Bagian - 13

1K 145 17
                                    

Beberapa saat lalu Melinda masih berada di atas awan karena keberhasilannya membuat mantan suaminya itu lebih memilih menerima ajakannya ketimpang harus menepati janji temu dengan calon istri. Acara makan malam bersama keluarga inti, yaitu kedua orang tuanya, putrinya, mantan suami beserta ibunya. Bagi Melinda pertemuan ini sangat istimewa sehingga ia mempersiapkan segalanya dengan sangat sempurna.

Melinda menyewa sebuah restoran bintang lima yang mewah dan berkelas. Saat melangkah masuk, kita akan disambut dengan langit-langit dramatis tinggi yang dipenuhi dengan lampu kristal yang sekilas terlihat seperti kupu-kupu. Restoran dengan suasana ternyaman, kursi beludru hijau dengan sandaran tangan tinggi. Melinda memesan buffet segar yang dibuat berdasarkan pesanan yang menekankan cita rasa lokal dan santapan ala rumahan. Tak hanya hidangannya yang memiliki sentuhan lokal, begitu juga dengan interior yang dirancang dengan begitu banyak sentuhan Indonesia.

"Seniat ini Mbak Mel nyiapin semuanya. Demi siapa sih, Mbaaaak? Papanya Kiara?"

Melinda sengaja berangkat lebih dulu demi untuk memastikan semuanya sudah beres dan sesuai dengan ekspektasinya.

"Dari tadi aku tuh salfok sama dandanan bos aing, cantiknya nggak ketulungan. Laki-laki mana yang nggak bakalan klepek-klepek kalau lihat perempuan sesempurna ini."

"Es, diem. Bentar lagi orang-orang sampai. Kembali ke tempatmu sana!"

"Hahahaha, aku pastiin Papanya Kiara langsung kesengsem. Langsung pindah tempat ke sisimu, Mbak."

Melinda berdiri saat melihat kedua orang tuanya bersama dengan putrinya muncul. Tapi, senyumnya langsung surut saat mendapati adanya perempuan yang bukan keluarga inti berada di antara mereka. Hebat! Lancang sekali lelaki itu mengajak serta calon istrinya pada acara malam hari ini.

Apakah lelaki itu tidak merasa bahwa tindakannya ini dapat membuat Melinda sakit hati? Apakah tidak sedikitpun lelaki itu mau menjaga perasaannya? Atau justru lelaki itu senang melihat Melinda merasa terhina?

"Masha Allah, Nduk ... ibu sampai pangling loh. Kamu cantik bangeeeet. Masha Allah. Ini juga restorannya mewah banget. Kamu yang sudah nyiapin ini semua?"

Melinda berusaha menarik sudut bibirnya. "Makasih ya, Bu, sudah mau datang." Ujarnya sembari menyambut mantan ibu mertuanya ke pelukan.

"Ibu dong yang seharusnya berterima kasih. Sudah diajak makan malam di tempat yang mewah begini."

"Biasa saja ini, Bu."

Mereka lantas duduk di tempatnya masing-masing. Belum mau duduk di samping ibunya, Kiara justru memilih bersebelahan dengan perempuan yang dibawa mantan suaminya. Melinda berusaha untuk tidak terpengaruh. Meski perasaannya seakan diamuk badai.

Sepanjang acara makan malam Melinda lebih banyak diam, saat semua orang mengobrol seru menimpali celotehan Kiara. Melinda tidak menyangka jika kedua orang tuanya sangat akrab dengan perempuan yang duduk di samping mantan suaminya. Demi Tuhan, Melinda ingin tertawa keras untuk kebodohannya sendiri. Dia lebih mirip seperti orang asing yang tersesat di tengah-tengah keramaian orang yang tidak dikenal, padahal sebenarnya dialah tuan rumahnya. Ironis sekali, bukan?

"Kan sudah Kiara bilang kalau Kiara pengin jadi dokter gigi kayak Mama. Hebat, bisa nyembuhin orang sakit ya, Ma?"

"Kalau gitu Kiara harus belajar yang rajin supaya pinter seperti Mama." Itu adalah suara ibunya. Ya, ibunya. Wanita yang beberapa hari lalu mencetuskan ide kotor untuk memperdaya mantan suaminya. Bisa-bisanya wanita itu sekarang berlagak sok manis. Melinda berusaha untuk tidak mengeluarkan dengusan. Para orang-orang munafik!

"Kurang berapa lama lagi lulus spesialisnya, Dek?" Kali ini suara ayahnya. Sosok yang selama ini dikenalnya angkuh dan tidak mau repot-repot mengetahui profesi orang.

"Satu semester lagi, Pak. Pangestunipun." Jawab perempuan itu kalem. Yang anehnya justru membuat Melinda ingin muntah saat mendengarnya.

"Saya doakan lancar dan segera menikah. Kalau sudah nggak kuat lebih baik disegerakan toh? Nunggu opo se, Ku?"

"Biar Dek Ghina fokus dengan kuliahnya. Beda sama saya, kuliah jurusan kedokteran itu susah. Takutnya nanti malah ganggu konsentrasi."

"Oalah, yowes lak ngunu. Sebagai orang tua cuma bisa mendoakan saja."

Di dalam hatinya Melinda terus mencibir. Ayahnya dengan sangat tulus mendoakan orang lain, sementara untuk anaknya sendiri? Apa yang sudah ayahnya lakukan hingga hidup Melinda berantakan? Seharusnya ayahnya yang menyandang gelar haji hingga tak terhitung jumlahnya ini lebih mengutamakan putrinya ketimbang orang lain.

"Kalau Haji Artawan yang mendoakan ya pasti manjur." Timpal mantan ibu mertuanya.

"Mohon maaf menganggu, Bapak, Ibu." Esti yang sedari tadi duduk di kursi lain tiba-tiba saja sudah berada di hadapannya. "Mbak Mel, ini ada pesan dari Mbak Grace katanya sekarang sudah sampai di apartemen. Gimana, Mbak?"

Hanya Esti satu-satunya orang yang bisa memahaminya. Gadis yang usianya hanya berjarak beberapa tahun di bawahnya ini sangatlah peka. Pasti sedari tadi Esti terus memperhatikannya. Melinda tidak butuh orang lain, cukup Esti saja yang setia di sisinya. Ya Tuhan, Melinda bersumpah akan selalu menyayangi gadis ini sampai di kehidupan berikutnya kelak.

"Minum dulu, Mbak." Esti menyodorkan botol air mineral padanya saat mobil yang dikendarai berhenti di pinggir jalan kota. "Nangis saja, Mbak. Aku temani. Aku sudah pengin banget nangis dari tadi. Berat banget jadi bos aing, Ya Allaaaah. Perempuan baik, cantik, gini banget hidupnya. Diselingkuhi, diKDRT. Keras banget dunia ini, Ya Allaaaah."

Seperti yang lalu-lalu, keduanya menangis bersama. Terakhir Esti ikut menangis itu saat Melinda babak belur karena ulah Mehdi. Esti mengobati lukanya sambil berurai air mata.

"Mungkin Mbak Mel setop dulu. Istirahat dulu di apartemen dan nggak perlu ketemu sama orang-orang yang hanya bikin Mbak Mel semakin sakit. Ibu Artawan nggak tahu kalau sampai sekarang anaknya masih jadi terapis aktif di Psikolog. Luka yang dikasih Mas Mehdi aja belum sembuh loh, Mbak. Please, sayangi diri sendiri, Mbak, aku mohon."

Selama ini hanya Esti yang memeluknya sambil mengusap-usap punggungnya saat ia sedang terpuruk. Esti yang tanggap dengan beban yang ia alami dan langsung membawanya pada Psikolog. Selama lima tahun, hanya Esti yang selalu membersamainya.

"Nggak bisa nyalahin Kiara juga meskipun jujur aku gemes banget. Gemes dalam arti kesel. Dia masih kecil, nggak paham jika tindakannya itu menyakiti Mbak Mel. Padahal dia mau nerima kado dan tersenyum bahagia banget. Benar kata orang, membujuk anak kecil itu susah-susah gampang. Persis seperti Kiara."

"Sudah, Es, jalan lagi." Melinda meminta Esti untuk kembali menjalankan kendaraannya. "Iya, sebaiknya aku nenangin diri dulu."

"Aku juga nggak nyangka, Mbak, kalau ternyata calon mama barunya Kiara sudah akrab banget sama keluarga Mbak Mel. Sampai speechless aku. Sekarang, beliau bisa sangat baik dengan orang yang nggak ada hubungan darah, tapi selama tujuh tahun beliau membiarkan darah dagingnya hidup sendiri. What the hell?!"

Itulah! Ya, itulah yang Melinda juga tidak habis pikir.

"Berarti selama ini mereka, sering dong ya ketemu gitu, sekedar makan malam kayak barusan. Mengingat sudah pada akrab dan nggak canggung sama sekali pas ngobrol."

"Mungkin papanya Kiara selalu ngajak calon istrinya tiap ketemuan sama Bapak Ibu Artawan."

"Mbak Mel ...."

"Aku nggak punya Mama Papa, Es. Kita sama." Air mata Melinda tumpah lagi. Benar, ia sudah tidak mendapatkan sosok orang tua lagi sejak tujuh tahun yang lalu.

"Mbak Mel, aku janji akan selalu di samping Mbak Mel. Sampai mati. Itu sumpahku, Mbak Mel."

Melinda mengusap sisa-sisa air matanya dengan tisu. "Makasih banyak ya, Es. Kamu nggak ada duanya. Jangan bosen sama aku, meskipun aku cerewet tapi tolong jangan tinggalin aku."

Esti menggeleng cepat-cepat. "Aku bersumpah nggak akan pernah ninggalin Mbak Mel. Percaya sama aku, Mbak."

Persinggahan Singkat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang