XXIII. Dendam yang Tercipta

94 20 0
                                    

Zay memarkirkan motornya tepat di parkiran toko buku yang terletak tidak jauh dari restoran tempat ia makan malam bersama kedua atasannya itu. Ia sudah mengirim pesan pada Meykha bahwa dia akan segera menjemput adiknya itu, tapi jangankan membalas pesan, Meykha belum membaca pesannya sama sekali.

Hal tersebut membuat Zay khawatir terjadi sesuatu pada adiknya. Bagaimana jika ada segerombolan laki-laki yang menggoda dan melecehkan adiknya. Bukan memuji dan meninggi, tapi adiknya adalah perempuan paling cantik setelah ibunya—dan kemudian baru Krystal, di matanya. Siapa yang tidak khilaf melihat perempuan cantik di malam hari, terlebih jika itu lelaki yang suka berpikiran jahat?

Ketika langkah kakinya memasuki toko buku besar itu, langkahnya terhenti karena lengannya yang digenggam oleh jemari lembut.

"Ternyata mataku nggak pernah salah. Akhirnya aku bertemu kamu setelah perpisahan kita hari itu," ucap si perempuan dengan mata yang menahan tangis.

"Berlian, aku lagi nggak sempat ngobrol dengan kamu. Aku mendesak," tolak Zay karena pikirannya yang fokus pada Meykha.

Berlian, yang tidak sengaja melihat Zay di lampu merah tadi, mengikuti dan berharap bisa sekadar bertanya kabar pada lelaki itu, sedih karena mendapat penolakan yang tidak diduga.

Zay meninggalkan Berlian dan melanjutkan langkahnya mencari Meykha. Memang tidak mudah mencari adiknya di toko buku besar dan konsumen yang kebetulan lagi ramai.

Meninggalkan bukan berarti tinggal begitu saja, Berlian turut mengikuti langkah Zay dan melanjutkan pembicaraan. Ia tidak peduli dengan apa yang sedang dilakukan mantan kekasihnya itu, yang ia pedulikan adalah hatinya yang menginginkan lelaki itu kembali.

"Kenapa kamu blokir nomorku? Apa sebenarnya yang kurang dari aku? Kamu nggak bisa sekadar beralasankan kita nggak punya masalah lalu pergi gitu aja. Kamu mikirin perasaan aku nggak ketika melakukan itu? Sakit banget tahu diperlakukan begitu," ungkap Meykha dengan wajah yang terus menengadah melihat Zay.

Zay seolah tidak mendengar apa pun. Ia sibuk melihat kiri dan kanan, dan hanya fokus pada apa yang dia cari. Ia mengabaikan semua pertanyaan Berlian yang baginya omong kosong. Hubungan mereka telah lama berakhir, kenapa harus diungkit lagi dengan bawa-bawa bahasan sakit hati. Ia tidak peduli.

"Kamu dengar aku nggak, sih?" Berlian yang sudah tidak tahan dengan sikap abai Zay, kembali menarik lengan kekar lelaki itu hingga memutar tubuh tinggi itu menghadap padanya.

Mendapat kata maaf atau perhatian? Tidak sama sekali. Zay yang dulu selalu memberikan tatapan cinta, kini menyorotkan tatapan penuh amarah. "Kamu bisa berhenti ganggu aku nggak? Kamu tanya kenapa aku blokir kamu? Semestinya kamu tahu kamu itu sangat menganggu! Aku nggak ada waktu ladenin perempuan gabut kayak kamu. Aku ada urusan yang lebih penting daripada dengerin celoteh kamu yang nggak bermanfaat itu," bentaknya seraya menghentak tangan Berlian yang masih menggenggam lengannya.

Rasa sakit hati Berlian kian bertambah karena ucapan yang dilontarkan Zay. Ia benar-benar tidak menyangka, lelaki yang dulu selalu mengucap kata manis, kini melontarkan kata-kata tajam yang merendahkan dirinya.

Ia menyatukan jemarinya menjadi sebuah gumpalan. Air mata yang sedari tadi ditahannya kini sudah tak terbendung lagi, mengalir di pipi.

Aku selalu mencoba mencari tahu alasan sebenarnya kenapa kamu putusin aku dengan alasan yang nggak masuk akal. Aku masih mencoba berpikir positif dengan kamu yang mungkin memiliki masalah yang nggak bisa kamu ceritain sama aku. Hari ini pun sama, aku mencoba untuk mendengar penjelasan kamu. Nyatanya, nihil. Kamu benar-benar berengsek!

Belum habis umpatan Berlian dalam hatinya, ia melihat lelaki itu berhenti tepat di depan seorang perempuan dengan rambut terkuncir. Tidak berhenti di situ, Zay juga memeluknya dengan reaksi lega. Samar terdengar suara Zay, "Akhirnya aku menemukanmu. Kamu nggak apa? Kenapa nggak balas pesanku. Kamu tahu aku khawatir?"

Zay juga memeriksa kondisi perempuan itu seolah sesuatu tidak ada yang boleh terjadi padanya. Kenyataan itu semakin membuat Berlian panas.

Diakah sebenarnya alasanmu berpisah denganku? Begitu banyak perempuan yang kamu dekati setelah berpisah denganku, tapi nggak pernah kulihat kekhawatiranmu seperti malam ini. Bahkan, padaku pun kamu nggak pernah sekhawatir itu. Kamu benar-benar lelaki yang nggak berperasaan.

Berlian memutarkan badan dan menghapus air matanya di pipi. Rasa kecewa, benci, sakit hati bergabung menjadi satu kata; dendam. Ia telah menetapkan dalam hati untuk tidak lagi menyebut Zay dalam hidupnya. Tidak akan sudi.

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang