In the Room

967 71 9
                                    

.

.

| WARNING DI SETIAP CHAPTER
SHOUNEN-AI/YAOI/BL/BXB
SILAHKAN TEKAN TOMBOL KEMBALI JIKA TIDAK SUKA |

.

.

______________________________________

Ini satu-satunya pilihan, jangan gugup terus-terusan, Dylan, batin anak laki-laki berambut gelap itu.

Dia hanya berdiri di depan pintu kamar Ryan dari tadi meskipun sudah diberi izin oleh Dr. Franklin maupun Kory, yang saat ini berada di dapur menyiapkan makan malam.

Astaga. Kenapa aku gugup sekali hari ini? Dylan menghela napas kasar sebelum memberanikan diri untuk membuka pintunya dan masuk.

"Eh– Dylan?"

Ryan yang sedang mengerjakan pekerjaan rumah menoleh saat mendengar pintu dibuka. Dia pikir itu adiknya atau ayahnya yang memanggilnya untuk makan malam. Tapi siapa sangka ternyata Dylan lah yang berdiri di ambang pintu kamarnya sekarang.

"Aku tidak tahu kau datang. Masuklah." Ryan memberi senyum tipis dan berdiri.

Dylan yang sempat terdiam di tempatnya pun melangkahkan kakinya untuk masuk lebih jauh.

Ryan mengisyaratkan padanya untuk duduk.

Dylan dapat melihat sekilas Ryan yang tampak tidak nyaman dan berusaha mengalihkan pandangannya ke mana pun selain padanya.

"Apa kau—"

Ryan baru akan bicara saat Dylan memotongnya. "Ryan,"

Ryan langsung mendongak dan melihat Dylan yang menatap lurus ke arahnya.

Sebenarnya Dylan pun bingung harus mengatakan apa pada situasi ini. Tapi dia ingin Ryan benar-benar memperhatikan dan mendengarkannya saat dia bicara.

Ryan hanya diam saja setelah mendengar nada serius Dylan tadi.

"Ryan, aku..." Dylan berhenti sesaat untuk memikirkan kata-katanya. Tatapannya berhenti pada plester di pelipis kiri Ryan. Tanpa disadarinya dia mengerutkan alisnya.

"Dengar, aku– aku minta maaf atas sebelumnya." Dylan menghela napas berat saat tatapannya turun ke lantai.

"Kau tahu, aku sebenarnya tidak bermaksud seperti itu."

Ryan sedikit bingung dengan permintaan maafnya namun tetap mendengarkan. Apapun itu, pasti merupakan alasan mengapa Dylan lebih pendiam di dekatnya.

"Aku tidak benar-benar mengusir Neon waktu itu, aku hanya ingin mengajakmu pulang lebih cepat. Aku juga menanggapimu dengan kasar saat kau bertanya." Dylan menjelaskan dengan penuh sesal.

Ryan yang kini mengerti apa masalahnya hanya bisa diam. Saat itu Ryan memang berpikir apakah Dylan sedang marah padanya dan menjauhinya. Karena Ryan pun sempat melihat tatapan tajam yang ditujukan kepadanya saat dia bicara dengan Neon.

"Sebenarnya aku juga penasaran tentang itu."

Dylan mendongakkan kepalanya mendengar Ryan akhirnya bicara.

"Kukira aku telah melakukan sesuatu yang membuatmu marah. Aku pikir mencoba bicara denganmu hanya akan membuatmu kesal." Ryan mengusap lengannya sambil menatap ke bawah.

Dylan tertegun mendengarnya. Jadi Ryan bukannya menghindarinya tapi justru beranggapan hal yang sama dengannya? Dylan rasa hal itu cukup lucu sekarang.

"Yah, maaf. Aku hanya tidak tahu bagaimana harus memulai percakapan." Dylan mengusap tengkuknya sambil mengangkat bahunya.

Ryan berkedip. Dia diam sesaat sebelum tawa kecil keluar dari mulutnya. "Ternyata ini hanya salah paham. Kau tidak perlu minta maaf, kalaupun kau melakukan kesalahan, aku memaafkanmu."

Dylan hampir tidak bisa berkata-kata. Dia terlalu terpesona dengan senyum manis dan tawa kecilnya.

"Lain kali lebih baik kau katakan saja." Ryan tersenyum lembut padanya dengan tatapan penuh arti.

Dylan dapat merasakan wajahnya memanas sekarang. Dylan buru-buru memalingkan wajahnya. Tidak dapat disangkal lagi bahwa Dylan sedang salah tingkah melihat sikap manis anak laki-laki di depannya itu.

"Dylan? Kau tidak apa-apa?"

Suara Ryan kembali menarik perhatiannya. Dia sudah berdiri dari tempat duduknya ternyata.

"Wajahmu agak merah—"

"Maka dari itu jangan bersikap menggemaskan di depanku...!" Wajah Dylan menjadi lebih merah setelah Ryan menyadarinya.

"Eh?" Ryan langsung terdiam mendengar ucapannya. Bibirnya membentuk setengah senyum canggung saat keringat menetes di wajahnya.

Tidak lama kemudian wajahnya menjadi semerah tomat setelah mencerna kata-katanya. Aku menggemaskan...?

Dylan yang terlambat menyadari dampak dari kalimatnya itu menjadi semakin gelagapan melihat Ryan yang tidak berkata apa-apa lagi.

"A– err... Ryan— emm, maksudku– ehh..." Dylan semakin kebingungan memilih kata-katanya. "Ah sudahlah! Lupakan saja apa yang kukatakan." Dylan tidak percaya dirinya benar-benar menyerukannya dengan lantang.

"Sepertinya aku harus ke—" Dylan berdiri terlalu tiba-tiba dan membuat Ryan mundur dengan canggung, yang dia lupa kalau kakinya masih sedikit sakit.

Dylan langsung menangkap tangannya sebelum Ryan bisa jatuh menyentuh lantai. Dylan juga harus menjaga keseimbangannya saat dia hampir tertarik ke bawah juga.

"Maaf–"

Tatapan mereka saling terkunci satu sama lain untuk waktu singkat yang terasa seperti selamanya bagi Dylan. Oh, tenang saja, pada saat itu juga Dylan berterima kasih pada Tuhan.

____________________________________________________________________________

| MAAP, JIKA MENURUT KALIAN TERLALU LEBAY. TAPI INI UWU BAGI SAYA :v selera saya jelek? Iya tau kok. Santai aja.

Mungkin chapter selanjutnya bakalan update hari... Hari Jum'at, tapi ga tau Jum'at kapan. |

Sampai jumpa readers. Semoga masih jumpa...

12 Oktober 2022

Can I Love You? [Dylan x Ryan - Tobot]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang