XI. Lelaki yang Mencurigakan

124 26 5
                                    

Krystal memarkirkan mobilnya di basemen dan memasuki gedung bertingkat lebih dari lima belas lantai itu seorang diri. Menaiki lift yang terletak di sebelah kanan, Krystal menekan tombol dua belas.

Ini akhir pekan, dan ia tidak ingin kembali ke rumah di saat matahari belum terbenam. Ia memutuskan untuk mengunjungi sang adik yang memilih untuk tinggal di apartemen seorang diri dibanding dengan keluarganya.

Sudah jelas mengetahui kata sandi, Krystal dengan cepat menekan enam digit yang berhasil membuka pintu apartemen. Seakan tempat ini juga miliknya, ia melepas sepatu hak tingginya dengan asal, melempar tas di atas sofa dan berjalan menuju kulkas guna mengambil air dingin. Rasanya gerah sekali setelah melewati kejadian yang menyebalkan.

Tidak menemukan sang adik yang biasanya menghabiskan waktu di depan layar televisi, Krystal melirik ke balkon yang juga kosong. Hanya tirai yang beterbangan karena diterpa angin.

"Dia keluar?" monolog Krystal.

Krystal memutuskan menunggu adiknya di dalam kamar saja sambil rebahan. Namun, ia dikagetkan dengan banyaknya tisu di lantai bahkan yang terakhir menimpuk wajahnya.

"Hei, apa yang terjadi? Kamu nangis kenapa?" Krystal buru-buru mendekati adiknya yang menangis tersedu di atas kasur.

Matanya sembab, pipinya membengkak, hingusnya masih turun walau tidak banyak. "Aku jelek banget ya, Kak? Aku nggak pantas untuk dicintai ya, Kak?" rengek Berlian, adik perempuan Krystal.

Krystal memutar bola matanya dan duduk bersila di atas kasur. Niatnya untuk melepaskan penat malah berakhir dengan tambah penat karena permasalahan sang adik yang itu-itu saja.

"Dia lagi?" tebak Krystal. Sudah berulangkali Krystal mendengar adiknya yang cerita tentang si lelaki jahat yang tak pernah melihat ketulusan adiknya.

"Dia blokir aku, Kak." Tangis Berlian kian pecah saat bercerita.

"Apa masalah dia sampai blokir kamu? Kamu ganggu dia lagi?"

Sembari sesegukan, Berlian menggeleng dan bercerita singkat. "Beberapa waktu lalu cuma chat dia aja, karena aku liat dia jalan sama perempuan lain. Belum selesai aku ketik pesan dia udah blokir aku."

"Kamu nangis gini udah dari beberapa hari lalu?" kaget Krystal.

"Nggak, kak. Nangisnya ada jeda. Pas tidur sama makan," jawab Berlian membuat Krystal tepuk jidat.

"Nggak penting banget nangisin laki-laki yang nggak peduli sama kamu, Ber. Kamu mikir nggak, air mata kamu terbuang percuma. Nanti kalau air mata kamu kering, habis, gimana? Kamu pikir dia bakal datang dan nyiram mata kamu biar airnya ada lagi? Nggak akan. Dia tahu kamu nangis aja nggak.

"Kak Krystal!!" pekik Berlian kesal dengan cara kakaknya merespons.

"Seganteng apa sih dia sampai kamu nggak bisa move on?" Krystal sangat penasaran dengan wujud laki-laki yang telah menyakiti adiknya. "Udah lebih setahun lho kamu asik galau tentang dia. Kamu juga yang cerita udah berulangkali dia ganti perempuan, tapi masiiih aja kamu nangisin. Heran kakak sama kamu."

"Kakak nggak tahu gimana baiknya dia dulu ke aku. Nggak ada laki-laki mana pun yang perlakuin aku seperti cara dia," bela Berlian.

Krystal mengembungkan pipi dan kemudian mengembuskan napas kesal. "Laki-laki jahat emang suka ninggalin kesan baik." Krystal mengambil bantal di sebelah adiknya dan meletakkan di bawah kepalanya. Rasanya nyaman sekali.

"Aku bakal dapatin dia lagi. Apa pun caranya," tekad Berlian mantap.

Krystal yang mulai memejamkan mata bertanya dengan lesu. "Kamu mau ngapain memangnya? Mau datang ke rumahnya terus lamar dia di depan ibu-bapaknya?"

Seketika boneka kelinci kecil melayang ke atas wajah Krystal. "Dia udah nggak punya orang tua, Kak. Nggak boleh ngomong sembarangan."

Krystal berdecak. "Semakin menyusahkan."

Matanya yang terpejam tiba-tiba terbuka lebar dan kembali membangkitkan tubuhnya untuk duduk. Ia memegang kedua bahu adiknya dan menatap intens pada matanya. "Kamu berhenti dulu nangisnya, nanti lanjutin lagi galaunya. Anggap ini jeda. Kamu dengar cerita Kakak dulu. Mau?"

Berlian menyeka air matanya dan melihat Krystal yang tampak bersemangat untuk bercerita. "Cerita kalau Kakak dan Kak Giyan tadi baru pulang have fun? Basi. Selalu itu yang diceritain. Adiknya menderitanya kakaknya ketawa-ketawa."

"No no no," Krystal menggelengkan kepala dengan kedua tangan yang menopang di pinggang. "Kakak punya satu staf baru yang menurut penilaian kakak dia terlampau berani. Selama dia bekerja yang belum sampai sebulan, dia selalu muncul ketika kakak lagi ada masalah. Aneh, kan? Apa mungkin dia punya indra keenam ya?" pikir Krystal serius dengan jari telunjuk tertempel di dagu.

Kini giliran Berlian yang melihat Krystal dengan aneh. "Kakak kepedean mungkin. Kali aja semua itu kebetulan. Nggak semua kebetulan dianggap spesial, Kak. Udah deh, mau nikah juga masih aja mikirin laki-laki lain. Sejak kapan juga Kakak peduli dengan orang baru?"

"Iya, kan? Sejak kapan Kakak peduli? Tapi, dia itu benar-benar mengganggu. Giyan aja senang lho dengan kehadiran dia. Dia itu seperti punya suatu daya pikat tersendiri gitu. tadi aja yang nemenin Kakak ketemu WO itu dia, bukan Giyan."

"Serius?" Mata Berlian membulat. "Kakak mau ganti suami secepat itu?"

"Ngasal banget kalau ngomong," balas Krystal seraya menimpuk bantal ke wajah adiknya. "Dia muncul tiba-tiba dan berlakon sebagai Giyan."

"Kenapa dia bisa muncul? Kakak sempat nyinggung bakal ke sana sama dia?"

Krystal bergeming. Ia baru terpikir akan pertanyaan adiknya. Bagaimana bisa Zay hadir di gedung itu seorang diri, tiba-tiba, dan dengan lancar menjalankan aksinya? Jika dikatakan Zay juga mengurus pernikahan, kenapa tidak ada pasangannya? Krystal semakin merasa ada yang aneh pada karyawan baru tersebut.

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang