Bagian - 11

917 145 10
                                    

"Aku baru aja nyampe rumah sama Kiara, nggak ngerti sama sekali. Habis magrib saja ya, Dek, nggak pa-pa kan? Iya, ini masih ada nenek dan ibunya Kiara di sini lagi ngobrol sama Ibu."

Melinda menghentikan langkahnya saat suara lelaki yang sangat dia kenal tertangkap telinganya. Lelaki itu berdiri di teras belakang. Pada genggaman tangan kanannya terdapat benda elektronik yang menjadi penghubung komunikasinya dengan lawan bicara. Melinda bersembunyi di balik pintu.

"Belum mau ngomong. Duduknya malah milih dekat neneknya ketimbang ibunya. Kamu kan yang paling bisa ngebujuk Kiara, Dek. Sekarang lagi ngapain? Sudah siap-siap mau pulang?"

Melinda masih belum bergerak dari tempatnya menguping. Rencananya untuk ke toilet harus tertunda karena rasa penasarannya yang melebihi apapun.

"Kalau capek sampai rumah langsung istirahat saja. Kemarin ibumu curhat katanya kamu ngeluh sakit perut. Pasti karena telat makan, asam lambung naik. Susah dibilangin ...."

Suara lelaki itu tertelan oleh lamunan. Tampak sekali keduanya begitu dekat. Sikap sayang lelaki itu yang begitu perhatian pada wanitanya menunjukkan bahwa masa lalu Mangku dengan Melinda sudah berakhir. Lelaki itu mantap menjatuhkan pilihannya untuk masa depan yang lebih baik. Dan Melinda harus tahu diri.

"Kamu ngapain di situ?"

Astaga! Melinda tidak menyangka jika aksi konyolnya ini akan tertangkap basah. Kemunculan mantan suaminya yang sudah berdiri tepat di hadapannya membuat Melinda gelagapan. "Eh, oh, mau ke toilet, Mas."

Lelaki itu menatapnya selidik sebelum menunjuk arah dapur. "Toiletnya ada di sana."

Melinda buru-buru berbalik mengikuti arahan yang ditunjuk lelaki itu. Sepuluh menit selesai urusan, Melinda keluar dari kamar mandi dan kaget mendapati mantan suaminya berdiri di depan pintu. Seperti sengaja menunggunya.

"Mau ke toilet juga, Mas?" Tanya Melinda reflek.

"Kita ngomong sebentar." Lelaki itu melangkah lebih dulu menuju teras belakang rumah. Melinda mengekor.

"Kamu ke sini mau nemuin Kiara? Kemarin kan aku sudah bilang kamu harus sabar sampai aku berhasil ngeyakinin anak itu untuk ketemu kamu lagi. Kalau sekarang Kiara masih belum mau ngomong, dia nggak bisa dipaksa."

"Aku ke sini mau ketemu ibu. Kata Mama sudah dua tahun ibu sakit. Kenapa? Kamu mau ngelarang aku datang ke sini juga?" Melinda langsung tersulut emosi.

"Bukan gitu ...."

"Aku sememalukan itu ya, Mas?" Potongnya. "Sampai kamu ngelarang aku datang ke kantormu. Sekarang mau ngelarang aku datang ke rumah ibumu juga? Bagaimanapun juga ibumu pernah jadi ibu aku, Mas! Aku pernah jadi bagian keluarga ini!" Respon ini benar-benar berlebihan, Melinda tahu itu, tapi susah mengendalikan perasaannya yang terlanjur kesal.

Lelaki itu diam menatapnya. Melinda mengusap air matanya yang tiba-tiba saja sudah membasahi pipi. Hingga beberapa menit ke depan keduanya saling diam, tidak ada yang mengeluarkan suara. Melinda menarik napas pendek dan berbalik kembali ke ruang tamu.

Tak lama mantan suaminya ikut menyusul. Sikapnya barusan pasti membuat lelaki itu bingung. Tampak sekali dari ekspresinya yang awalnya datar berubah cukup lunak. Melalui ekor matanya Melinda bisa merasakan tengah diperhatikan.

"Yangti pamit dulu ya? Kiara mau ikut Yangti?"

"Baru juga sampai, masa Yangti sudah mau pulang?"

Melinda tersenyum saat mendapati paras merajuk buah hatinya. "Ikut aja, Sayang. Nginap di rumah Yangti. Besok Bunda antar ke sekolah."

Bocah itu masih tidak mau menatapnya.

"Kiara mau nginap di rumah Yangti?" Suara mantan suaminya terdengar membujuk. "Papa siapin seragam sekolah sama buku pelajarannya buat besok ya, Nak?"

"Biar Kia sendiri yang siap-siap, Pa." Jawab bocah itu.

"Bunda bantu ya, Nak?"

Lengan Melinda ditahan oleh ibunya saat akan beranjak dari sofa untuk mengikuti Kiara yang masuk ke dalam kamar. "Biarkan Kiara sendiri dulu. Nanti dia tambah marah kalau dipaksa." Bisik wanita paruh baya itu.

Melinda merasa kesabarannya benar-benar diuji. Rasanya ia ingin berteriak protes. Ia yang sudah mengandung dan melahirkan anaknya, tapi kenapa harus menjadi orang yang paling dihindari oleh bocah itu. Diperlakukan seperti ini membuat Melinda tidak terima.

"Aku tunggu di mobil deh, Ma." Putus Melinda seraya berdiri. "Ibu, aku pulang dulu ya, Bu. Kapan-kapan aku ke sini lagi. Sehat-sehat ya, Bu." Melinda mencium punggung tangan mantan ibu mertuanya terlebih dahulu sebelum melenggang keluar rumah.

Ia lekas menempatkan dirinya dibalik kemudi. Suasana hati Melinda kali ini benar-benar buruk. Satu bulan sejak kepindahannya di Malang ia harus melewatkan kunjungannya ke Psikolog. Padahal dulu saat di Jakarta ia rutin dua minggu sekali. Keruwetan hidupnya dan perlakuan tidak adil mantan suaminya yang kedua membuat Melinda harus menjalani terapi rutin.

Makasih sudah menjenguk Ibu. Maaf kalau kata-kataku tadi menyinggungmu. Aku nggak bermaksud melarangmu datang ke rumah.

Sebuah pesan yang membuat Melinda tertegun lama. Dialihkan tatapannya pada mereka yang berdiri di teras rumah. Melinda hanya bisa mengamatinya dari dalam mobil. Ibunya sedang merangkul Kiara yang tengah menenteng tas ransel, sedangkan ayah dari bocah itu tampak memberikan pesan-pesan singkat sebelum melepaskan putrinya pada sang nenek.

"Kiara ngajinya sudah sampai juz berapa, Nak?"

Melalui cermin Melinda melirik kedua sosok yang duduk di bangku belakang. Harus Melinda akui bahwa ibunya memang lebih berpengalaman dalam mengambil hati seorang anak. Mungkin karena keduanya sudah terbiasa berinteraksi. Sehingga Kiara jauh lebih nyaman saat bersama dengan neneknya ketimbang orang baru seperti dirinya.

"Juz sepuluh, Yangti. Hafalan Kiara juga sudah dapat tiga juz." Jawab bocah itu bangga.

"Wah, masha Allah, hebat sekali cucu Yangti ini. Sudah cantik, salihah, Yangti jadi makin sayang sama Kiara."

Melinda baru tahu jika putri kecilnya ini akan menjadi seorang penghafal kitab suci al quran. Demi Tuhan ini kejutan. Pantas saja keteguhan bocah ini saat menutup aurat tidak tergoyahkan. Karena bacaan yang menjadi pedoman hidup sudah tertanam di jiwa putrinya.

"Nanti murojaah sama Yangti ya, Nak? Kita kasih kejutan Eyang Kakung, Kiara sudah hafal tiga juz. Pasti Eyang Kakung bangga banget sama Kiara."

"Siap, Yangti! Kemarin Kia di sekolah tashih kan, terus karena Kia hafal paling cepat dari yang lain akhirnya Kia dapat hadiah mushaf dari Miss Zaila. Ini hadiahnya Kia bawa buat dipakai hafalan dan murojaah." Bocah itu terlihat mengeluarkan sesuatu dari dalam tas ranselnya.

"Masha Allah, bagus banget mushafnya. Eh, Yangti nggak ada wudhu, Nak, dimasukin lagi saja."

"Kata Miss Zaila ini belinya di Madinah, Yangti. Bulan lalu Miss Zaila ibadah umroh dan beli oleh-oleh buat muridnya. Selain mushaf, Kia dapat cokelat dan tasbih juga."

"Masha Allah, kebaikan Miss Zaila pasti segera dibalas oleh Allah."

"Kia pengin jadi seperti Miss Zaila yang hafizah dan bersuara merdu saat tilawah."

"Amiiiin, insha Allah Kiara jauh lebih hebat dari Miss Zaila."

Di Karyakarsa sudah sampai bab 20 🤗

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang