That Was Then

857 78 7
                                    

.

.

| WARNING DI SETIAP CHAPTER
SHOUNEN-AI/YAOI/BL/BXB
SILAHKAN TEKAN TOMBOL KEMBALI JIKA TIDAK SUKA |

.

.

______________________________________

Tangan Ryan dimasukkan ke dalam saku untuk menghindari dingin.

Dylan meliriknya. "Sebentar lagi kita sampai."

Ryan menatapnya sebentar lalu mengangguk kecil dan kembali menatap ke depan. "Kory pasti sudah menunggu dari tadi."

Dylan menunduk memandangi sepatunya sambil memikirkan hal yang dilakukan Ryan sebelumnya. Kenapa sulit sekali untuk menganggapmu hanya sebagai teman?
Dylan mengembuskan napas panjang dan wajahnya sedikit merah mengingatnya.

______________________________________

Beberapa hari kemudian ….

"Kau yakin sudah benar-benar sehat, Ryan?" Gadis berambut merah muda itu bertanya sambil berkacak pinggang.

Ryan pun hanya mengangguk mantap sambil mengacungkan jempol. "Ya. Kau bisa lihat sendiri."

"Anak-anak, kalian mau makan siang di sini, 'kan?" Tanya Dr. Franklin yang baru saja muncul.

Baik Ryan, Kory, Dolly, dan Dylan, mereka mengangguk serempak. Yang langsung mendapat senyum senang dari Dr. Franklin.

"Oh iya! Aku mau mengerjakan tugas sekolahku dulu sebentar agar tidak terlupa. Aku akan segera kembali sebelum makan siangnya siap!" Dolly melambaikan tangannya sebelum pergi ke rumahnya sendiri.

"Benar juga. Aku juga mau mengerjakannya sekarang." Ryan menatap adiknya. "Kau juga mau kerjakan tugasmu?"

Kory langsung menghela napas panjang seolah hal tersebut adalah hal yang paling melelahkan dan menyiksa. "Aku menyalin punyamu saja ya?" Ujarnya tanpa dosa.

"Enak saja. Aku tidak peduli jika kau dimarahi karena tidak mengerjakan tugasmu." Ucap Ryan yang membuat Kory bergumam 'pelit' sambil membuat mimik mengejek.

Ryan memutar matanya dan beralih pada Dylan yang bersandar pada Z.

"Kau sudah mengerjakan tugasmu?"

Dylan menggeleng dan berjalan ke arahnya. "Ayo kerjakan sekarang saja. Aku tidak mau ketularan Kory yang suka menunda-nunda."

"Hei!"

.

.

.

Mereka berdua mengerjakan tugas sekolah di buku masing-masing. Dylan meminjam meja belajar Kory sementara Ryan di mejanya sendiri.

Dylan baru menyelesaikan nomor satu namun pikirannya sudah terbang ke mana-mana dan tidak lagi fokus pada buku di depannya.

Pena yang dipegangnya hanya diputar-putar di tangannya. Kepalan tangannya menjadi tumpuan.

Dylan sedang memikirkan hal-hal sederhana hingga akhirnya sampai kepada Ryan. Siapa lagi kalau bukan dia. Sebenarnya Dylan pun ingin meminimalisir pikiran tentang Ryan yang hampir setiap saat. Dia takut jika itu akan berkembang menjadi obsesi yang tidak sehat.

Dylan menolehkan kepalanya untuk melihat Ryan yang masih sibuk menulis di bukunya.

Pada dasarnya aku sama sekali tidak dekat dengan Ryan sebenarnya.

Aku juga tidak pernah tahu apakah ada seseorang yang disukainya?

Tanpa pikir panjang, Dylan pun bertanya.
"Hei, Ryan, apakah sejak dulu kau dan Kory memang selalu bersama Dolly? Maksudku, kau juga berinteraksi dengan baik dan sering bergaul dengan anak-anak lain juga, tapi sepertinya bukan … yah, bukan seperti teman yang begitu dekat."

Ryan tidak tahu mengapa tiba-tiba Dylan menanyakan itu, tapi dia tetap memikirkan sebuah jawaban. "Mungkin karena aku yang terlalu kaku saat di lingkungan sekolah. Aku biasanya mengerjakan tugas bersama atau membicarakan tentang pelajaran. Sebenarnya mereka juga membicarakan tentang permainan dan pembicaraan santai lainnya. Tapi aku yang tidak bisa begitu mengikuti pembicaraan mereka."

Dylan cukup terkejut dengan jawabannya yang apa adanya. Dia merasa telah membuat Ryan sedikit tersinggung dan hendak mengatakan sesuatu.

"Tapi ada seorang anak laki-laki yang selalu mengajakku bicara dan juga mendengarkanku ketika aku bicara tentang keseharianku meskipun itu membosankan. Mungkin dia satu-satunya yang benar-benar ku labeli sebagai teman, dan dia juga selalu bersikap baik." Ryan tersenyum mengingat kenangan-kenangan kecilnya.

Dylan seketika terdiam dan berusaha mencerna informasi yang baru ia dapat. Mulutnya terbuka namun dia tidak menemukan kata-kata untuk diucapkan.

"Sampai akhirnya dia pindah. Dia hanya sempat mengucapkan selamat tinggal sebelum esok harinya tidak pernah masuk lagi."

Ryan mengangkat bahunya. "Yah, aku hanya harus lebih santai seperti Kory dalam berinteraksi."

Dylan berkedip. Berhasil menangkap seluruh ceritanya dan sampai pada kesimpulan terakhir. Jadi anak itu sudah tidak di sini, ya?

Aneh. Kegelisahan yang hampir mirip putus asa tiba-tiba berubah menjadi perasaan puas.

Dia hampir tersenyum namun berhasil menghentikannya. Bukan waktu yang tepat untuk tersenyum seperti itu setelah Ryan menceritakan teman lamanya yang kini sudah tidak bisa ditemuinya lagi.

Dylan tidak menemukan tanda-tanda Ryan menyukai seseorang. Ryan cukup dewasa untuk lebih mengutamakan pendidikan di usianya daripada memikirkan gadis cantik yang ditaksirnya. Ryan paham hal-hal semacam itu ada waktunya sendiri.

Ya. Dylan memang tidak sedewasa itu.

Akankah ada waktunya di tahu yang sebenarnya?

Dylan menggelengkan kepalanya pelan untuk menghentikan dirinya berangan-angan. Berbicara selain basa-basi tidak penting saja tidak bisa.

Tidak pernah dia menyukai seseorang sampai seperti ini.

Tapi aku senang itu Ryan.

____________________________________________________________________________

| Maafkan saya atas update yang lama sekalee. Saya dihimpit banyak kesibukan. Belum lagi otak saya yang ngestuck ga dapet ide.

Tapi trims buat yang masih mau menunggu. Semoga menghibur.

Sampai jumpa! |

8 November 2022

Can I Love You? [Dylan x Ryan - Tobot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang