dua puluh empat

9 0 0
                                    

Mama reza, mbak eva, karin serta mas riyan kini sedang duduk didepan ruangan dimana reza sedang ditangani dokter.
Tadi setelah membawa reza ke rumah sakit, mas riyan langsung membawa mama reza ke rumah sakit.

"Adek bawa hp? Mbak eva pinjem buat nelvon kak nesa ya?" Karin mengangguk sembari mengeluarkan handphone yang ada di saku jaketnya.

Lalu mbak eva sedikt menjauh dari ruangan untuk menghubungi nesa, setelah beberapa menit berdering, akhirnya nesa mengangkat telpon itu.

"Nes, ini mbak eva," ucap mbak eva dengan menahan tangis.

"Eh iya mbak, ada apa?" Tanya nesa dari sebrang sana.

"Kamu ke rumah sakit sekarang bisa?" Tanya mbak eva hati hati.

"Siapa yang sakit? Tante vera sakit lagi? Kok reza gak bilang aku mbak?" Nesa bertanya balik dengan pertanyaan beruntun.

"Reza, reza kecelakaan nes." Ucap mbak eva meneteskan air mata yang sedari tadi ia tahan mati matian.

Sambungan terputus, nesa mematikan sambungan tersebut. Mbak eva berbalik dan berjalan mendekat ke depan ruangan reza.

"Va, reza gimana va? Tante gak bisa kalau gak sama reza va." Ucap mama reza tanpa mengeluarkan air mata, kini tatapan matanya kosong.

Dengan segera mbak eva memeluk mama reza dengan sangat erat.

"Reza kuat tan, reza gak bakal ninggalin kita," ucap mbak eva menenangkan.

30 menit kemudian, nesa datang bersama orangtuanya, nesa datang dengan mata sembab dan penampilan acak acakkan.
Lalu nesa berhambur ke pelukkan mama reza yang kini sedang menatapnya.

"Nesa, reza bisa bangun kan? Reza gak bakalan ninggalin kita kan nes? Iya kan sayang?" Tanya mama reza dengan nada menuntut.

Nesa yang mendengar itu hanya bisa mengangguk dan menangis sembari memeluk mama reza.

"Abang kuat, abang harus bangun demi mama." Ucap mama reza dengan pelan, tetapi semua yang ada disitu langsung menatapnya penuh iba.

"Reza kuat tan, reza pasti bangun." Ucap nesa menunjukkan senyumnya untuk mama reza.

Mama reza yang melihat itu kembali menjatuhkan air matanya sembari menggeleng gelengkan kepalanya.

Dokter yang menangani reza keluar dari ruangan dan langsung menatap mama reza yang sedang berdiri dihadapannya.

"Anak saya, anak saya gimana?" Tanya mama reza bergetar.

"Bu," ucap dokter tersebut dengan mata berkaca kaca.

"Kenapa dok? Reza sudah bangun?" Tanya mama reza tersenyum sembari menjatuhkan air mata berkali kali.

"Bu, Reza di nyatakan meninggal dunia." Mama reza yang mendengar itu seketika menjatuhkan badannya ke lantai.

Semestanya benar benar hilang, dunianya hancur, kali ini ia benar benar ditampar oleh pernyataan pahit yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

Nesa yang melihat itu langsung merengkuh tubuh mama reza sembari mengucapkan kata kata penguat.

"Tante, kita masuk ya? Tante mau lihat anak gantengnya tante kan? Ayo tante, kita harus memberikan senyuman terakhir untuk pria yang selalu menjadi penyebab kita tersenyum." Ucap nesa dengan lembut.

Akhirnya mama reza dan nesa masuk kedalam ruangan, di ikuti oleh mbak eva dan orangtua nesa.

Mama reza langsung berjalan mendekat ke arah jenazah reza, dengan pelan ia mencium kening reza sangat lama.

"Abang, katanya mau hidup lebih lama sama mama? Ayo bangun bang, mama gak bisa kalau gak ada abang, mama gak tau harus apa." Ucap mama menangis histeris sembari memeluk badan reza yang sudah dingin.

"Abang, katanya mau makan soto buatan mama? Tadi udah mama buatin soto, abang gak mau makan dulu?" Mama menatap wajah reza yang terpejam, wajah ini yang selalu membuat hati mama tenang, wajah yang selalu membawa kebahagiaan, sekarang sudah harus pergi selamanya.

"Istirahat yang mama maksud gak kayak gini bang, bukan kayak gini yang mama mau." Ucapnya sekali lagi.

Lalu ia terdiam beberapa saat sembari menatap wajah reza sembari tersenyum.

"Mama harus ikhlas kan? Sebenarnya mama gak bisa ikhlas bang. Mama gak mau kehilangan abang," senyuman dan tangisan terukir diwajah cantik mama reza.

"Abang, mama ikhlas. Abang yang tenang ya? Nanti kita ketemu lagi dikehidupan selanjutnya, mama sayang sama abang." Ucap mama lalu memcium kening reza, mungkin ini terakhir kali mama bisa mencium reza, setelah ini semua akan menjadi mustahil.

Mama reza melangkah ke belakang sembari memeluk tubuh mbak eva.

Kini nesa yang mendekat ke arah jenazah reza, nesa tersenyum menatap wajah tenang reza.
Mulai hari ini, tidak akan ada lagi yang menggandeng nesa, tidak ada lagi yang memakaikan helm dikepala nesa. Nesa benar benar kehilangan separuh kebahagiaannya.

"Ja, katanya gak mau bikin aku sedih? Kamu ingkar janji ja, katanya mau menua sama aku? Ayo bangun, aku gak bisa kalau harus ngejalanin hidup tanpa kamu." Ucap nesa pelan sembari mengelus kepala reza.

"ternyata istirahat yang kamu maksud, itu kayak gini ya? Istirahat selamanya? Istirahat di keabadian?" Lanjut nesa.

"Ja, aku gak bisa. Aku gak mau." Ucap nesa sembari memeluk jenazah reza yang sudah sangat dingin.

"Harus sama kamu ja, ketenangan ada di kamu, kalau kamu pergi, berarti ketenangan itu juga ikut pergi." Tangisan yang sedari tadi ia tahan, akhirnya pecah. Nesa menangis di depan jenazah reza.

"Kamu gak mau lihat aku nangis kan ja? Tapi kamu sekarang bikin aku nangis ja, kamu bikin aku sedih sekarang." Dengan suara bergetar nesa berucap sembari tersenyum sendu.

"Aku akan terus mengenang kamu, karna mungkin untuk melupakan manusia sebaik kamu, itu mustahil." Dengan pelan nesa mendekat ke kuping reza sembaari membisikkam sesuatu.

"Ja, biarpun umur kamu sudah habis, tapi rasaku gak akan pernah menipis. Kamu akan selalu menjadi manusia dengan tahta tertinggi di hati gadis cerewet ini."

Lalu nesa menatap jenazah reza dengan sangat lama, sembari berkata di dalam hati.

"Tuhan, saya sangat mencintai pria baik ini, pria yang memiliki mata teduh, dan senyuman yang sangat manis. jika dunia ini belum memberikan banyak kebahagiaan untuknya, tolong berikan banyak kebahagiaan untuknya di sisimu."

Setelah itu nesa memeluk mamanya dengan erat, nesa menangis di pelukkan mamanya.

"Berdoa ya nes, harus belajar ikhlas, biar reza bahagia disana." Ucap mama di telinga nesa.

Manusia HebatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang