X. Pendamping Sementara

122 33 37
                                    

Krystal berkendara seorang diri ke daerah Kebayoran Baru. Mobil Audi hitam miliknya berhenti tepat di depan gedung mewah tersebut. Gedung ini memang kerap kali dijadikan target oleh kalangan atas membuat pesta pernikahan. Bahkan pernah anak seorang pejabat merayakan ulang tahunnya yang ke-17 di gedung ini.

Ingin memiliki kenangan tak terlupakan dalam hidupnya, Krystal pun ingin mengukir sejarah pernikahan sekali seumur hidupnya di gedung mewah ini. Desain interior yang megah, pilar-pilar elegan khas Yunani, membuat Krystal terkagum-kagum dan membayangkan akan sangat indah pernikahannya nanti.

Salah seorang lelaki berseragam hitam pekat mengantarkan Krystal menuju lantai dua untuk bertemu pihak WO. Sambil berjalan ia mengirimkan pesan pada Giyan bahwa ia telah tiba dan akan bertemu WO. Walau bagaimanapun, ia masih berharap Giyan bisa menyempatkan waktu untuk datang. Mengurus hal ini sendirian, sangat tidak menarik. Sulit untuk mengambil keputusan karena tidak bisa berdiskusi langsung.

"Bu Krystal." Sebuah suara dari arah utara menyapanya.

Krystal yang merasa dipanggil menolehkan pandangan dan menautkan kedua alis saat melihat lelaki yang tertawa lebar di ujung sana.

Krystal meminta lelaki berseragam itu meninggalkannya saja.

"Keluarga Ibu pemilik gedung ini juga? Benar-benar kaya." Zay, lelaki yang tadi menyapanya berjalan mendekat untuk berbincang dengan Krystal.

"Apa jika saya sekarang sedang berada di sebuah hotel, kamu akan berpikir hotel itu juga punya saya?" tanya Krystal kembali dengan nada mengejek pemikiran Zay.

Zay mengangkat bahu. "Bisa jadi, kan? Saya nggak punya daftar kekayaan Ibu, jadi saya nggak tahu mana-mana aja punya Ibu."

"Kalau nggak tahu, lebih baik kamu diam. Daripada berbicara tapi salah," ketus Krystal dan melanjutkan langkah untuk masuk ke ruang yang berjarak 50 meter di depan.

"Tinggal bilang bukan aja berbelit-belit banget," gerutu Zay sekenanya.

Krystal menajamkan penglihatan ke arah Zay yang berkata sesuka hati. Hendak ia balas gerutuan Zay, seorang perempuan berambut panjang digerai memanggilnya. "Bu Krystal? Kami sudah menunggu Anda. Mari masuk."

Krystal mengangguk dan tersenyum ramah masuk ke ruangan tersebut dengan sopan.

"Pak Giyan, kenapa masih di luar? Silakan masuk," ulang perempuan bernama Nana tersebut menyilakan Zay juga.

Krystal hendak membantah bahwa itu bukan Giyan, tapi tindakan Zay membuatnya bungkam. Zay dengan senang hati masuk ke ruangan yang penuh dengan potret pernikahan itu dan duduk di samping Krystal sambil mengembangkan senyum.

"Ngapain kamu ikutan?" bisik Krystal menahan geram.

"Aku disuruh masuk," jawab Zay asal.

Nana menyuguhkan dua cangkir teh ke hadapan dua tamunya. "Akhirnya kita bertemu juga setelah dua kali pembatalan ya, Bu, Pak."

"Ah, iya. Maafkan kami karena selalu membatalkan janji temu," balas Krystal canggung karena ada Zay di sampingnya. Zay tidak menyahut apa pun. Ia hanya duduk dan mendengar pembicaraan keduanya.

"Pernikahannya akan digelar tanggal berapa? Biar bisa kita cek dulu," tanya Nana cepat sambil membuka file pemesanan gedung di komputernya.

"10 Oktober mendatang. Apa masih kosong?" Krystal menggaruk pinggilan jempolnya dengan cemas. Tanggal tersebut sudah disepakati oleh kedua belah pihak. Jika ditanggal itu gedung sudah dipesan oleh pasangan lain, ia akan putus asa dan tidak membayangkan opsional lain sebagai penggantinya.

Nana mengulas senyum. "Tersedia. Sepertinya ada hikmah di balik pembatalan janji dua kali. Awalnya tanggal ini sudah ada pemesannya, tapi dua hari lalu pihak laki-laki datang untuk membatalkannya."

Krystal tersenyum bahagia. Senyum yang lebih bahagia dari ketika Zay lihat malam itu di kafe. Saking bahagianya, Krystal secara tidak sadar menggenggam tangan Zay yang duduk di sebelahnya.

Saat menolehkan pandangannya pada Zay yang menatapnya kosong, Krystal segera melepas genggamannya dan berdeham untuk menetralkan sikap.

Mereka melanjutkan pembicaraan untuk konsep pernikahan akan seperti apa. Nana sesekali meminta pendapat Zay yang sedari tadi lebih banyak diam. Agar tidak terlihat bahwa dirinya bukanlah Giyan, dengan manis dia menjawab, "Aku menyerahkan semua pilihan pada Krystal. Dia memiliki mata yang bagus untuk memilih, punya selera yang pasti aku akan menyukainya. Dia nggak pernah gagal dalam memilih sesuatu."

Nana tersipu mendengar Zay yang terlalu menghormati Krystal sebagai perempuan. Sementara Krystal di sebelahnya kaget bukan main saat mendengar Zay dengan mudahnya melontarkan namanya tanpa embel-embel Bu. Ia benar-benar sedang berlakon sekarang.

"Sepertinya Pak Giyan sangat mencintai Bu Krystal," ungkap Nana.

"Begitukah?"

Nana mengangguk. "Mungkin bagi sebagian orang, kalimat Anda barusan terkesan nggak mau ikut campur, khawatir akan berbeda pendapat dengan pasangan. Tapi, dalam pendengaran saya, Anda menghormati pasangan Anda karena Anda percaya padanya. Itu sebuah perasaan yang luar biasa, Pak."

Zay tersenyum miring. Ia kembali berhasil memainkan perannya sebagai pasangan yang hebat. Tidak sia-sia pengalamannya dengan banyak perempuan selama ini.

Krystal mengembuskan napas berat ketika melihat ekspresi Zay yang melayang ketika dipuji oleh Nana. Ia sampai geleng-geleng kepala.

Pertemuan tersebut berjalan sampai satu jam lebih. Krystal segera menuntaskan segala keperluan yang dibutuhkan untuk hari pernikahan. Ia tidak ingin bolak-balik dalam jadwal yang tidak bisa dijanjikan. Kalau pun harus melakukan perubahan, setidaknya nanti cukup via telepon saja.

Sesudah pertemuan itu, Zay masih saja mengikuti langkah Krystal yang berjalan menuju mobilnya.

"Kenapa kamu masih ikuti saya?" tanya Krystal membalikkan badannya.

"Nggak ada sesuatu yang ingin Ibu sampaikan?" Zay melebarkan matanya dengan binar yang terpancar.

"Apa?"

"Harus saya ajarkan juga? Itu bagian dari tata krama, Bu."

"Tolong, kalau bicara yang jelas, jangan mutar-mutar.

"Saya belajar dari Ibu, kalau bicara itu nggak to the point," sindirnya dengan senyum bangga.

Krystal kembali melayangkan tatapan tajam untuk Zay. "Mau kamu apa, sih?"

"Ketika seseorang berbuat baik, menolong kita, alangkah baiknya untuk berterima kasih," ujar Zay dengan menempatkan tangan kanannya di dada.

"Saya nggak pernah minta kamu tolongin saya," bantah Krystal.

"Pertolongan itu nggak perlu diminta, Ibu. Kembali pada kesadaran masing-masing aja," respons Zay cepat. "Bisa Ibu bayangkan kalau tadi saya nggak ada? Perempuan tadi akan merasa pasangan Ibu bukan tipikal penyayang. Berkat saya, dia berpikir bahwa Ibu perempuan beruntung yang dicintai dengan penuh penghormatan," lanjutnya dengan bangga.

Krystal menyisir rambutnya karena sangat kesal dengan tingkah Zay yang sangat berani terhadapnya. Cara tersebut membuat Zay terpesona, karena Krystal terlihat lebih cantik berkali-kali lipat. Jantungnya mulai berdegup tidak teratur. Rasanya ingin muncul saja ke permukaan dan bersorak bahagia.

"Terima kasih. Cukup?" ucap Krystal dengan nada tidak ikhlas.

Zay mengangguk. Bukan karena ucapan terima kasih, tapi karena terpukau akan kecantikan Krystal. Ia tidak peduli lagi pada Krystal yang telah berjalan meninggalkannya. Ia fokus mendengarkan degup jantungnya sekarang.

"Aku nggak benar-benar jatuh cinta padanya karena rambutnya itu, kan?" tanyanya pada diri sendiri.

Artificial LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang