hold my hand

314 41 2
                                    


[Lokal name!!]

Dimas Fajar Pratama adalah seorang anak pertama dari dua bersaudara, adiknya bernama Juandra Narendra dan mereka berdua terpaut umur dua tahun, mereka hidup seperti saudara pada umumnya, suka bertengkar dan juga saling mengejek satu sama lain.

Tapi Dimas terlahir dengan kelainan yang membuatnya sulit untuk belajar membaca dan menulis, dia adalah seorang anak yang memiliki kelainan khusus dan harus sekolah disekolah yang khusus untuk anak seperti dirinya, Dimas sangat lambat bisa berbicara dan menulis, ia sulit bersosialisasi bahkan sering diasingkan dari masyarakat.

Berbeda dengan adiknya, Juan adalah anak yang sangat pintar, ia bisa bermain basket, bisa bermain bola, bahkan piagam dan piala miliknya berjejer rapi di lemari kaca miliknya, orangtua mereka mengerahkan segalanya untuk Juan agar ia bisa lulus di sekolah besar dan ternama, Juan sangat disayang dan punya banyak teman.

Dimas hanya menempuh pendidikan sampai bangku SMP karena sang ayah menganggap bahwa tidak ada gunanya menyekolahkan anak idiot seperti Dimas, itu hanya akan membuang-buang uang dan waktu mereka, mereka memilih untuk mengirim Juan sekolah ke Inggris dengan biaya sekolah yang sangat tinggi.

Dimas, ia hanya punya satu orang dalam hidupnya yang mau menggenggam tangannya, memeluknya, tersenyum padanya dan mengatakan bahwa ia mencintai Dimas, dan orang itu adalah Tian Rajendra, orang yang lebih tua dua tahun darinya, ia bertemu dengan Tian saat ia mengantarkan adiknya yang kebetulan saat itu bersekolah disekolah yang sama dengan Dimas.

"Kak Tian, ini apa?"

Dimas menunjuk sebuah gambar hewan yang menurutnya asing untuknya dan menunjukkannya pada Tian, Tian menoleh dan tersenyum teduh pada Dimas.

"Itu namanya paus albino sayang, paus langka yang jarang sekali dilihat oleh orang-orang karena jangka hidupnya yang tidak lama"

Senyuman Tian kian luntur saat melihat sebuah perban yang membalut pergelangan tangan Dimas, perban itu bahkan memiliki bercak darah yang cukup besar, ia menggenggam tangan Dimas dan memandang anak itu lekat.

"Papa kamu lagi?"

"Uhmm, hu'um Dimas nakal jadi papa pukul"

"Kali ini kamu ngapain lagi sayang?"

"Dimas makan, padahal papa sudah larang Dimas untuk makan kak"

Tian menghela nafasnya berat, matanya memerah dengan cepat dan membendung airmata disana, sekali lagi sebuah alasan konyol membuat Dimasnya terluka.

"Dimas dipukul pakai apa sayang?"

"Pecahan vas bunga kak, papa tusuk dalam banget jadi berdarah"

Tian mencium perban itu lama sekali, ia menangis, menangisi nasib anak sebaik Dimas harus seburuk ini.

"Dimas, nanti kalau ada apa-apa telfon kaka ya, Dimas bisa kan nelfon?"

"Uhum bisa! nanti Dimas telfon kaka!"

Tian tersenyum, bahkan sejahat apapun ayahnya pada dirinya sendiri Dimas tidak pernah menunjukkan rasa benci, kecewa atau emosi lainnya, ia selalu merasa ia pantas mendapatkan itu karena apa? karena dia tidak seperti Juan, dia tidak pintar, tidak membuat orangtuanya bangga, dia idiot dan dia beban untuk siapapun yang ada didekatnya.

𝒽ℴ𝓁𝒹𝓂𝓎𝒽𝒶𝓃𝒹

Tubuh ringkih Dimas diseret sangat ayah menuju sungai dibelakang rumah mereka, beliau murka karena Dimas yang secara tidak sengaja menjatuhkan sebuah piala milik Juan saat sedang membersihkannya, piala yang memang sudah rawan itu rusak terbelah dua dihadapkan beliau dan Juan sendiri yang kebetulan sedang berlibur.

Love Shot ||•ilyong•||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang