7 (kejadian mengejutkan)

23.9K 1.5K 8
                                        

Aku terus berlari, menjauh dari hutan itu tanpa peduli pada kedua kakiku yang perih. Batu-batu tajam yang menghujam telapak kakiku seakan mencoba menghentikan langkahku, tapi aku tak peduli. Nafasku terengah-engah saat akhirnya aku berhenti sejenak, mencoba mengatur irama jantungku yang berdetak kencang.

Gerimis mulai turun. Aku mendongak, menatap langit kelabu. Senyum tipis tersungging di bibirku. Perkiraanku benar, hujan akan turun. Awan hitam menggulung, menutupi sinar matahari yang tersisa. Hujan ini adalah sekutuku, menyamarkan jejak, menghapus apa pun yang bisa membawa mereka mengejarku.

Aku memegang kepala bagian belakang yang tiba-tiba terasa nyeri. Rasa sakit itu menyerang dengan tajam, seperti pisau yang menusuk. Aku merogoh saku celana, mengambil obat, dan tanpa pikir panjang, menelan beberapa kapsul besar sekaligus. Butuh waktu beberapa menit hingga rasa sakit itu mereda.

Dengan tubuh yang sedikit lebih baik, aku melanjutkan langkahku. Jalan ini sunyi, tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Gerimis yang semula ringan kini berubah menjadi hujan deras, mengguyur tubuhku hingga basah kuyup. Tapi aku tidak peduli. Yang terpenting bagiku sekarang hanyalah mencapai rumah Rizky—tempat di mana aku bisa beristirahat dan menyusun rencana selanjutnya.

"Dit, maaf ya... Gua gak sekuat lu. Gua bukan orang yang bisa sabar menunggu kasih sayang," gumamku pelan, lebih kepada diriku sendiri.

Hujan terus turun, membawa pikiranku kembali ke masa lalu. Aku selalu dikelilingi kasih sayang orang tua dan keluarga, sementara Aditya hidup dalam dunia penuh kehampaan. Dibesarkan dengan limpahan perhatian membuatku muak melihat keluarga Aditya yang tak pernah menganggap keberadaannya. Aditya mengajarkan aku sesuatu yang penting—bagaimana menghargai apa yang kita miliki sebelum semuanya terlambat.

Dia bertahan selama sepuluh tahun, menerima luka demi luka, baik fisik maupun batin. Namun, setiap hari kata-kata kasar dan penghinaan perlahan mematahkan semangatnya, hingga akhirnya dia menyerah.

"Andai aja lu gak menyerah, Dit... Gua mau jadi sosok abang yang lu cari," bisikku pelan, suara hujan menelan kata-kataku.

Aku terus berjalan. Dahaga mulai terasa di tenggorokanku. Kutengadahkan kedua tangan, menampung air hujan, lalu meminumnya perlahan. Rasanya segar, seperti menyentuh jiwa yang rapuh. Beberapa kali aku mengulangi hal yang sama hingga akhirnya merasa cukup.

Hujan berhenti. Matahari perlahan muncul dari balik awan, menciptakan pelangi kecil di ujung pandangan. Di depan sana, sebuah mobil mewah berhenti, membuat langkahku terhenti.

Jantungku berdegup lebih kencang saat pintu belakang mobil itu terbuka. Dari sana, tubuh asliku keluar—Aditya. Dia berdiri, mengenakan pakaian rapi. Matanya menatapku penuh arti, senyumnya hangat tapi menusuk seperti kenangan pahit yang tak mau pergi.

Aku mundur perlahan, rasa takut bercampur dengan kebingungan menyeruak dalam benakku. Ini tidak mungkin... Tapi dia benar-benar ada di sana, di hadapanku.

Aditya hanya tersenyum, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku menatap Aditya dengan tatapan kesal saat dia menggendong Rasen. Wajahnya terlihat canggung, tapi dia tetap mencoba tersenyum ke arahku. Tak lama, kedua orangtuaku keluar dari mobil. Ekspresi mereka langsung berubah menjadi kaget melihat kondisiku yang berantakan—pakaian basah kuyup, kaki terluka, dan tubuh gemetar kedinginan.

"Nak, kamu korban penculikan?" tanya ayahku, Oliver, dengan nada penuh kekhawatiran.

Tatapan mata Oliver selalu memiliki daya tarik yang aneh bagiku—tatapan yang membuatku merasa aman. Dia superhero dalam hidupku, seseorang yang mengajarkan arti tanggung jawab dan menjadi pria sejati. Di sampingnya berdiri ibuku, Rianti. Wajah lembutnya memancarkan kehangatan, tapi kali ini dihiasi garis-garis kecemasan yang jelas terlihat.

Transmigrasi Ello (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang