Lisa baru saja menyelesaikan pekerjaannya, dirinya kemudian membuka telepon genggam dan bermain gim seperti biasa. Hal ini sangat bertolak belakang dengan Jennie yang akan menghabiskan waktunya untuk melakukan hal lain, seperti membaca buku dan/atau melakukan olahraga yoga.
Tetapi kali ini, ia tidak mau melakukan keduanya. Justru saat ini Jennie sangat ingin menghabiskan waktu bersama dengan Lisa yang sedang fokus dengan permainannya.
Jennie menghampiri Lisa dan memeluknya dari belakang, menyenderkan dagunya di atas bahu Lisa.
"Hei," sapa Lisa tanpa benar-benar memperdulikan Jennie.
Jennie mengecup lembut tengkuk Lisa, membuat kekasihnya merasa kegelian, "Jennie, aku tahu yang kau lakukan."
"Lalu?" Jennie mengolok Lisa dengan pertanyaannya dan terus mengganggu Lisa dengan memberikan kecupan-kecupan singkat.
Lisa pada akhirnya menyerah, dan meletakkan telepon genggamnya. Ia tak lagi memperdulikan permainannya, tidak perduli apakah ia akan kalah atau menang.
Ia memandang kedua mata Jennie sebelum mengecup bibir seksi Jennie. Lisa mendorong pelan tubuh mungil kekasihnya ke atas kasur tanpa melepas ciumannya. Lisa tahu, ia tidak akan bisa pernah mengabaikan Jennie, sekuat apapun keinginannya. Jennie mengecup bibir Lisa dengan intensitas yang sama. Ia mengalungkan kedua lengannya pada tengkuk Lisa sehingga ia dapat mengeksplor lebih jauh.
Setiap kali Jennie berada di dekat Lisa, ia merasa seperti berada di sebuah konser musik. Jantungnya berdebar seperti habis berlari maraton. Setiap berada dekat dengan Lisa, Jennie seperti seorang anak kecil yang baru saja diberikan mainan atau makanan.
Lisa dapat membuatnya tidak karuan namun juga bisa membuatnya nyaman dan memberikan rasa tenang dan aman.
Lisa seperti rumah yang tidak pernah ia miliki sebelumnya—dan jujur, Jennie takut jika ia harus memikirkan kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Segala skenario sudah ia pikirkan, seolah ia harus mencari jalan keluarnya sendiri. Menjadi seorang perfeksionis dan overthinker tidak lah mudah.
Jennie berhenti mengecup bibir Lisa dan memandangnya. Kejadian ini seperti de javu bagi keduanya. Lisa tersenyum di antara kecupan, seolah sudah tahu ada yang menganggu pikiran kekasihnya. Ia lalu mengecup bibir Jennie untuk terakhir kali sebelum beranjak dari posisinya.
"Apa yang sedang kau pikirkan?"
Jennie meminta Lisa untuk berbaring di sampingnya sehingga ia dapat memeluk Lisa, "tidak ada sih. Cuma terlintas ketakutan tidak pentingku"
"Apa yang kau takuti?"
"I don't know... masih dengan hal yang sama. Aku sangat amat menyukaimu, aku sampai takut sendiri kalau nanti akan ada masalah yang berujung kita tidak akan bisa bersama lagi"
Lisa mengernyitkan dahinya heran, "really?"
"I'm sorry, ok?"
"Jen, kau tidak pernah memiliki hubungan seperti ini ya?"
Jennie tidak menjawab. Ia hanya menggeleng samar.
Ketika tidak mendengar jawaban Jennie, Lisa menganggap kalau asumsinya benar. Lisa sendiri belum pernah memiliki hubungan di mana keduanya memang benar-benar saling membutuhkan. Berada di hubungan yang seperti ini, terkadang juga memicu pemikiran serupa baginya. Kendati demikian, Lisa dapat bersikap lebih tenang dan tidak menggebu-gebu.
Jika Jennie akan dengan mudah memperlihatkan apa yang ia rasakan; sedih, senang, khawatir bahkan jatuh cinta—Lisa justru sebaliknya.
"Jen, mau tahu tidak, apa yang ibuku selalu bilang kepadaku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucky We Met [JENLISA] [GXG] [BAHASA INDONESIA / ID]
FanficLisa si ceroboh dan berantakan, hobinya makan permen asam dan gummy bear, bertemu dengan Jennie si perfeksionis. Keduanya memiliki kebiasaan yang saling bertolak belakang, namun harus tinggal bersama selama 6 bulan di sebuah villa di Pulau Jeju, tem...