02. DIMULAI

37 5 0
                                    

PUNGGUNG kecil itu membentur meja dengan kencang, bahkan suara benturan itu menyaring ke seluruh ruangan.

Dia menahan sakit dari kepala, dada, perut, dan pendengarannya. Semua terasa sakit sehingga membuatnya tidak mungkin untuk membalas perlakuan itu.

Lagi-lagi pria itu mencengkram erat kerah lehernya hingga tubuhnya sedikit terangkat, lehernya pun tercekik karena sangking kuatnya, “Denger gue baik-baik, Renza Pratama.. sekali lagi lu bersikap ga baik sama pacar gue, gue jamin lu mati disini!" Ancam pria yang bertubuh lebih besar darinya, Renza hanya bisa diam saja karena tak mendengar apapun saat alat pembantu pendengarannya copot entah kemana.

Pria yang menghajarnya pun keluar meninggalkan Renza tergeletak disana, disusul kekasih pria tadi dan sesekali pula mengejek Renza. Renza menatapnya dengan jengah lalu mencoba untuk bangun, namun tubuhnya terasa sakit semua bahkan untuk bernafas saja tetap terasa sakit.

Akhirnya yang dapat dilakukan hanya bisa melamun ditengah suasana malam, gedung sekolah pun sudah gelap sehingga minim untuknya mencari jalan keluar. Ia menyenderkan kepalanya ke tembok lalu bayangan saat ayah marah terputar di otak, Renza berpikir pasti akan habis dirinya sampai ayah tau dia pulang dengan keadaan luka-luka seperti ini, apalagi seragam sudah tidak jelas bentuknya.

Hari-hari pagi tadi terputar apik diingatkannya saat percakapan ayah dan Jana yang secara tak sengaja ia dengarkan.

Jana, jadwal les kamu ayah tambahkan 1 jam lagi jadi ayah harap kamu bisa menjadi terbaik dan selalu membanggakan ayah tidak seperti anak yang satu itu.

Ayah...

Ayah benar, apa ada yang salah? Renza emang ga bisa nyaingin kamu bahkan memberikan kamu contoh yang baik, malah kamu yang nyontohin ke dia, seharusnya dia tahu malu.

Renza tau, Jana tidak terima dengan perkataan itu namun tidak ada nyalinya untuk melawan ayah. Sejak kecil Jana seperti itu..

“Gue ga masalah mau dialokin ayah kaya gimana, yang penting selama dia suka dan puas pas dia ngolokin gue, gue ga masalah..” katanya lirih.

Renza tersenyum lalu menunduk dalam saat dirasa matanya memanas, seolah ada kamera pengawas dia mencoba menyembunyikan air matanya dalam dekapan lutut. Ia tak tau lagi bagaimana caranya untuk menghilangkan kesedihan.

••
Pintu terbuka, suara decitan pun juga sedikit menyaring karena suasana hening. Ia berterimakasih pada pak Adi yang sudah membukakan pintu lalu dengan perlahan dia masuk kedalam rumah dan menaiki tangga secara hati-hati agar tak menimbulkan suara.

Ceklek!

Tubuhnya bergelonjak terkejut saat lampu utama dinyalakan, seakan tertangkap basah oleh polisi Renza hanya diam di tempat seperti patung. Cemas juga mendominasi namun Renza tetap menyetabilkan raut wajahnya.

“Bagus, pulang jam segini dengan keadaan kayak begitu. Habis berantem kamu? Mau jadi brandalan? Trus mempermalukan ayah, iya?!” Renza menunduk saja sebagai balasannya karena jujur Renza tak mendengar perkataan Alanda, sang ayah. dibelakang sana pak Adi menatapnya cemas namun Renza memberikan kode pada pak Adi agar pergi dari sana dan jangan khawatir.

Dimana alat pendengar kamu?” Tanya Alanda dengan gerakan tangannya.

Renza tetap menunduk walau tau perkataan Alanda dari gerakan tangannya, Alanda menggeram penuh kesal menatap mata Renza yang tak mau membalas tatapannya.

Alanda mendorong Renza keras, “TATAP MATA AYAH RENZA!!” samar-samar Renza mendengar teriakan Alanda, Renza pun menatap ragu dan takut pada Alanda.

“Maaf ayah..”

Lembaran Kertas || RENJUN Feat. JAEMIN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang