Prolog

738 38 0
                                    

Membesarkan anak seorang diri tentu tak mudah, apalagi ia berada di kota yang asing baginya.

Setelah terlepas dari Imam dan kota Semarang, kesehatan mental Ayra semakin membaik. Namun semuanya kembali menyakitkan kala Rayyan bertanya dimana abba nya.

Tak terasa, ia sudah menetap di kota asing ini selama 17 th. Dan selama itu pula, ia memutuskan semua komunikasi  kecuali ibunya. Ia benar-benar merubah semuanya di sini.

Seperti yang ia katakan, ia tidak akan menggantikan posisi Imam dihatinya. Munafik jika selama ini ia sudah benar-benar mengikhlaskan semuanya karena nyatanya ia belum ikhlas selama ini.

Dan disini, semuanya akan kembali membaik. Dan disini pula, cerita lika-liku kehidupan pria dingin itu di mulai.

Dia Ray, sosok pria dingin yang tak pernah bertegur sapa dengan wanita manapun kecuali ummanya. Sosok pria 17 tahun yang tidak pernah merasakan hangatnya kasih sayang dari sang ayah.

"Ummaaaa"

Dan ini dia Ayra, sosok wanita hebat yang mampu membesarkan anak yang tak kalah hebat.

"Di dapur sayang." teriak wanita itu.

"Assalamualaikum umma cantik." ujarnya seraya memeluk sang umma.

"Wa'alaikumussalam bang." balasnya seraya menusap rambut lebat sang anak. Walaupun Rayyan anak tunggalnya, namun Ayra selalu memanggilnya dengan bang.

Ayra merasakan ada yang aneh kala Rayyan memeluknya, ia merasakan basah dibagian pundaknya. "Bang?" ujarnya memastikan.

Saat Ayra kembalikan badannya, ia sedikit terkejut kala Rayyan menangis dengan memeluknya.

"Astagfirullah ada apa ini, abang are u okey?"

Rayyan menggeleng, Ayra mengernyitkan keningnya "Ada apa sayang cerita sama umma." ujarnya seraya mengusap rambut Rayyan.

"R-rindu abba umma..." lirihnya dengan sesegukan.

Deggg

Tepat sasaran, hantaman batu besar menimbuk palung hati Ayra. Ia memejamkan mata kala mendengar kalimat itu. Ia langsung memeluk erat tubuh putranya.

"Stt, tiba-tiba kok ngomong gitu hem?"

Rayyan hanya menggeleng dan terus memeluk Ayra.

"Maaf ya sayang, umma udah jahat misahin kamu sama abba kamu." ucapnya dalam hati.

"Ya udah kalau gitu, abang mandi terus makan ya? umma udah masakin, makanan kesukaan abang. Jangan sedih lagi, next time kalau Allah izinin abang pasti ketemu abba kok." ujarnya menenangkan, walau pada nyatanya ia tak bisa tenang kala Rayyan mengucap seperti itu.

Rayyan hanya mengangguk, ia berjalan kearah kamarnya yang berada dilantai 2.

30 menit berlalu, namun Rayyan tak kunjung keluar kamar. Hal itu tentu membuat Ayra khawatir, ia memutuskan untuk menghampiri anaknya di kamar.

"Abang, kok lama banget." ujarnya seraya mengetok pintu kamar Rayyan. Namun tak ia temukan jawaban dari sang pemilik kamar.

"Bang." panggilnya lagi, namun sama saja tidak mendapatkan jawaban.

"Umma masuk ya?" dan lagi-lagi tak mendapatkan jawaban. Alhasil Ayra memutuskan untuk masuk ke dalam kamar putranya, dan pintunya pun tak Rayyan kunci. Ia tak pernah mengunci pintu kamarnya, katanya biar kalau sewaktu-waktu umma masuk kamar, ga perlu bingung mencari kuncinya.

Ia terkejut kala melihat Rayyan sudah tertidur diatas sofa kamarnya. Ayra mengeluarkan benda pipihnya dan mengambil foto putranya.

 Ayra mengeluarkan benda pipihnya dan mengambil foto putranya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
RAYYANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang