Bab 3

1.3K 272 22
                                    

Bab 3. 

Napas Elana terasa tercerabut. Lidahnya kelu. Tubuhnya membeku. Apa yang lelaki di hadapannya ini katakan, menikah. Butuh waktu beberapa saat bagi Elana untuk mencerna kalimat Arka dan menilik ekspresi lelaki itu. Pada akhirnya, ia terkekeh pelan, "Candaan kamu lucu sekali, Arka," ucapnya semata-mata demi menenangkan dirinya sendiri.

"Aku enggak bercanda, Lana."

"Tapi ucapanmu lucu sekali," Elana menimpali, berusaha menyangkal apa yang didengarnya.

Arka menghela napas pelan, sekali lagi ditatapnya manik mata Elana, menguncinya. "Aku serius dengan ucapanku, Lana. Dengan penawaran itu."

"Penawaran?" ulang Elana.

"Ya, penawaran," Kepala Arka mengangguk pelan. "Kamu menginginkan sesuatu, aku akan memberikannya, namun dengan sebuah syarat," sambungnya. "Ini sama seperti saat kita berkuliah dulu. Kamu mengerjakan tugasku lalu aku membayarmu."

Tangan kanan Arka terangkat saat Elana membuka bibirnya, hendak memotong kata-katanya. "Dengarkan aku dulu," ucap Arka. "Aku akan menjelaskannya padamu."

Kelopak mata Elana menyipit. Menaruh seluruh kecurigaan pada lelaki di hadapannya yang sebelumnya dengan begitu jelas, ia mendengar pernikahan di bawa-bawa dalam obrolan mereka. Yang ia harapkan, itu pun hanya candaan. Arka memang suka sekonyol itu.

"Kamu membutuhkan uang sekarang, lalu aku membutuhkan pernikahan. Dan aku menginginkannya denganmu. Menikahlah denganku, Ela—"

"Arka!" Elana menghardik, memotong ucapan Arka yang terdengar sangat ambigu di telinganya, namun begitu jelas dicerna. Bagaimana bisa kedatangannya yang berniat untuk meminta bantuan berakhir dengan sebuah lamaran mendadak seperti ini. Benar-benar di luar nalarnya.

"Aku sangat serius dengan ucapanku, Lana," ucap Arka penuh dengan ketegasan. "Sama sepertimu yang tersudutkan karena uang, maka aku pun tersudutkan karena pernikahan."

Elana membuang wajahnya, tertunduk, mengatur tarikan napasnya yang tiba-tba terasa tersendat. Dia kebingungan. Bagaimana dia harus menjelaskan perasaannya saat ini. Arka mengatakan bahwa penawaran itu bukan candaan. Dan lelaki itu tersudutkan karena pernikahan? Namun itu terdengar seperti lelucon di telinganya.

"Kenapa kamu tersudutkan dengan pernikahan?" tanya Elana akhirnya. Setelah satu tarikan napas panjang, ia berani mengangkat wajahnya kembali dan menatap Arka.

Arka tersenyum tipis, satu tangannya terangkat ke lehernya untuk melonggarkan ikatan dasinya yang terasa sangat mencekik. "Ini mungkin takdir, Lana," katanya lirih yang membuat lawan bicaranya menaikkan sebelah alisnya. "Kita bertemu lagi saat kita sama-sama saling membutuhkan, meski dalam konteks berbeda."

Kali ini Elana memilih bersabar, tidak langsung menyambar ucapan Arka. Dia akan mendengarkan seperti apa yang sesungguhnya diinginkan lelaki itu.

"Kamu tahu usiaku 28 tahun, bukan? Sama sepertimu."

Elana mengangguk. Dia ingat jika ia dan Arka memang lahir di tahun yang sama. Hanya berbeda bulan. Arka lahir lima bulan lebih dulu darinya.

"Di usia kita sekarang ini. Entah sudah memang budayanya atau bukan, namun orang-orang akan mulai usil dengan menyudutkan dan menanyakan kapan menikah."

Lagi-lagi, Elana mengangguk. Ucapan Arka memang benar adanya. Usianya yang sudah 28 tahun sempat membuat risau orang di sekitarnya. Padahal Elana masih fokus dengan pekerjaannya, karena memang ada keluarga yang harus dia tanggung kehidupannya. Sehingga ia bahkan tidak berani untuk menjalin asmara dengan siapa pun.

Sudah terlalu banyak beban pikiran yang menggelayut, membuat dia enggan berhubungan dengan lelaki mana pun. Lagi pula, lelaki mana yang mau dengannya yang menjadi tulang punggung keluarga dan terjerat hutang.

His BrideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang