"A -- aku anakmu, bu. Aku anakmu yang telah kau buang saat aku berusia 1 tahun. Kenapa kau begitu kejam, bu? Apa kau tak menyayangiku, bu?" Dapat kurasakan lengan Niall memeluk pinggangku dari belakang.
"Apa yang kau bicarakan? Aku tidak pernah memiliki anak sepertimu. Dan, tolong jangan suka mengaku - aku!" Kali ini nada bicara wanita itu lebih mirip dengan sebuah bentakan.
"Bu! Ibu, dengarkan aku!" Aku berusaha meraih lengan wanita yang tak lain adalah ibuku.
"Sebenarnya, siapa kau? Jangan sembarangan mengaku - ngaku!" Bibirku mulai begetar. Sementara itu, Niall makin mempererat pelukannya.
"A -- aku Vischa... Aku anakmu, Bu. Aku anakmu dan Mr. Robert." Raut wajah ibu pun berubah seketika.
"Tolong jangan ingatkan aku pada kejadian itu." Kini nada bicara turun satu oktaf.
"Memangnya kejadian apa?" Aku masih terus berusaha untuk menahan air mataku yang sudah berada dipelupuknya.
"K -- kau, bukan anakku." Perkataan ibu sukses membuatku menangis dan terisak.
"Kenapa kau tidak mempercayaiku, Bu?" Ibu yang mendengarku malah tertawa hambar.
"Kenapa pagi - pagi begini sudah ada orang gila yang tersesat kerumahku? Oh, tuhan..." Astaga, kenapa lidah ibu begitu tajam? Bukankah aku adalah putrinya?
"Jangan membuang - buang air matamu, gadis gila. Lebih baik, kau segera meninggalkan rumah ini." Apa ia baru saja mengusirku? Padahal, aku adalah putrinya sendiri.
"Apa kau mengingat benda ini, Bu? Sewaktu usiaku mencapai 13 tahun, ibu angkatku memberikan kalung ini dan menceritakan semuanya. Apa bukti ini masih belum CUKUP?!" Suaraku sudah naik 2 oktaf lebih tinggi.
Aku pun menyerahkan sebuah kalung yang sepertinya adalah pemberian ibuku. Karena, ibu angkatku pernah mengatakan hal tersebut.
Seketika, wajah ibu berubah. Sedetik kemudian, wanita itu membanting pintu rumah.
"Lebih baik, kau segera pergi darisini!" dan itu adalah kata terakhir yang kudengar sebelum aku meninggalkan rumah tersebut.
"A -- aku memang tidak berguna! Lebih baik, aku mati saja! Ya, lebih baik aku mati." Aku pun berlari meninggalkan rumah terkutuk itu. Sementara itu, Niall terus berusaha untuk mengejarku.
"Vischa! Hey, Vischa!" Teriak Niall, tetapi aku tak menghiraukannya.
Aku benar - benar terpukul. Ibu kandungku sendiri saja tidak mau mengakuiku dan mengatakan bahwa, aku adalah orang gila. Jadi, lebih baik aku mati saja. Namun, sebelum aku menabrakan tubuhku kearah sebuah sedan yang tengah melaju dengan kecepatan tinggi, Niall sudah menarikku kedalam dekapannya.
"Kumohon... Jangan." Bisik Niall sambil mengeratkan dekapannya.
"Kenapa, Niall? Semua orang membenciku. Bahkan, ibuku sendiri tidak mau mengakuiku sebagai putrinya." Isakanku pun semakin menjadi - jadi.
"Shhh.. Jangan bicara seperti itu, Love. Aku tidak membencimu. Aku menyayangimu." Perkataan Niall sukses membuatku membisu.
"Lebih baik, kita segera kembali kehotel dan beristirahat disana." Niall pun mengecup puncak kepalaku, lalu beralih kearah batang hidungku, dan berakhir pada bibirku.
"Kuharap itu membuatmu sedikit merasa lebih baik, sweetheart." Astaga, kenapa Niall bersikap begitu manis? Padahal, ini hanyalah sebatas Fake dating.
* * *
"Kau lelah?" Tanya Niall yang kini berada disampingku. Ya, kami sudah sampai dihotel.
"Yeah, aku hanya butuh sedikit waktu istirahat."