2008
Kehidupan Vanka langsung berubah dalam sekejap setelah Papa meninggal. Ibarat sudah jatuh dari tangga, masih jatuh lagi ke dasar jurang. Seperti itulah kisahnya.
Harta yang tersisa dari keluarga Vanka hanyalah perhiasan Mama yaitu peninggalan dari Papa. Mamanya bilang jika semua perhiasannya dijual, kemungkinan keluarga mereka masih bisa memiliki simpanan sekitar 30 juta untuk kebutuhan hidup dan sekolah Vanka dan Vano.
Bukan hanya Mama saja yang rela mengorbankan harta satu-satunya peninggalan Papa, justru Eyang ikut andil dalam membantu ekonomi anaknya sendiri. Eyang menjual salah satu aset tanah sawahnya sebesar 33 ru atau setara 463 m2 dengan harga yang miring.
Mama sempat marah dan menolak usul penjualan sawah milik Eyang. Terlebih ada delapan anak Eyang yang juga memiliki hak yang sama atas harta milik orangtuanya.
Eyang dengan tulus mengatakan, "Sesama saudara harus saling tolong-menolong. Adik dan kakakmu pasti akan mengerti dengan kondisimu sekarang, Mir. Kamu orangtua tunggal dan punya anak yang harus disekolahkan sampai lulus. Sementara kakak dan adikmu masih memiliki anggota keluarga yang utuh. Anak-anak mereka juga masih kecil. Lagi pula tanah Bapak masih ada dua lagi. Ibu sudah mempersiapkan tanah yang di dekat rel kereta untuk biaya mendesak. Satunya lagi yang satu hektar kalau bisa jangan dijual. Dijaga saja untuk generasi cucu-cucu Ibu dan Bapakmu," tukas Eyang seraya memberikan banyak gepokan uang merah kepada Mama.
Mama menangis hebat. Tidak serta-merta Mama ambil semua uang pemberian Eyang. Mama tahu, adik dan kakaknya pasti juga sama membutuhkan uang tersebut. Mama hanya minta 60% saja dari uang penjualan sawah untuk dirinya. Dan sisanya dibagikan kepada adik dan kakaknya. Supaya tidak ada rasa iri antar saudara.
Keluarga Vanka mulai menjalani hidup sederhana. Uang jajan Vanka yang biasanya dua puluh ribu sehari, kini turun drastis menjadi lima ribu sehari. Uang tersebut sudah termasuk dengan biaya transport perjalanan ke sekolah naik angkutan umum yang kira-kira memakan dua ribu Rupiah untuk perjalanan pulang pergi.
Vanka sering menahan diri untuk tidak jajan di kantin sekolah. Ia lebih memilih berhemat dan membawa air minum dari rumah.
Bahkan saat menjadi miskin, teman-temannya kian merundung Vanka tanpa henti. Kali ini mereka memalak Vanka secara paksa. Tentu saja Vanka tidak berani melawan. Saat dirinya kaya saja sulit untuk melawan, apalagi saat miskin? Akan sia-sia saja baginya untuk memberontak.
Semua uang Vanka ludes diambil preman sekolah. Terpaksa ia harus pulang berjalan kaki dengan jarak empat kilo menuju rumahnya.
Masalahnya adalah ia belum makan dari pagi. Tidak pula memiliki uang untuk membayar transportasi pulang. Air minumnya habis. Ditambah harus menghadapi teriknya matahari. Ia benar-benar lemas tak berdaya.
Sebelum tubuhnya oleng di tengah jalan, Vanka memutuskan untuk meminggirkan langkahnya pada sebuah taman warga yang dipenuhi pohon rindang. Cukup teduh untuk membuatnya duduk beristirahat sejenak.
Vanka menyelonjorkan kakinya. Menutup wajahnya rapat. Vanka menangis sejadi-jadinya. Ia rindu sosok Papa. Ia lapar dan tidak ingin hidup seperti ini.
Dari kecil hidupnya selalu bergelimang harta. Menjadi miskin mendadak adalah sebuah nightmares baginya. Vanka masih sulit menerima kenyataan bahwa kehidupannya sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.
Perut Vanka bak ditusuk-tusuk. Badannya lemas menahan lapar. Ia sudah tidak sanggup berjalan dalam keadaan perut kosong. Bisa pingsan di tengah jalan jika ia tidak mengganjal perutnya. Tuhan, tolong Vanka, batinnya.
Vanka memutuskan untuk memejamkan kedua matanya sejenak seraya menyenderkan kepalanya pada pohon mangga di sebelahnya. Tubuhnya meringkup dan tangannya terus memegang perutnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hello You Apps! [COMPLETED]
RomanceTivanka adalah seorang penulis novel fiksi yang sangat terkenal. Pada buku kesepuluhnya, ia menuliskan sebuah cerita romansa yang menceritakan tentang 'cinta monyetnya' semasa sekolah yaitu Ali. Tivanka secara eksplisit memasukkan nama Ali ke dalam...