Esti memilih dan mendaftarkan namanya untuk perawatan gigi siang hari ini di sebuah klinik bersama di pusat kota. Sesampainya di tempat ini, Melinda sempat membaca nama dokter yang tercantum pada tulisan digital di atas pintu masuk, dan nama itu sangat tidak asing. Belum sempat Melinda mengingatnya, seorang perawat memanggil untuk masuk ke dalam ruang praktik.
Di antara banyaknya dokter gigi kenapa harus perempuan ini yang Esti pilih? Betapa tidak siapnya Melinda bertemu dan harus berurusan langsung.
"Sudah berapa lama kenal Papanya Kiara?" Tanya Melinda, tadinya ia bermaksud untuk diam saja, tapi rupanya perempuan ini cukup supel. Pertemuan mereka sebelumnya bahkan tidak bisa disebut berkenalan, tapi perempuan ini memperlakukan Melinda seolah mereka adalah teman yang lama sudah tidak bertemu. Maka dari itu, mau tak mau Melinda harus menyesuaikan diri. Ia tidak mau dianggap sebagai perempuan bad attitude, sementara di tempat ini ia disambut dengan sangat baik.
"Kenal dan memutuskan untuk bertunangan sudah lebih dari satu tahun, Mbak."
Informasi barusan cukup membuat Melinda kaget. Seingatnya, mantan suaminya itu bukan tipikal laki-laki yang doyan terikat dengan seseorang tanpa status yang jelas. Dulu Mangku langsung bersedia menikahinya padahal mereka belum lama kenal, saat Melinda bahkan belum lulus kuliah. "Sudah lumayan lama ya? Kenapa nggak buru-buru diresmikan saja?" Akhirnya Melinda tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Betul, Mbak, penginnya saya juga segera menikah. Mengingat usia saya susah dua puluh tujuh. Hehehehe. Tapi Mas Mangku meminta saya untuk menyelesaikan spesialis dulu. Beliau berkata menikah itu menyita waktu dan tenaga, kasian kamunya, gitu katanya. Padahal saya sudah siap banget loh. Yaudah saya manut saja."
Melinda menahan diri untuk tidak mencibir. Saat laki-laki lebih banyak alasan dan menunda untuk segera menikahimu, itu suatu tanda bahwa kamu tidak cukup istimewa untuk segera dimiliki. Hidup di ibu kota yang keras, bertemu dengan banyaknya makhluk adam dengan berbagai karakter yang berbeda-beda membuat Melinda cukup jeli dalam menilai.
Perawatan membersihkan karang gigi sudah selesai dilakukan, sekarang Melinda akan melanjutkan perawatan berikutnya yaitu veneer.
"Karena Papanya Kiara nggak angkat teleponku, dan pesan-pesanku juga nggak pernah dibalas. Kemarin aku terpaksa datang ke kantornya." Melinda merasakan gigi-giginya ditempeli oleh sesuatu. Dengan posisinya seperti ini, ia tidak bisa melihat ekspresi perempuan yang menjadi tunangan mantan suaminya.
"Betul, Mas Mangku cerita katanya Kiara belum mau bertemu Bundanya. Nanti coba saya yang bicara dengan Kiara ya, Mbak. Kiara anaknya pinter kok, dan mudah dirayu. Asalkan sabar."
Melinda belum bisa menanggapi, karena mulutnya terpasang alat penahan rahang. Ego Melinda sebagai seorang ibu yang pernah mengandung dan melahirkan putrinya tersentil. Tidak seharus perempuan yang belum sepenuhnya menjadi bagian hidup Kiara ikut campur. Tapi apa boleh buat, Melinda harus menerima akibat dari perbuatannya sendiri.
"Dulu saat awal-awal mengenal Mas Mangku saya sempat meragu. Eh, Ya Allah, kok jadi curhat."
Melalui gerakan tangan Melinda memberi isyarat pada dokter itu untuk melanjutkan perkataannya.
"Itu karena saya belum pernah bertemu langsung dengan Mas Mangku. Saya hanya mendengar nama beliau dari ibu saya, dan belum bertemu secara langsung. Dan kadang kalau gadis penginnya dapetnya yang perjaka gitu. Hehehehe. Tapi setelah akhirnya bertemu, Masha Allah, agak memalukan, saya langsung jatuh cinta pada pandangan pertama. Pembawaan Mas Mangku itu loh, Mbak, yang bikin saya meleleh. Kalem, ngemong, tutur katanya adem banget."
Barulah Melinda bisa mengeluarkan suaranya setelah alat yang terpasang di mulutnya dilepas. "Gitu ya? Apa yang Dokter sukai dari Papanya Kiara?" Keduanya belum lama saling mengenal, sehingga keterbukaan perempuan ini cukup membuat heran.
"Nggak munafik ya, Mbak, yang dilihat pertama itu pasti fisik. Mas Mangku ganteng. Bonusnya, dia baik dan masha Allah tekun beribadah. Sudah otomatis bisa jadi imam yang baik dan bisa membimbing saya. Jujur, sosok seperti Mas Mangku yang sangat saya harapkan sebagai suami. Hehehehe."
Kenapa harus, hehehehe? Melinda beranjak dari dental chair dan berpindah ke kursi lain yang memang disediakan untuk pasien.
"Saya doakan semoga hubungan kalian langgeng. Dilancarkan segalanya." Ujar Melinda tulus.
"Amin, Mbak. Doa yang baik akan kembali kepada Mbak Melinda."
Melinda berdiri setelah menambahkan lipstik dan memastikan riasan wajahnya tetap rapi. "Saya pamit ya."
Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih atas kunjungannya, semoga sehat selalu."
Esti langsung menyongsong dirinya saat Melinda keluar dari ruang praktik. Bocah itu rupanya peka dengan kesalahannya. "Mbak, soriiii, aku benaran nggak tahu kalau Apsarini Ghina itu calon Mama barunya Kiara."
"Makanya jadi orang itu yang fokus. Sana, buruan antri di kasir."
Asistennya itu buru-buru menuju kasir untuk menyelesaikan administrasi. Tak lama keduanya sudah duduk bersebelahan di bangku belakang kemudi.
"Bos Aing masih marah kayaknya. Pasti tadi ada kejadian kurang enak."
"Jangan sok tahu!" Sambil menekuri layar ponselnya Melinda menjegal pernyataan sang asisten.
"Gimana aku bisa tahu kalau Mbak Mel diam saja dari tadi? Aku emang salah, dan aku minta maaf banget, Mbak. Bodoh emang aku! Biasanya aku juga orangnya teliti. Pas daftarin kemarin juga asal pilih aja nama dokternya, bahkan nggak kepikiran sama calon istrinya Mas Mantan sama sekali."
Melinda memasukkan ponselnya kembali ke dalam pouch. "Iya, dimaafin." Pungkasnya.
"Orangnya nggak ngomong aneh-aneh kan?" Pertanyaan Esti yang bersifat mengorek informasi masih berlanjut.
"Nggak lah! Justru sopan banget. Mana berani aneh-aneh sama aku. Belum ngomong aja semua orang sudah pada nganggep aku orangnya galak kan?"
"Tuh kaaaan, Mbak Mel lagi sensitif."
"Nggak, Es, kamu itu terlalu sok tahu."
"Kemarin ketemu Mas Mantan aja muka Bos Aing nggak sekecut sekarang."
"Kecut? Maksudmu wajahku sekarang kurang enak dilihat? Gitu? Sembarangan!"
Esti menggeleng panik. "Bukaaaan, Mbak, Ya Allaaaah! Maksudku, Mbak Mel kelihatan kesel gitu. Kelihatan nggak bersemangat. Ini bukan tentang fisik, kecantikan dan aura Mbak Mel masih tiada tandingan."
"Aku nggak apa-apa, mungkin agak capek aja karena bentar lagi waktunya tamu bulanan. Sekarang aku malah lebih nerimo, calon Mamanya Kiara itu baik banget. Kalau nanti akhirnya aku nggak bisa urus Kiara, aku nggak perlu khawatir lagi. Kiara nggak akan pernah kekurangan kasih sayang."
"Ya Allah, Mbak, kok ngomongnya gitu sih. Masak cuma karena Kiara belum mau ketemu Mbak Mel, langsung hopeless gituuuu?!"
"Kamu belum ngerasaim rasanya jadi Ibu yang nggak diakui anaknya. Sakit, Es. Nggak bisa nyalahin Kiara juga. Semua terjadi karena keegoisanku. Jadi mulai sekarang aku harus belajar untuk nerima takdir. Kalau aku Ibu yang nggak bisa bikin anakku nyaman, mending nggak usah lagi ada pertemuan. Lebih baik dia bersama orang-orang yang membuat hatinya tenang dan merasa dilindungi."
Di Karyakarsa sudah sampai bab 14 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
Persinggahan Singkat (TAMAT)
Romance"Jika memilikinya hanya sebuah mimpi, maka Tuhan ... aku memohon, sekali saja, jangan terbitkan matahari tepat waktu."