana memejamkan mata dan menghela napas pelan. "Aku enggak lagi haid, dan bukan PMS itu."

"Lalu?"

"Dengerin dulu," ucap Elana lirih. Saat Arka dibalik pintu mengiyakan, Elana melanjutkan ucapannya. "Skrinning penyakit menular seksual. Itu demi kebaikan kita berdua, kan?"

"Kamu pikir aku punya penyakit kelamin?" Nada suara Arka kembali meninggi.

"Bukan itu, ini hanya jaga-jaga—"

"Tetap saja, kamu mencurigaiku."

"Arka, bukan begitu." Desah Elana hampir putus asa. Salahnya dia memang yang tidak mengajukan permintaan untuk skrinning itu jauh-jauh hari sebelum hari pernikahan. Karena segalanya terjadi begitu cepat dia jadi tidak benar-benar berpikir sampai ke arah sana.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang