Krystal berjalan bolak-balik seperti setrikaan yang tidak menyala. Jemarinya menempel dan mengetuk-ngetuk dagu pertanda ia sedang berpikir. Pembicaraan dengan Zay tadi membuatnya jadi penasaran dengan lelaki itu. Lelaki itu seperti menyimpan sesuatu dan sedang mencari jawabannya. Entah apa itu.
“Kakak ngapain, sih? Pulang sana, udah malam juga tumbenan main ke sini,” keluh Berlian, melihat kakaknya yang tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan dan bolak-balik seperti ini sudah sejak lima belas menit yang lalu. Sangat mengganggu.
“Kakak nggak bisa mikir di rumah aja? Aku mau istirahat. Capek. Besok ada pemotretan lagi,” tambahnya sebagai bentuk pengusiran terhadap kakaknya.
Krystal tidak peduli. Ia bahkan sekarang mulai berjalan ke dapur untuk menyeduh teh hangat. Mungkin saja aroma teh bisa membantu jalan pikirannya.
Berlian tidak dapat diam begitu saja. Ia tidak bisa beristirahat dengan nyaman ketika ada seseorang yang sedang gelisah di tempatnya. Ditambah lagi itu adalah kakaknya sendiri. Dulu, ketika bertengkar dengan Giyan, ia juga seperti ini. Selalu melarikan diri ke tempatnya, menghabiskan waktu untuk berpikir dan menenangkan diri selama beberapa waktu, serta kembali ketika ia sudah menemukan jawaban yang tepat.
“Kakak bertengkar lagi dengan Kak Giyan?” tanya Berlian, mengikuti langkah kakaknya. “Kali ini apa lagi masalahnya? Mau nikah aja ribut mulu.”
Krystal menempelkan sendok kecil yang digunakan untuk mengaduk teh itu ke mulut Berlian, meminta adiknya untuk diam. “Ini bukan tentang Giyan.”
Berlian yang sudah mengantuk parah, membelalakkan mata karena jawaban Krystal. “Apa ini tentang lelaki yang waktu itu?” Otak Berlian memang bekerja lebih cepat jika terkait percintaan.
Krystal menelengkan kepala melihat adiknya yang begitu cepat tanggap.
“Kakak lupa kalau aku korban perasaan karena bucin? Jadi aku peka yang begini-ginian,” jelas Berlian tanpa harus ditanya.
Krystal dan Berlian memilih balkon sebagai tempat saling berbagi cerita. Udara malam yang dingin ditemani teh hangat melengkapi malam mereka.
“Dia mengaku tertarik pada kakak tadi.” Satu kalimat yang lagi-lagi menyontakkan Berlian.
“Gila! Dia pasti gila. Aku yakin dia tahu kalau Kakak dan Kak Giyan udah mau menikah, kenapa berani sekali membuat pengakuan itu?” oceh Berlian terdengar memburu. Tak masuk di akal sehatnya seseorang mengaku dengan jelas ketika targetnya sudah hampir menikah, bukan sekadar berpacaran.
Krystal mengingat kembali percakapannya dengan Zay di meja makan tadi.
“Nggak ada yang salah, kan, dengan rasa tertarik?” tanya Zay ketika melihat Krystal tidak dapat merespons pengakuannya yang terkesan tanpa persiapan.
“Tertarik bisa terjadi karena berbagai hal. Saya tertarik karena Ibu sosok perempuan yang menginspirasi, menurut saya. Zaman sekarang, tidak banyak perempuan yang bisa memimpin menggunakan logika, karena mereka selalu membawa perasaan. Ibu, menduduki posisi sekarang karena selalu konsisten dengan keputusan yang logis dan kedisiplinan yang patut diacungi jempol. Hal yang paling saya senangi, Ibu tidak hanya meminta karyawan mematuhi peraturan, tapi Ibu mencontohkannya terlebih dahulu, jadi tidak terkesan asal peraturan. Saya sangat menyukainya,” alasan Zay panjang lebar diakhiri dengan senyum manis di ujungnya.
“Kamu tertarik karena hal itu?” tanya Krystal sedikit gelagapan. Entah perasaan aneh apa yang sedang dialaminya di dalam sana. Sedikit ada sorakan ketika ia mendengar pengakuan awal, dan sedikit jengkel ketika mendengar alasan itu.
“Ibu pikir ada alasan lain?” Zay membalikkan pertanyaan. Sepertinya ia benar-benar mengikuti jejak Krystal—menjawab pertanyaan dengan pertanyaan. “Apa boleh saya punya alasan lain ketika saya menyadari Ibu milik atasan saya?”
“Terus Kakak jawab apa?” tanya Berlian tidak sabaran.
“Kakak pulang,” jawab Krystal polos. Jawaban itu membuat Berlian melengos. Mana bisa pembahasan seru tersebut diakhiri tanpa jawaban yang jelas. Sangat menggantung. Namun, Krystal memberitahu bahwa Stephanie menghubunginya untuk memberikan berkas yang harus dipelajarinya malam ini terkait rapat besok pagi.
“Stephanie itu selalu aja mengganggu,” gerutu Berlian. “Lalu, apa Kakak terkecoh karena hal itu?”
Krystal menarik napas berat. “Entahlah. Kakak berpikir dia punya sisi yang beda. Ada hal yang lain di diri dia, dan itu terasa nyaman. Dan Kakak penasaran sebenarnya dia memang demikian atau itu hanya sebatas gurauan. Caranya menyampaikan sungguh nggak bisa diartikan,” Krystal berkata jujur pada adiknya. Walau Zay mengesalkan dengan segala kemunculan yang tiba-tiba tapi ia memiliki kepribadian yang menyenangkan.
Tidak ingin ikut campur terlalu jauh, sadar diri percintaannya sendiri saja kacau balau, Berlian menggoda kakaknya dengan kerlingan, “Namanya siapa?”
“Apa pentingnya sebuah nama? Nama mantanmu yang si*lan itu aja nggak pernah kamu sebut,” balas Krystal berusaha menutupi status Zay.
🍁🍁🍁
Untuk yang gak mau nunggu lama, bisa langsung melipir ke Karyakarsa. Di sana update lebih cepat 💗
KAMU SEDANG MEMBACA
Artificial Love
Romance🍁ROMANCE🍁 Zay bekerja sebagai anggota Tim Pemasaran di perusahaan kosmetik dengan tujuan untuk mendekati Krystal, sang CEO. Perjuangannya tidak mudah karena Krystal telah bertunangan dengan Giyan, ketua Tim Pemasaran. Tidak datang dengan tangan ko...