Jisoo tidak pernah menyangka jika dirinya bisa menjadi seseorang yang paling ia benci beberapa tahun silam. Dirinya tidak pernah suka saat merasa menginginkan sesuatu hal tanpa tahu apakah ia akan mendapatkan itu atau tidak—jika ia merasa itu sulit, sudah pasti hal itu akan ia tinggalkan karena hanya membuang waktu yang berharga.
Namun mengenal Rosie, dirinya seolah termakan kata-kata yang pernah ia lontarkan dan berjanji untuk tidak berada pada situasi rumit. Apalagi soal cinta. Jisoo selalu merasa diinginkan, ia selalu merasa orang-orang menyukainya dan selalu merasa bisa mendapati hati semua orang yang dihidupnya.
Jika dikatakan bagaimana Jisoo saat ia berada di dalam sebuah hubungan, semua itu hanyalah give and take. Jisoo yang akan mengambil seluruh cinta yang diberikan kepadanya tanpa perlu mengembalikan usaha yang serupa—tetapi dengan Rosie berbeda.
Dengan Rosie, dirinya menyukai sang pujaan hati seperti ia menyukai barang mewah bermerek—ia merasa ingin menjaga dan membuat bahagia. Ingin ia kerahkan seluruh usaha untuk membuat Rosie tersenyum dan memandangnya lebih dari sekedar teman dekat.
Dari awal Jisoo sudah sangat jelas dengan perasaannya yang ia tunjukkan, dan Rosie pun mau memberikan kesempatan tanpa ada lagi bayang-bayang masa lalu. Kendati demikian, ini kali pertamanya Jisoo memiliki perasaan yang begitu besar terhadap seseorang, jadi dapat dibayangkan bagaimana kadang ia merasa begitu keteteran dengan perasaannya.
Seperti sekarang. Rosie belum menghubunginya dari pagi, pikiran Jisoo sudah berkelana jauh.
'Bagaimana jika Rosie terluka?'
'Bagaimana jika ada yang merampoknya?'
'Bagaimana jika Rosie sedang sakit sampai tidak bisa bangun dari tempat tidurnya?'
Namun tentu hal itu hanyalah kekhawatiran semu. Karena toh tidak lama kemudian, Rosie menelpon dirinya.
"Hai, aku sudah dekat kantormu. Aku bawakan kopi latte tanpa gula dan susu oat." Ujar Rosie menjelaskan dari telepon.
Jisoo menghela napas lega, namun ia tidak ingin memperlihatkannya, jadi ia menjawab dengan ketus, "kuhubungi dari tadi tidak bisa."
"Maaf, tadi handphone aku taruh di tas paling bawah, kau tahu sebesar apa tasku."
Tentu saja Jisoo ingat tas yang dimaksud. Tas YSL besar yang bahkan bisa digunakan untuk menyelundupkan anjing Maltese milik Jisoo.
"Are you upset?" Tanya Rosie, suaranya lembut, caranya untuk merayu Jisoo yang selalu berhasil.
"No. I am worried."
"Don't be, I'm here." Ungkap Rosie, tak lama suara ketukan pintu terdengar, Jisoo segera beranjak dari tempat ia berdiri dan setengah berlari untuk membuka pintu yang segera disambut wajah sumringah Rosie dengan dua cup kopi yang ia genggam di kedua tangannya.
Jisoo menarik lembut baju Rosie sehingga setengah tubuhnya masuk ke dalam ruangan kerja Jisoo, ia mengulum senyuman sebelum Jisoo mengecup dalam kedua bibirnya.
"Wow, hello to you too, darling." Sapanya.
"Lain kali jangan gantung pesanku."
Rosie tertawa, ia kemudian mengangguk samar, menaruh tasnya di atas sofa, "maaf ya, pacarku yang posesif, aku janji nanti tidak akan seperti itu lagi."
Jisoo mendengus, namun kemudian ia tersadar, "aku posesif?" Tanyanya khawatir mengenai pernyataan Rosie.
"Bukan dalam makna buruk. Aku suka saat kau seperti ini, merasa diperhatikan. Meski terkadang, komunikasimu juga buruk, tapi aku bersyukur kau memperhatikan hal kecil seperti ini. Terima kasih, ya."
Rosie sungguh-sungguh berterima kasih dengan apa yang Jisoo berikan kepadanya; perhatian, cinta dan kasih sayang yang selama ini tidak bisa ia dapatkan saat menjalin hubungan dengan Jaehyun. Semuanya seolah hanya dia yang bertarung untuk hubungan keduanya. Namun sekarang, dengan hubungannya yang baru, dirinya mulai terbiasa dengan sikap dan perilaku Jisoo apalagi jika berkaitan dengan dirinya—dan Rosie sangat menyukai itu. Rosie menyukai perlakuan yang diberikan Jisoo, karena pada akhirnya, ia merasa diinginkan.
Alih-alih menanggapi dengan kata-kata, Jisoo mendorong tubuh Rosie perlahan sehingga kedua kaki Rosie menyentuh dan menempel pada kaki sofa, Rosie memposisikan dirinya untuk duduk saat tubuh Jisoo semakin mendekat dan kedua wajahnya hanya berjarak beberapa sentimeter. Rosie bahkan bisa merasakan hangatnya napas Jisoo, apalagi ketika kedua bibir Jisoo menempel di kedua bibirnya. Ketika Jisoo mengecup lembut, seketika kehangatan itu masuk, membuat candu.
Namun ia berhenti, lalu memandang Jisoo, "apa Lisa sudah tahu?" Tanya Rosie. Jisoo yang menatapnya langsung memahami maksud dari pertanyaan kekasihnya.
Jisoo menggeleng, "belum. Lagipula, nanti juga ia tahu sendiri. Kau bagaimana? Sudah bilang Jennie atau Krystal?"
Rosie melingkarkan kedua tangannya pada tengkuk Jisoo yang berada di atasnya, ia menggeleng cepat, "tidak ada waktu. Soalnya waktuku hanya untukmu."
Tawa Jisoo menggelegar, dirinya menyandarkan pelipisnya di bahu Rosie, "belajar gombal dari siapa?"
"Kau."
"Aku tidak pernah gombal."
Rosie mengangguk sambil memutar kedua bola matanya, "mhm.."
"No, seriously. Apapun yang aku katakan kepadamu adalah benar. Aku sungguh-sungguh." Ungkap Jisoo, kedua matanya memandang Rosie dengan serius.
"Okay, sayang. Now, shall we continue?"
Jisoo terkekeh, dirinya kembali menaburi wajah Rosie dengan kecupan demi kecupan yang membuatnya terlena, dirinya melenguh, membuat Jisoo terbelalak, "shhh.."
Keduanya terkekeh seraya tersipu malu.
Saat keduanya sudah mulai intens, ketukan pintu terdengar, sebelum seseorang masuk ke dalam ruangan, membuat Jisoo harus setengah melompat, membenarkan posisinya—meski terlihat sangat canggung. Rosie hanya mengulum senyum, sambil membenarkan rambutnya.
"Maaf mengganggu, Ms. Jisoo, saya bawa beberapa dokumen yang harus segera ditandatangani." Ujar seorang wanita yang merupakan karyawan Jisoo, membawa setumpuk kertas yang sudah ditandai dengan pembatas warna-warni.
Jisoo berdeham, "oke, taruh di meja saja, saya akan pelajari dan tandatangani hari ini."
Sang wanita mengangguk, dirinya kemudian berjalan menghampiri meja kerja Jisoo dan menaruh tumpukkan itu dengan rapi. Ketika wanita itu pergi, Jisoo merobohkan tubuhnya di sofa, di samping Rosie.
"Baik, kalau begitu saya permisi ya, Ibu Bos." Olok Rosie, seraya beranjak.
"Hei, mau ke mana?" Jisoo meraih lengan Rosie, menahannya untuk pergi.
"Mengambil pesanan kue untuk teman Kuliahku. Kau kenal Alice, kan? Aku dan beberapa teman kuliahku ingin memberi kejutan untuknya. Jadi, saya permisi dulu ya Ibu Jisoo."
Jisoo menggeleng samar, namun tersenyum saat ia dipanggil Ibu oleh Rosie.
"Don't you want to kiss me?"
Rosie membungkuk dan mengecup pipi kekasihnya, "there. I will see you after work?"
Jisoo mengangguk cepat, ia tahu dirinya tidak bisa meyakinkan Rosie untuk menemaninya lebih lama di sini, "oke, I will see you."
Ketika Rosie sudah diambang pintu, teleponnya berdering, dirinya menoleh memandang Jisoo yang memandangnya penuh tanya.
"It's Jennie"
Jisoo tersenyum, hanya Jennie, pikirnya.
Namun raut wajah Rosie berubah khawatir. Ia lalu segera menutup teleponnya, membuat Jisoo beranjak memeriksa ada apa.
"Nanti kalau Lisa menelponmu atau mengunjungi apartemenmu, katakan padanya kalau ia bodoh."
"Eh?"
"Nanti aku cerita, aku pergi dulu. I love you!" Rosie dengan cepat mengecup kedua bibir Jisoo dan meninggalkan Jisoo yang masih kebingungan.
![](https://img.wattpad.com/cover/290569283-288-k69546.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lucky We Met [JENLISA] [GXG] [BAHASA INDONESIA / ID]
FanfictionLisa si ceroboh dan berantakan, hobinya makan permen asam dan gummy bear, bertemu dengan Jennie si perfeksionis. Keduanya memiliki kebiasaan yang saling bertolak belakang, namun harus tinggal bersama selama 6 bulan di sebuah villa di Pulau Jeju, tem...