Aku berlari menjauhi hutan tidak peduli tentang kedua kakiku yang sangat sakit terkena batu-batu tajam saat di hutan buatan. Aku berhenti sejenak mengatur nafas cuaca berubah menjadi gerimis dan aku hanya tersenyum saja. Perkiraanku tepat akan ada hujan melihat dari awan-awan hitam mulai mendekat kearah hutan itulah alasanku memilih jalur berbahaya ini, lebih mudah menghilangkan jejak akan keberadaanku sebab air hujan.
Aku berhenti sejenak mengatur nafasku perlahan-lahan merasakan rasa sakit di belakang kepalaku. Aku mengambil obat, dan langsung menelan beberapa capsul berukuran besar.
Kondisiku sedikit membaik setelah meminum obat dan melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Rizky. Aku berjalan dengan santai cuaca masih gerimis bahkan mulai hujan deras. Aku tidak peduli tentang itu semua terpenting bagiku harus segera tiba di rumah Rizky mengistirahatkan tubuhku ini.
"Dit maafin gua ya. Gua bukan seperti lu yang sabar menantikan kasih sayang. Dibesarkan penuh kasih sayang oleh kedua orangtuaku membuatku muak akan kehadiran kedua orangtuamu yang tidak memperdulikan kau Aditya," ucapku.
Menelusuri jalan yang sangat sepi tidak ada kendaraan lewat sama sekali. Aku menampung air hujan menggunakan kedua tanganku merasa haus akibat jalan kaki lumayan jauh. Beberapa kali aku menampung air hujan hingga dahagaku merasa cukup minum.
Kehidupan penuh misteri dulu aku sangat dilimpahkan kasih sayang, sekarang tidak sama sekali. Aku sangat bersyukur memiliki kedua orang tua yang baik tidak membedakan satu dengan yang lainnya. Sosok Aditya mengajarkan aku rasa syukur mengenai kehidupan. Dia hebat bisa menahan rasa sakit selama 10 tahun, namun akhirnya memilih menyerah akibat kata kasar dari kedua orangtuanya setiap hari mematahkan mental dia.
"Andai lu gak menyerah, Dit. Gua mau jadi sosok abang untuk lu," monologku.
Hujan berhenti membasahi bumi. Sebuah mobil berhenti di depanku membuat aku mundur mengetahui siapa pemilik mobil itu. Tubuh asliku keluar dari kursi belakang yah itu Aditya dia hanya tersenyum kearahku.
Aku kesal melihat Aditya menggendong Rasen. Aditya hanya bisa tersenyum canggung kearahku tak lama kedua orangtuaku keluar dari mobil. Mereka kaget melihat kondisiku yang tidak baik-baik saja.
"Nak kau korban penculikan?" tanya Oliver khawatir.
Melihat tatapan mata Oliver rasanya aku ingin memeluk tubuh tegap ayahku itu superhero di hidupku. Dia banyak mengajarkan aku tentang tanggung jawab seorang kakak, dan menjadi seorang pria sejati. Di sebelah Oliver ada ibuku Rianti, dia masih sama ibu dengan tatapan mata lembut tapi juga tersirat kekhawatiran kepadaku.
"Aku kabur dari rumahku om tante," ucapku.
Aku mengigit lidahku selesai mengatakan itu semua sedikit aneh memanggil kedua orangtuaku, bukan dengan sebutan ayah dan bunda seperti biasanya. Aditya hanya bisa tersenyum saja kearahku, dia terlihat senang dan aku bersyukur akan itu.
"Om antar ke rumahmu kembali ya nak?" tawar Oliver.
"Tidak om. Mereka jahat lebih baik aku ke rumah kakakku saja untuk menginap disana," tolakku.
"Ayo ayah kita bawa anak muda ini ke rumah sakit dulu lihat kedua kakinya berdarah begitu," ucap Rianti.
Oliver menggendongku begitu saja menuju ke kursi belakang mobil bersama dengan Aditya. Di kursi belakang mobil hanya ada keheningan saja aku tidak mau mengatakan apapun kondisi tubuhku sangat kedinginan sekali.
"Lu gila ya. Hujan deras begini malah milih kabur dari rumah," bisik Aditya.
"Setan semua di rumah itu daripada gua emosi mulu mending minggat aja," bisikku.
"Kalian berdua saling mengenal?" tanya Rianti.
Aku menatap Aditya membiarkan dia menjelaskan semua. Aku malas mengeluarkan suara jadi aku memilih tidur saja. Penyakit ini semakin hari membuat tubuhku mudah sekali lelah ditambah aku berjalan terus sejak tadi.
"Dia teman onlineku, bun," ucap Aditya.
"Syukurlah kalau anak ayah punya teman. Ayah kira kamu tidak memiliki teman sama sekali," ucap Oliver.
Aku menggerutu dalam hati mendengar ucapan Oliver mengenai teman. Sejak dikhianati mantan temanku dulu, aku tidak mau membuka diri memulai pertemanan sama sekali. Bisa dibilang introvert berbeda dengan Aditya yang mudah berteman, karena sifat dia yang memang humble walaupun semua orang tidak mau berteman baik dengan Aditya.
Masa lalu tentang persahabatan mengajarkan aku jangan pernah mudah percaya kepada orang asing yang sangat baik sekali padamu, kadang dia baik pasti ada maunya. Bukan sekali saja aku merasakan pengkhianatan persahabatan tapi sudah beberapa kali, dan yang terakhir menutup rapat diriku tentang teman.
Miris sekali kenangan pahitku dikhianati teman lama sebab dia punya teman baru yang kaya raya, sementara aku dulu hanya memiliki hp jadul beda dengan teman barunya yang memiliki hp tercanggih masa itu. Masa smp juga sama semua rata-rata lebih mementingkan kasta persahabatan jadi aku tidak sebanding dengan mereka semua.
Kadang aku berpikir sahabat sejati itu benarkah ada atau hanya dongeng semata saja sih, aku juga iri melihat rata-rata semua orang dapat mempertahankan persahabatan sampai bertahun-tahun sedangkan aku sendiri tidak sama sekali.
"Oh iya nak namamu siapa?" tanya Rianti.
"Aditya Ello Pratama," ucapku.
"Namanya hampir sama denganmu ya bang," ucap Rianti.
"Iya bun," ucap Aditya.
Oliver membawaku ke rumah untuk mengobati luka di kedua kakiku. Selesai mengobati kedua kakiku kedua orangtuaku dan Rasen izin ke kantin ingin membeli makanan dulu. Hanya ada aku dan Aditya di ruangan ini dia melirik kearahku sejenak.
"El!" panggil Aditya.
"Ya," ucapku.
"Kedua orang tua lu baik banget. Gua bisa merasakan kasih sayang tulus mereka berdua. Waktu gua sebenarnya sedikit lagi cuma belum mau meninggalkan dunia ini," ucap Aditya.
"Berapa hari lagi?" tanyaku.
"Entahlah gua kagak ngitung," ucap Aditya.
"Abang lu semua mirip boneka chukky sumpah," ucapku.
"Lha kak Rizky sih?" tanya Aditya.
"Dia kayak Rasen versi cowok menurut gua," ucapku.
"Adek lu benar-benar penyuka budaya Jepang ya. Bahkan pas ditanya ayah lu liburan mau kemana dengan lantang dia bilang ingin ke harujuku," ucap Aditya.
"Itu rencana gua dan Rasen sebenarnya. Mumpung bokap dapet cuti panjang dari kantor akhir tahun nanti," ucapku.
"Kehidupan lu bahagia banget ya, El. Gua sejak kejadian itu boro-boro jalan ke suatu tempat, setiap hari malah dikurung mulu di kamar bahkan disiksa terus," sedih Aditya.
"Sorry gua gak bermaksud buat lu sedih," ucapku merasa bersalah.
"Sans aja beberapa hari tinggal bersama kedua orang tua lu, mereka menunjukkan beberapa tempat menyenangkan untuk gua itu sangat berarti bagi gua," ucap Aditya.
"Lu udah senang sekarang, Dit?" tanyaku.
"Ya mungkin sebentar lagi waktu kematian gua akan tiba," ucap Aditya.
"Tidak mau bertahan demi kak Rizky?" tanyaku.
"Ingin cuma kanker otak stadium empat yang kuderita mulai menyerang organ vitalku," ucap Aditya.
"Ya udah gua kemoterapi agar lu bisa bertahan lebih lama di dunia ini. Gua tidak masalah menanggung semua rasa sakit itu, semua asal lu bisa menghabiskan sisa hidup lu mendapatkan kebahagiaan, Dit," ucapku.
"Thanks," ucap Aditya.
"Ya," ucapku.
Aditya menceritakan tentang kejahilan Rasen padaku membuat senyumanku terbit, memang sih Rasen seperti mood booster bagiku di saat aku sedih. Aku bertekad akan kemoterapi demi Aditya bertahan lebih lama di kehidupan dia. Aditya terlalu lama menanggung luka dan kesedihan dia hati dia jadi aku akan berkorban sementara demi melihat Aditya tersenyum, memang aku dan Aditya tidak ada hubungan darah, tapi entah kenapa aku seperti memiliki adik laki-laki saat melihat sosok Aditya.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar, dan kritikan agar penulis semakin bersemangat
Sampai jumpa
Kamis 08 September 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi Ello (END)
General FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah tentang keluarga saja tidak lebih. Othello Pranaja Zayan pemuda berwajah tegas, bersifat dingin, datar, minim ekspresi, benci pengkhianatan, baik sama orang yang disayang, dan tidak memandang bulu saat marah...