'5

181 15 0
                                    

Dalam ruangan bernuansa putih itu, Dara dengan pakaian yang penuh darah sedang ditangani oleh seorang dokter. Banyak selang yang mulai mereka pasangkan pada tubuh lemah itu. Namun semuanya dibuat tegang kala monitor itu hampir berjalan lurus.

"Dok, keadaan pasien semakin memburuk, detak jantungnya pun hampir menghilang." ucap seorang suster.

"Sabar, kita lakukan yang terbaik." ujarnya seraya mengambil sepasang alat yang dikenal dengan defribrilator.

"Siap semua?!" tanyanya mengaba-aba semua suster yang di sana. Dan suster-suster itu hanya mengangguk cepat sebagai jawaban.

Hingga akhirnya, alat tersebut menempel tepat di dada Dara. Satu, dua, tiga sentuhan namun tak ada perubahan, hingga membuat semua yang berada di sana hanya pasrah.

"Sekali lagi dok, bismillah." ujar salah satu suster dengan penuh keyakinan. Sang dokter pun hanya mengangguk, kemudian menempelkan kembali alat tersebut, hingga akhirnya monitor itu berjalan dengan sewajarnya. Hal itu tentu membuat mereka bernafas lega.

Kemudian dokter itu pun kembali mengecek keadaan Dara. Setelah selesai semua, mereka pun keluar ruangan dengan raut wajah yang susah diartikan.

Ternyata, diluar sudah ada Ayra dan Rayyan. Ayra terlihat menangis dipelukan Rayyan, dan Rayyan pun hanya melamun. Hingga suara pintu ruangan itu menyadarkan Rayyan dari lamunannya. Dan Ayra berdiri menghampiri segerombolan suster dan satu dokter.

"Bagaimana keadaannya dok? apakah parah?" tanya Ayra disela-sela isakannya.

"Ibu dengan siapanya pasien?"

"Saya yang menabrak gadis tadi dok."

Sang dokter pun terlihat menghela nafas "Pasien mengalami gagar otak bu dimana harus segara dilakukan operasi. Namun kondisinya tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi sekarang."

Hati Ayra teriris kala mendengar penjelasan sang dokter. "Lakukan yang terbaik dok, saya siap bertanggung jawab atas segalanya. Apakah sekarang sudah bisa dijenguk dok?"

"Belum bu, tunggu kondisi nya sedikit membaik terlebih dahulu."

Ayra hanya mengangguk, kemudian sang dokter dan suster-suster pamit untuk pergi.

Ayra kembali duduk, ia kembali menyenderkan kepalanya di bahu Rayyan.

"Ray, umma takut."

"Stt kita doain buat Dara aja ya umma."

"Iya, oh iya kamu ada kontak keluarga Dara? ga bang?"

"Di grup walimurid SMA ada nomornya mamanya Dara umma. Coba Ray hubungin ya?"

Ayra hanya mengangguk, setelah itu Rayyan menghubungi mamanya Dara. Tak lama benda pipih itu keluar suara dari seberang sana, dan Rayyan pun mulai menjelaskan semuanya kepada bu Serly.

"Kenapa ga mati aja?"

Kata-kata itu mampu membuat Rayyan terkejut, ia tak menyangka jika mama Dara sekejam ini.

Rayyan memberikan ponsel itu kepada Ayra, biarkan Ayra yang berbicara. Dengan segala kata manis yang Ayra katakan, akhirnya bu Serly bersedia untuk ke rumah sakit. Ayra pun menutup sambungan telefon itu da memberikan kembali kepada Rayyan.

Sekitar 30 menitan wanita dengan pakaian khas kantor datang dengan wajah datarnya.

"Permisi." ucapnya penuh kewibawaan.

Ayra dan Rayyan kompak menoleh, Rayyan sudah tau bahwa ini mamanya Dara.

"Iya, dengan ibu Serly?" balas Ayra.

RAYYANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang