Bagian - 4

904 143 8
                                    

"Barang endorse itu apa sih, Tante?" Pagi harinya setelah sarapan Kiara duduk di samping Esti yang sibuk mengemas barang-barang yang sudah selesai dipromosikan oleh Melinda.

"Barang dagangan orang yang dipromosiin sama Bundanya Kiara." Jawab Esti sambil menoleh sekilas pada bocah itu. Mereka baru saja berkenalan tapi sudah langsung akrab. Satu bocoran lagi yang Melinda baru ketahui, putrinya ini tipikal pandai berbaur, persis seperti dirinya.

"Kenapa Bunda promosiin barang dagangan orang, Tante?"

"Ini salah satu pekerjaan Bunda juga, Sayang. Kiara tahu nggak pekerjaan Bunda selain menjadi model dan presenter, tapi juga seorang influencer. Bunda Melinda punya akun media sosial yang banyak banget pengikutnya."

Kiara tampak manggut-manggut paham. "Jadi bukan promosi gratis? Bunda dapat uang? Wah, Bunda hebat."

"Iya dong, dapat uang buat beli jajan Kiara nanti."

"Terus barang-barang dagangan ini mau dikembalikan ke pedagangnya?"

"Barang-barangnya dipakai sama Bunda Mel, kadang juga dibagikan ke tim, dan Tante." Esti menunjuk satu kardus agak besar berisi peralatan dapur. "Itu contohnya, seperti alat memasak bisa ditaruh di dapur, dipakai sendiri."

Lagi, bocah itu manggut-manggut. Melinda tersenyum mendengar celotehan putrinya, sambil menggerakkan tulang punggunya ke belakang. Yoga sudah menjadi rutinitas Melinda setiap pagi. Membuat tubuhnya semakin bugar dan berbentuk. Tidak heran bila banyak lelaki yang mendekatinya, mulai dari yang masih single hingga baru-baru ini seorang konglomerat pemilik stasiun televisi tempatnya bekerja menjadi presenter. Seorang lelaki paruh baya, sudah memiliki istri yang cukup cantik, tapi masih kurang bersyukur.

"Tante Esti kerja apa?" Kiara melanjutkan pertanyaannya. Bocah seusia ini rasa keingintahuannya memang cenderung besar. Usia dimana dia mulai ingin mengenal dunia.

"Pekerjaan Tante Esti itu menjadi asisten pribadinya Bunda Melinda. Misalnya seperti, menyiapkan segala kebutuhan Bunda, membantu Bunda mengurus barang dagangan ini, menemani Bunda ke luar kota dan masih banyak lagi."

"Siapa yang bayar, Tante? Bunda?"

"Iya dong, Sayang. Kan Tante kerjanya sama Bunda Mel." Esti menoel hidung mungil bocah di sebelahnya. "Kalau Kiara sendiri cita-citanya jadi apa?"

"Hem, pengin jadi dokter kayak Mama. Tapi, pengin juga jadi model kayak Bunda."

Barulah tatapan Melinda dan asistennya bertemu. Beda dengan Melinda yang tidak ingin mengeluarkan banyak pertanyaan tentang sosok yang sedang dekat dengan mantan suaminya, Esti justru mengambil kesempatan tersebut untuk mengorek informasi.

"Mama Melinda? Sebenarnya Kiara manggilnya Bunda atau Mama sih? Jadi bingung Tante."

"Mama Ghina, Tante. Mamanya Kiara." Terang bocah itu polos.

"Aduh, Tante minta maaf. Habisnya Tante nggak kenal sama Mama Ghina. Setahu Tante, Ibunya Kiara itu cuma Bunda Melinda. Yang mengandung Kiara selama sembilan bulan. Yang melahirkan Kiara dengan bertaruh nyawa."

Kali ini ekspresi Kiara kebingungan.

"Es, sudah!" Tahan Melinda saat Esti hendak bersuara lagi. "Kiara jadi berenang? Ayo, Bunda temani."

Secepat itu pula Kiara mengubah parasnya menjadi berseri-seri. "Horeeee! Berenang! Tante Esti mau ikut berenang juga?"

"Boleh. Nanti Tante nyusul ya. Tante beresin ini dulu."

Melinda mulai terbiasa dengan raut enggan putrinya saat mendapati pakaian yang sudah ia siapkan tidak sesuai dengan ekspektasi bocah itu. "Pakai yang ada dulu aja ya, Sayang. Nanti Bunda belikan yang seperti punya Kiara di rumah."

"Nggak, Bunda, Kiara malu. Paha sama lengan Kiara kelihatan kalau pakai ini. Malu, Bunda." Bocah itu rewel dan cemberut.

"Di rumah ini kan cuma ada Bunda dan Tante Esti. Lihat, baju renang Bunda juga kayak gini. Lebih bebas dan enak dipakai beraktivitas di air, Sayang."

Bocah itu kekeuh menggeleng. "Baju renang Kiara juga nyaman dipakai renang. Mama yang beliin."

"KIARA!" Emosi Melinda seperti naik ke ubun-ubun. Telinganya panas mendengar gelar yang seharusnya ia sandang diberikan pada perempuan lain.

"Mbak, ada apa?" Esti muncul ke ruang ganti. Mungkin karena mendengar tangis nyaring Kiara dan suara Melinda yang berusaha menenangkan.

"Aku nggak sengaja bentak dia, Es." Jelasnya pada sang asisten. "Sayang, maafin Bunda ya, Nak. Bunda nggak sengaja. Bunda janji nggak akan teriak-teriak lagi. Maafin Bunda, Sayang."

"Papa ... Papa ...."

Esti ikut menenangkan. "Kiara, ikut Tante yuk! Di bawah ada timezone. Pasti seru banget. Yuk, Sayang."

"Papa ... Papa ...." Tangis Kiara semakin kencang. Panik menyerang dua perempuan dewasa yang berada di ruangan tersebut. Segala macam cara mulai dari bujukan dan rayuan untuk menghentikan tangisnya tidak berhasil. Hingga setengah jam lamanya bocah itu masih menangis sambil memanggil-manggil ayahnya.

"Mbak, teleponin Papanya aja gih! Kasian, nggak berhenti nangisnya. Sudah setengah jam lebih. Aku takut dia kenapa-napa."

"Nggak, Es. Kita harus bikin dia berhenti nangis dulu sebelum mulangin ke Papanya. Bisa-bisa aku nanti yang kena marah."

"Itu sudah risiko, Mbak Mel. Kasian loh dia nangis terus." Sambar Esti. "Sayang, Cantik, sudah ya nangisnya. Tante beliin Es Krim mau? Yuk, Nak, main ke timezone. Atau Kiara mau apa?"

"Papa ... Papa ...."

"Ponselnya mana, Mbak? Biar aku yang telepon Papanya."

Melinda membuang napas gusar, tidak punya pilihan lain. "Oke, biar aku sendiri yang hubungi."

Tidak sampai setengah jam bel apartemen Melinda berbunyi. Buru-buru dibukanya pintu itu, dan Melinda harus menahan napas saat mantan suaminya melewatinya begitu saja. Dan selanjutnya tubuh tegap itu ditubruk oleh sedu sedan sang buah hati. Melinda hanya bisa menatap dalam diam cara lelaki itu menenangkan tangis putrinya.

Suara bel berbunyi lagi, muncullah sosok yang menjadi penyebab kerusuhan ini terjadi. Perempuan berjilbab yang anggun, mengambil alih Kiara. Melinda berdiri kaku, tidak tahu apa yang harus diperbuat saat perempuan itu membawa pergi anaknya. Melinda ingin mencegah, tapi kepercayaan dirinya sudah raib.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kiara nggak pernah nangis sampai kayak gitu. Dia jatuh lututnya sampai berdarah saja bisa tahan. Kamu apain anakku, Mel?"

Melinda menunduk, tak kuat dengan tatapan penuh kekecewaan mantan suaminya.

"Aku ngelepasin dia buat ketemu kamu, karena sudah menjadi haknya untuk bertemu Ibunya yang selama tujuh tahun nggak pernah dia lihat. Tapi kamu malah bikin pengalaman pertamanya mengenalmu, dengan membuat mentalnya down. Setelah ini, jangan harap aku akan membiarkanmu bertemu Kiara."

"Mas ...." Melinda menggeleng dengan pipi yang basah. "Aku minta maaf ...."

Tatapan keduanya bertahan dalam beberapa detik, sebelum lelaki itu memalingkan wajahnya lebih dulu dan memutuskan pergi dari kediamannya. Melinda ambruk, tangisnya pecah.

Bodoh! Bodoh! Bodoh!

"Mbak Mel ...." Esti yang sedari tadi bersembunyi di kamar karena tidak ingin ikut-ikutan muncul, langsung memeluknya.

"Benar kata Papanya Kiara, Es. Aku sudah bikin mental Kiara down. Harusnya aku bisa mengendalikan emosi. Harusnya aku lebih sabar lagi menghadapi anak-anak. Aku benar-benar ibu yang buruk. Kiara bakalan kapok ketemu aku, Essss."

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang