XV. Masih Berharap

119 28 33
                                    

Berlian baru saja selesai pemotretan untuk sampul majalah fashion. Di usianya yang hampir menginjak angka tiga puluh, Berlian sudah memiliki banyak pengalaman di bidang modelling. Ia memutuskan memasuki ranah dunia ini sejak lulus kuliah dan tidak ada yang menentang keputusannya, baik itu orang tua maupun kakaknya, Krystal.

Berlian menerima banyak tawaran untuk potret berbagai macam merek pakaian hingga produk kecantikan. Perusahaan Krystal juga menggunakan jasanya untuk mempromosikan produk, termasuk produk yang akan segera rilis ke depan. Ia bahkan sudah mulai wara-wiri di iklan televisi.

"Kak Fara!" teriaknya ketika seseorang yang dicarinya terlihat keluar dari gedung yang sama dengannya. Sebenarnya ia tidak tahu juga bahwa mereka akan berada di gedung yang sama, tapi siang tadi Berlian kebetulan melihat Fara seliweran di lantai tiga, sementara Berlian ada pemotretan di lantai empat.

Perempuan dengan rambut kuncir kuda itu menoleh ke asal suara. Tampak sedikit keterkejutan pada ekspresi wajahnya. Sepertinya perempuan itu tidak menyangka akan bertemu dengan mantan sahabatnya yang super bucin ini.

Berlian berlari kecil ke arah Fara dan menyerahkan sebotol minuman dingin. Ini pertanda bahwa Berlian meminta waktu Fara sejenak untuk berbincang. Fara tidak nyaman jika harus menolak hal ini karena tidak ada alasan yang bisa digunakannya.

"Kakak ada kerjaan di sini ya? Aku lihat kakak tadi pas mau pemotretan," ujarnya sambil menarik Fara menuju salah satu bangku panjang yang tersedia di depan hotel mewah ini.

"Aku tadi mengunjungi salah seorang muridku. Dia sakit," jawab Fara canggung. Betapa tidak? Ia yakin, bukan tanpa alasan Berlian menunggunya dan mengajaknya berbicara. Pastilah akan membahas tentang sahabatnya yang suka mempermainkan perempuan itu.

"Kak Zay sehat?" Berlian memulai percakapan yang sesuai tebakan Fara.

"Emang dia bisa sakit?" jawab Fara dalam bentuk pertanyaan yang ditertawakan oleh Berlian.

Berlian sadar jawaban yang diberikan Fara bukan sebagi tanda ia malas merespons Berlian, tapi memang begitulah adanya.

"Kamu kenapa, sih, ngejar-ngejar dia terus? Kamu udah tahu jelas dia orang yang seperti apa. Kamu juga tahu bahwa nggak ada lagi harapan untuk kamu." Fara berbicara dengan nada serius. Bukan hanya untuk melepaskan diri dari kejaran Berlian, tapi ia juga kasihan dengan Berlian yang terus mengharapkan Zay. Sementara Zay sekarang sibuk mengejar bos di tempatnya bekerja.

Berlian mengulum sebuah senyum tipis. Telunjuknya bermain di atas botol minuman yang digenggam sejak tadi. "Karena aku tahu dia seperti apa, makanya aku masih mencintainya. Aku yakin, kok, ada faktor yang membuat Kak Zay seperti itu. Sebenarnya, dia bisa mencintai perempuan dengan tulus, tanpa berpaling pada perempuan lain. Mungkin, yaa, waktunya aja yang belum tepat."

Fara terkekeh ringan. "Terus, kamu pikir dengan kamu menanti dia akan kembali dan mencintai kamu? Gimana kalau misalnya selama penantianmu dia malah menemukan seseorang yang benar-benar dia cintai? Dia nggak akan kembali. Penantianmu pun menjadi sia-sia. Jangan buang waktu dengan percuma untuk dia yang nggak pernah lihat kamu."

Kalimat-kalimat yang diucapkan Fara menembus hati Berlian. Namun demikian, entah mengapa rasanya Berlian masih harus menunggu sedikit lagi. Ia teringat, hubungannya dengan Zay yang hanya terjalin beberapa bulan itu terasa sangat indah. Zay adalah laki-laki pertama yang bisa memperlakukannya sebagaimana mestinya perempuan diperlakukan. Zay tidak pernah menuntutnya lebih. Tidak pernah meminta ini-itu.

Oleh sebab itu, Berlian berpikir bahwa kepergian Zay dengan perempuan-perempuan lain adalah bentuk dari pelampiasan atau pun cara agar lepas darinya. Sementara itu, pastilah Zay punya alasan sendiri yang tak bisa diucapkan pada Berlian. Karena itu, Berlian masih bersedia menunggu dengan segala bentuk harapan.

"Kak, aku akan benar-benar berhenti ketika aku melihat dengan jelas siapa perempuan yang berhasil membuatnya cinta tanpa main. Selama ini yang aku lihat Kak Zay hanya bermain-main dengan yang lain, nggak ada cinta untuk mereka. Pun, hubungan mereka nggak ada yang selama hubungannya denganku. Menurutku, itu pertanda aku paling tinggi tahtanya di antara mereka semua," respons Berlian dengan mantap.

Fara mengerucutkan bibirnya dengan tubuh yang terayun ke depan-belakang. Ia melihat ke arah Berlian yang duduk di sampingnya. Perempuan cantik itu benar-benar terjebak pada pesona Zay. Tidak hanya terjebak, ia bahkan rela mengurung diri dalam jebakan itu. Kesalahan ini tidak terletak pada Zay, tapi pada Berlian. Dirinya sendiri yang tidak membuka pintu keluar, padahal Zay sudah membuka gerbang lebar-lebar.

"Kamu sedang membiarkan luka yang ada disiram garam dan nggak dibalut perban. Kamu membiarkannya menganga. Kamu akan tersakiti lebih dari ini nantinya," peringat Fara yang disambut hambar oleh Berlian.

Berlian sebenarnya butuh dukungan dari Fara. Ia berharap Fara akan membantunya mendekati Zay. Akan tetapi yang didapatkan adalah peringatan keras tentang apa yang akan dialaminya di kemudian hari jika bertahan di situasi ini. Haruskah ia benar-benar berhenti sekarang? Lantas bagaimana nasib hatinya yang sampai kini masih saja mencintai?

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang