Bagian - 10

1K 157 13
                                    

Melinda baru tahu jika wanita yang pernah menjadi ibu mertuanya juga mengidap stroke. Dulu memang sudah sering sakit-sakitan, seperti hipertensi, yang membuat mantan suaminya harus rutin mengantarnya ke dokter spesialis. Tapi saat menyaksikan sendiri wanita ini berada di atas kursi roda, rasa terenyuh itu langsung memenuhi benak.

"Cuma kaki Ibu saja kok, yang memang sudah mati rasa. Kalau tangan dan semua anggota tubuh Ibu yang lain nggak ada keluhan. Jangan khawatir, ya." Lagi-lagi mantan ibu mertuanya mengusap-usap punggung tangan Melinda, mencoba menenangkan.

Posisi Melinda sekarang tengah berada di kediaman orang tua Mangku. Ibunya yang mengajaknya bertandang kemari. Dan Melinda cukup asing dengan rumah yang dulunya sangat sederhana sudah direnovasi total layaknya hunian di kompleks perumahan elit.

Seorang ART menghampirinya, meletakkan dua cangkir minuman dan beberapa toples kue.

"Sudah beberapa bulan ini Ibu nggak mengkonsumsi obat-obat. Yang ibu telatenin itu herbal-herbal sekarang. Bikin jamu sendiri." Lanjut wanita itu.

"Aku juga gitu, Mbak. Malah nggak pernah ngeluh lagi perut sejak setiap hari minum air parutan kunir dan madu." Sambung Ibunya yang duduk beda sofa dengan Melinda.

"Kalau panjenengan kan memang sudah menjaga kesehatan dari masih muda, Bu. Makanya sekarang masih sehat. Beda sama saya, kebiasaannya makan sayur kemarin. Hehehehe."

"Tapi sekarang sudah nggak kan, Bu?"

"Kadang-kadang aja sayang, kalau khilaf, sama Mbak di rumah mau dibuang nggak ibu bolehin."

"Ya ampun. Mas Mangku nggak ngomel?" Tanya Melinda lebih lanjut.

"Jangan sampai ketahuan dong. Hehehehe." Sambar Ibunya. "Ancene bandel!"

Lantas, tawa ketiga wanita itu memenuhi ruang tamu.

"Yangtiiii!" Senyum bocah itu surut saat mendapati keberadaan Melinda di antara kedua neneknya. Langkahnya langsung terhenti di ambang pintu. Seorang lelaki yang berdiri di belakang bocah itu merangkul pundaknya, meminta Kiara untuk lanjut berjalan.

"Salim dulu sama Yangti dan Bunda." Ujar ayah satu anak itu.

Dengan ragu-ragu Kiara mendekat. Parasnya terlihat sangat murung seolah ingin mengatakan bahwa dia tidak mengharapkan kehadiran Melinda di rumahnya.

"Sayang, Bunda kangen banget sama Kiara." Melinda langsung mendekap bocah itu begitu gilirannya tiba. Kiara tidak membalasnya. Tubuh mungilnya kaku, hingga beberapa detik kemudian Melinda menjauhkan diri. Kedua jemari Kiara dirangkum dan dikecupi penuh sayang sembari menggumamkan kata maaf berulang-ulang, bocah itu masih saja diam tak berekspresi.

"Yuk, Kiara, ganti baju dulu." Mangku melerai dan menggiring putrinya menaiki tangga.

Melinda tidak mencegah, paham jika putrinya mungkin belum siap bertemu. Meski hatinya sangat sakit mendapati penolakan dari buah hatinya sendiri. Melinda memang salah, dan sudah harus menerima risikonya.

"Sudah, jangan terlalu dijadikan pikiran. Anak-anak biasa ngambek." Mantan ibu mertuanya mencoba membesarkan hatinya.

"Iya, jangankan Kiara yang masih anak kecil. Yang sudah dewasa aja sikapnya begitu sama orang tua juga banyak." Timpal Ibunya sendiri.

Ibunya pasti sedang menyindir. Melinda baru merasakan hidup ini sangat keras dan segalanya pasti dibalas kontan. Kelakuan buruknya pada wanita yang sudah melahirkannya, tidak bisa disebut berbakti. Dan sekarang, Melinda harus merasakan sendiri dari Kiara. Impas bukan?!

Tak lama Kiara dan ayahnya muncul sudah mengenakan pakaian rumahan yang santai. Bocah itu langsung menempatkan diri di samping sang nenek, ibunya Melinda. Sedangkan ayah dari bocah itu duduk di sofa yang berbeda, tapi masih dalam satu ruangan.

"Mama sudah lama?" Tanya lelaki itu.

"Lumayan. Cukup untuk bergosip. Ngomongne jangan blendrang." (Membicarakan soal sayur kemarin.)

Mantan suaminya itu tersenyum ramah. Ekspresinya sangat berbeda dengan yang ditunjukkan pada Melinda selama ini.

"Susah dibilangin, Ma." Celetuk lelaki itu.

"Yang tegas, Ku!" Ibunya membalas.

"Iya."

"Papa sampai ngomel-ngomel banget kalau Mbah Putri sudah makan makanan pedas, Yangti!" Sambung suara kecil Kiara.

"Terus Kiara ikut ngomel nggak, Nak? Biar banyak yang ingatin Mbah Putri."

"Hem, kadang-kadang aja sih, Yangti."

Hati Melinda terasa menghangat menyaksikan interaksi putrinya dengan anggota keluarga di sini. Lagi-lagi Melinda berusaha legawa. Selama ini Kiara tidak pernah kekurangan kasih, tidak seharusnya Melinda memaksakan kehendak atas diri putrinya. Ya, Kiara memang seorang anak yang dia kandung selama sembilan bulan dan dilahirkan dengan mempertaruhkan nyawa, tapi seumur hidup anak itu bukan Melinda yang membersamainya.

"Ah, besok bukan akhir pekan. Kiara pasti nggak mau kalau diajak nginap rumah Yangti." Suara Ibunya kembali menyusup di pendengarannya.

"Kiara mau menginap rumah Yangti?" Kali ini suara mantan suaminya yang menyusul.

"Memangnya boleh, Pa? Biasanya kan baru Papa bolehin kalau sabtu malam."

"Waktu itu kan karena kamu besoknya ada ulangan harian, jadi Papa larang supaya kamu fokus belajar."

"Kan aku bisa belajar di rumah Yangti."

Melinda benar-benar sudah menjadi penyimak setia. Kepalanya di tolehkan ke kanan dan kiri mengikuti asal suara.

"Aku kesel deh sama Miss Tika, kan aku pengin main dulu sama kelinci-kelinci punya Miss Tika yang baru. Tapi nggak dibolehin. Katanya harus belajar dulu baru boleh main." Kiara mulai bercerita tentang pengalamannya bimbel privat.

"Nggak, Kia. Miss Tika bukan nggak ngebolehin. Tapi kamu kalau sudah terlanjur main jadi lupa belajar." Lelaki yang duduk di sofa seberang samping kanan Melinda membantah.

"Mulai besok Papa suruh Miss Tika datang ke rumah saja." Lanjut ayah satu anak itu.

Kiara langsung merengut.

"Memangnya kalau bimbel privat Kiara yang datang ke rumah gurunya?" Tanya Ibu Artawan.

"Dulunya ke sini, Ma. Tapi akhir-akhir ini Kiara pengin suasana baru. Pengin sekali-kali belajar di rumah gurunya."

"Nanti Yangti beliin kelinci. Kia mau berapa?"

"Beneran Yangti?!" seru bocah itu girang. Tapi lantas lesu, "Memangnya boleh, Pa? Kata Papa kalau punya kelinci nanti nggak ada yang rawat malah kasian."

Melinda mengamati ekspresi mantan suaminya, senyumnya terlihat tulus, dan sangat menyayangi putrinya.

"Kelincinya nanti ditaruh di rumah Yangti saja kalau gitu, biar diurus sama Mbak di sana kan banyak."

"Yeay! Boleh, Yangti? Kenapa Mbah Putri nggak dari dulu minta Yangti beliin aku kelinci sih?! Kan aku nggak perlu pinjam punya Miss Tika. Sebenarnya aku malu pinjam-pinjam terus."

Ruang tamu itu lantas diisi dengan tawa semua orang. Celotehan dan kalimat polos Kiara benar-benar mencairkan suasana menjadi semakin nyaman.

Update lebih cepat di Karyakarsa!

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang