Sejak percakapan di ruang rapat beberapa hari lalu, Krystal dan Giyan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Krystal akan menjadi lebih dingin dan tidak mau menghubungi duluan. Ini sudah berlaku sejak awal hubungan mereka. Giyan yang harus mencari cara bagaimana agar hubungan mereka kembali menghangat dengan memulai komunikasi dan merayu Krystal.
Selama jam kerja Krystal memang tidak membalas pesan sama sekali, bahkan ada beberapa waktu yang ia tidak membacanya—akan terbaca ketika jam kerja telah berlalu. Akan tetapi, ketika dihubungi saat malam hari pun, Krystal tidak mengangkat dan kadangkala menolak panggilan. Giyan berpikir keras, semarah itukah Krystal padanya?
Oleh karena itu, Giyan mengirimkan sebuah pesan berisi alamat sebuah tempat makan. Ia akan menunggu di sana sampai Krystal tiba. Itu bukanlah ancaman atau sekadar kata-kata belaka. Giyan benar-benar akan melakukannya.
Giyan sempat hampir putus asa kala sudah menunggu hampir tiga jam, bahkan gelasnya hampir kering. Namun, sosok yang ditunggunya terlihat dari pintu masuk masih mengenakan setelan kerja dengan ekspresi dingin khasnya.
"Aku pikir kamu nggak akan datang," sambutnya berdiri dan menarik kursi untuk diduduki Krystal. Di atas meja telah diletakkan sebuah bunga segar berwarna kuning untuk Krystal. Namun, jangankan mencium aroma bunga tersebut seperti di drama-drama televisi, Krystal sama sekali tidak menyentuhnya dan hanya melihat sekilas.
"Rencananya gitu," balas Krystal singkat dan melayangkan tatapan dingin pada kekasihnya.
Giyan menghela napas dan menggosok-gosok tangannya, gugup. Berhadapan dengan Krystal yang sedang emosi memang tidak mudah. Sepertinya malam ini ia akan bertemu dengan sisi Krystal yang akan meluapkan amarah.
Giyan memanggil seorang pelayan dan memesankan makanan yang tentunya disukai oleh Krystal, steak dan air putih. Krystal benar-benar menerapkan hidup sehat sejak dahulu. Ia sangat jarang minum air yang memiliki macam cita rasa—hanya sesekali jika memang diharuskan. Baginya, air putih lebih bermanfaat bagi tubuhnya.
"Aku minta maaf ya udah buat kamu kesal hari itu," ucap Giyan mulai memasuki pembahasan.
Menggunakan tatapannya yang tajam dan berfokus pada netra Giyan, Krystal membalasnya dengan pertanyaan, "Menurut kamu yang membuat aku kesal itu apa?"
"Karena aku nggak bisa temani kamu ketemu WO, kan?" jawab Giyan dengan kadar keyakinan sekitar delapan puluh persen.
Krystal mendesis. "Apa memang semua laki-laki diciptakan nggak peka ya? Atau memang perempuan yang terlalu sensitif? Ada nggak kasus yang sebaliknya?" Tiga pertanyaan tersebut malah membuat Giyan semakin bingung. Ia tidak tahu ke mana arah dari tiga pertanyaan tidak nyambung tersebut.
"Kamu nggak temani aku dengan alasan membawa Papa ke rumah sakit, itu aku bisa maklumi. Yang membuat aku kesal adalah kamu nggak temui aku hari itu dan malah pergi nongkrong dengan teman-teman kamu. Kamu lupa kalau kamu bilang, seandainya kamu selesai lebih awal temani Papa maka kamu akan menyusul. Aku nunggu telepon dari kamu, lho. Aku juga nunggu di sana, berharap kamu bakal nyusul. Tapi kamu nggak ada kabar sama sekali. Sampai malam, Yan. Dan ternyata itu karena kamu asik dengan teman-teman kamu!" luap Krystal akhirnya.
Perbedaan pemikiran memang seringkali membuat pasangan adu argumentasi. Begitu halnya dengan Giyan yang tidak menangkap bahwa titik masalah sebenarnya beda dengan apa yang disangkanya.
"Aku pikir kamu udah selesai di sana dan aku nggak perlu lagi datang, makanya aku mutusin untuk menerima tawaran teman aku pas diajak duduk," alasan Giyan.
"Kenapa kamu nggak telepon aku dulu? Kenapa kamu nggak mastiin dulu kondisinya sama aku? Aku malu, Yan. Aku malu, di saat orang-orang lain datang dengan pasangannya, aku datang seorang diri ke sana. Sendiri," papar Krystal dengan menegaskan satu kata penting itu. "Beruntung. Beruntung Zay datang entah dari mana, dan dia temani aku sehingga aku bisa nutup rasa malu gara-gara kamu."
Giyan berdecak kesal. Sedari kemarin ia dihantui dengan pertanyaan kenapa harus Zay? Akan tetapi, ia juga tidak bisa protes hal tersebut, terlebih ketika itu memberi pertolongan untuk kekasihnya.
"Aku akui salah dan aku minta maaf. Kamu jangan diamin aku berhari-hari gini, dong. Nggak nyaman sama sekali buat aku," ungkap Giyan dengan tatapan memelas.
Krystal tidak langsung menjawab. Ia melihat wajah Giyan yang masih menunggu jawaban darinya dengan wajah cemas. Siapa yang bisa tetap bertahan dalam kemarahan kala pasangan yang teramat dicintai sedang menunggu pemaafan darinya? Hanya saja, Krystal tidak suka jika suatu kesalahan terjadi berulang kali.
"Sebuah permasalahan nggak akan selesai hanya dengan kata maaf, Yan. Kamu harus buktiin diri kamu nggak akan ulangi hal ini lagi sebagai bentuk permintaan maaf kamu," tegas Krystal.
"Siap," balas Giyan cepat dengan gerakan hormat. "Aku janji nggak akan ngulangin lagi kesalahan ini. Aku nggak akan biarin kamu ngambek lagi karena hal seperti ini."
Akhirnya, senyum yang beberapa hari dirindukan Giyan kembali mengembang di bibir Krystal yang dipersembahkan untuknya. Giyan teramat berterima kasih karena Krystal masih mempercayainya dan memberi kesempatan dalam bentuk pemaafan. Sangat senang hatinya bisa melihat lagi senyum cantik itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Artificial Love
Romance🍁ROMANCE🍁 Zay bekerja sebagai anggota Tim Pemasaran di perusahaan kosmetik dengan tujuan untuk mendekati Krystal, sang CEO. Perjuangannya tidak mudah karena Krystal telah bertunangan dengan Giyan, ketua Tim Pemasaran. Tidak datang dengan tangan ko...