VIII. Mengikat Lawan dengan Kepercayaan

114 24 0
                                    

Zay menyisir setiap sudut apartemen yang baru saja dimasukinya. Dinding putih bersih, lantainya mengilap, bahkan beberapa alat perabotan juga terlihat sangat bersih. Zay iseng menyentuh dengan ujung jari di bagian pinggir meja yang baru saja dilewatinya, dan tidak ada debu yang menempel di jarinya. Bersih sekali.

Tidak terlalu banyak barang di apartemen yang lumayan besar ini. Di meja ruang tamu pun hanya ada sekotak tisu dan kotak remot tv.

Zay dipersilakan untuk duduk di sofa yang lagi-lagi berwara putih bersih, sementara si empunya tempat berganti pakaian. Zay tidak habis pikir, bagaimana bisa hidup dikelilingi dengan serba warna putih seperti ini? Bagaimana jika nanti ada cicak yang buang kotoran dan menempel di sini? Pasti akan sangat jelas terlihat. Zay hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Nggak masalah, kan, kalau kita makannya di tempat saya?" Giyan yang sudah mengenakan pakaian santai datang dengan makanan yang telah mereka beli, serta beberapa botol minum. "Saya nggak terlalu suka makan di luar karena nggak semua tempat itu bersih. Terkadang tempatnya bersih, tapi pengunjungnya yang nggak bersih, apalagi kalau ada anak-anak. Aduh, menggelikan," lanjutnya dengan ekspresi jijik.

Zay melirik Giyan dengan tatapan aneh.

Mereka berdua mulai membuka kotak pizza dan ayam goreng yang tadinya dibeli. Zay juga bantu menuangkan minuman ke dalam gelas yang telah disiapkan Giyan.

"Ini kalau misal minumannya tumpah kelihatan sekali ya kotornya," ucap Zay sekenanya.

"Benar. Makanya, setiap berbuat itu harus hati-hati. Dalam hidup diwanti-wanti seperti itu, kan? Misal, setelah minuman dituang, botol langsung masukkan dalam keresek. Jangan lagi diletak dilantai. Kalau ada sisa di tutup botol bisa aja netes di lantai, jadinya lengket, kan?" jelas Giyan dengan percaya diri.

Zay tersenyum hambar. Ia tidak menyangka bahwa atasannya ini gila dengan kebersihan. Kayaknya aku harus pake celemek, terus di bawah mulut juga harus letak piring besar nih, biar kalau ada saus atau topping yang tumpah nggak kena lantai, gerutu hatinya.

"Kalau makan sama Bu Krystal di sini juga?" tanya Zay mencoba memasuki percakapan yang diincarnya. Satu potong pizza masuk dalam mulutnya.

Giyan menggeleng sambil mengunyah. "Nggak juga. Kami lebih sering menghabiskan waktu untuk nonton dari pada makan. Krystal sangat suka menonton, apalagi yang berbau horor."

Zay tersenyum. Giyan masuk dalam perangkapnya, tanpa ditanya lebih jauh, Giyan sendiri yang membeberkan apa yang disukai tunangannya tersebut.

"Pantas Bu Krystal memiliki aura horor itu," canda Zay yang disambut tawa Giyan.

"Dia sebenarnya sangat lembut. Kalau kamu mengenalnya lebih jauh, kamu akan lebih sering melihatnya tertawa dan tersenyum dibanding cemberut. Dia perempuan yang menggemaskan, apalagi ketika berbicara tentang cinta. Saya sampai heran, gimana bisa dia memasang tampang seram itu ke sekeliling sementara aslinya dia berhati hangat," terang Giyan yang didengar baik oleh Zay.

"Mungkin hanya orang-orang terdekat aja yang mau diberi senyuman oleh Bu Krystal," simpul Zay cepat.

"Memangnya tadi Krystal nggak senyum sama kamu? Kalian beberapa jam barengan, lho?" tanya Giyan sambil menelengkan kepalanya.

Zay melebarkan matanya dan berbicara dengan serius. "Bu Krystal marah-marah mulu. Apa aja yang aku bilang, salah. Semua yang aku lakuin, salah. Aneh ya tunangan Bapak. Saya sampai bingung, yang benar itu apa." Ia meneguk air dalam gelas hingga habis. "Awal kenal dengan Bapak gitu juga nggak? Atau langsung baik?"

"Kami dulu satu kuliah, satu jurusan. Nggak mudah memang dekati dia, karena kepribadiannya yang sedikit tertutup. Tapi, karena seringnya ketemu, dan aku ngajak dia ngobrol terus, dia jadi terbuka dan kami berhasil dekat," jawab Giyan.

"Wah, perjuangan yang berat pasti ya," respons Zay dengan ekspresi kagum ditambah dua jempol yang diacungkan.

Giyan tersipu dipuji oleh bawahannya sendiri. Ada rasa bangga dalam dirinya karena bisa menaklukkan perempuan sedingin Krystal.

"Terima kasih ya, kamu udah tolongin dia tadi. Saya berutang jasa dengan kamu," ucap Giyan terdengar tulus.

"Bukan Bapak yang berutang, tapi Bu Krystal, karena beliau yang saya tolong," balas Zay terang-terangan. Terima kasih kembali untuk informasi penting tentang tunangan Anda, sambung hatinya.

Giyan melebarkan bibir, tertawa. "Kamu benar-benar lucu. Kapan-kapan saya ajak gabung dengan Krystal. Mau?" tawar Giyan yang sudah jelas tidak akan ditolak oleh Zay. Akan tetapi ia berusaha sebaik mungkin menahan kegirangan itu dengan hanya memberi jawaban, "Terima kasih kesempatannya, Pak."

Giyan menuangkan minuman bersoda ke dalam gelas kosong milik Zay. Mereka bersulang dan saling lempar senyum. Senyum masing-masing memiliki makna yang berbeda. Giyan dengan kesenangannya karena bertemu Zay yang lucu dan baik hati. Sementara Zay senyum karena mendapat kesempatan bagus untuk melancarkan tujuannya.

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang