'3

274 28 6
                                    

Dara tiba di dalam rumahnya, yang kata mereka Rumahku Surga ku. Namun tidak untuk Dara, ia lebih suka diluar rumah daripada di dalam rumah, sebab menurutnya RUMAHKU NERAKAKU.

Ia melihat mamanya yang sudah duduk di ruang tamu seraya memainkan ponsel. Ia tak menghiraukannya, ia tetap melangkah menuju kamarnya yang di atas.

"Duduk!" ucapnya dingin, suara itu mampu membuat Dara menghentikan langkahnya. Ia menghela nafas gusar dan berbalik menatap mamanya.

"Apalagi sih Ma? Dara capek mau istirahat." ujarnya.

"Kamu ga budegkan? saya bilang duduk ya duduk!" ucapnya kasar.

Dengan berat hati, Dara mengikuti kata-kata mamanya, ia duduk di sofa dan menaruh tasnya asal-asalan. Bu serly pun menaruh kembali ponselnya, ia memperbaiki duduknya kemudian menatap Dara dengan tatapan tajam.

Plakk

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kanan Dara, tamparan itu terlalu keras hingga membuat bekas merah di sana.
Dara memegang pipi kanannya, kala rasa perih+panas itu menjelajar di pipi kanannya. Tak sampai itu, bu Serly juga mencengkram keras rahang Dara.

"Saya menyesal melahirkan kamu ke dunia!   Saya sangat menyesal, jika saya bisa memilih, saya tidak sudi melahirkan kamu ke dunia ini, anak sialan!" sarkasnya.

Dara hanya mampu memejamkan mata, kala suara tajam itu menggores lamat hatinya.

"Mama sadar dengan ucapan mama barusan?" tanyanya, dari sekian banyak ucapan tajam yang terlontar dari mulut mamanya, untuk yang ini sakitnya tak tertakar.

Bu Serly terkekeh kecil "Saya sangat sadar, kamu tau apa kata-kata saya yang saya katakan ketika saya tidak sadar?" ia menjeda kalimatnya "Kata yang tidak saya sadari kala mengatakannya adalah, ketika saya mengatakan saya sayang kepadamu, anak sialan!" ucapnya menclekit.

Pecah sudah air mata yang Dara tahan, ia memang nakal namun ia lemah dalam bab keluarga.

"Terus kenapa mamah ga bunuh Dara waktu Dara lahir?" ucapnya dengan suara bergetar.

"Karena abang kamu yang memintanya! jika tidak karena abang kamu, kamu sudah mati sejak 17 tahun silam!"

Dara hanya menggeleng tak percaya, adakah ibu yang sekejam ini terhadap anaknya.

"Kamu tau? kelahiran kamu adalah musibah terbesar dan terpanjang saya! gara-gara kamu, saya kehilangan suami saya!"

"Dara bukan pembunuh papa maa, Dara bukan pembunuh." lirihnya.

Bu Serly pun mendorong Dara hingga ia tersungkur ke lantai, ia berdiri dan berjalan melewati Dara begitu saja, tak hanya itu kala kaki Bu Serly melewati wajah Dara, satu tendangan menggunakan lutut Dara dapat kan, hal itu tentu membuat Dara meringis sakit kala tetesan darah segar mengalir dari hidung mancungnya

"Pa..." lirihnya disela isakan.

"Dara mau ikut papa bilang sama tuhan kalo Dara pingin ikut papa ya? Dara udah ga sanggup lagi pa, Dara capek...."

Dara menunduk menatap lantai, ia terkekeh kecil "Kenapa ga bunuh gue aja si mah, kan nanti kita sama-sama enak." ujarnya.

Dara bangki membiarkan darah segar menetes ke bajunya, kemudian berjalan walau tertatih. Ia memerlukan tembok untuk membantunya berjalan, ia menaiki tangga satu persatu. Hingga tangga terakhir pun telah ia pijak. Ia membuka pintu kamarnya, ia masuk dan melempar tasnya begitu saja. Ia meraba kantongnya guna mengambil ponsel. Saat membukanya, ternyata sudah banyak notif dari teman-temannya. Namun tak ia hiraukan, ia lempar lagi ponsel itu kemudian berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan badannya.

Ia menatap dirinya dalam pantulan cermin, ia tertawa keras "Haha mamah lo ga salah Dar, apa yang dia katakan itu benar! lo cuma anak pembawa sial!" ucapnya dengan dirinya sendiri.

"Lo harus mati Dar! lo harus mati!" ucapnya dengan memukul kaca besar dihadapannya hingga tangannya berlumur darah.

Ia berjongkok dan mengambil serpihan kaca yang berada di lantai. Ia tersenyum licik, kemudian meletakkannya pada lehernya. Saat ia ingin menggoreskan pecahan kaca itu, tiba-tiba ada yang mengetok pintunya.

"Dek, bukain abang mau masuk." teriak seseorang dari luar.

Dara hanya diam tak menjawabnya.

"Lo buka atau gue dobrak? buka pintunya!" teriaknya lagi.

Dengan terpaksa, Dara membukakan pintunya. Kala pintu itu terbuka, Dion__kakak Dara, terkejut melihat kondisi sang adik.

"Lo kenapa hah! kenapa bisa banyak darah di baju dan tangan lo?" beribu pertanyaan terlontar dari mulut Dion.

"Brisik lo, gue mau nyusul papa!" ucapnya enteng.

Dion menggeleng tak habis fikir "Lo udah gila atau gimana? lo ga mikirin perasaan mama sama gue?"

Dara tertawa hambar "Asal lo tau kematian gue, adalah kado bahagia buat mama! gue pingin mama bahagia!"

"Lo perlu gue tampar biar sadar? maksut lo apaan? mama ga sekejam itu, asal lo tau!"

Jari telunjuk Dara berada di dada Dion, ia menatap Dion dengan tatapan elang.

"Lo ga tau, betapa sakitnya gue jadi anak mama! lo ga tau seberapa banyak mama ngebuat mental gue down! lo ga tau karena lo ga pernah ngerasain jadi gue bang, lo anak ke sayang nya mama, jadi lo ga tau apa yang gue rasakan. Lo lihat semua ini? ini ga seberapa dengan keadaan mental gue! Gue capek, gue juga rindu papa, pasti kalau papa masih hidup semuanya tidak akan se berantakan ini. Tapi tenang gue ga marah sama takdir yang telah merenggut papa gue, gue hanya marah sama diri gue sendiri karena gue gagal bikin mama sayang sama gue, karena gue penyebab papa meninggal yang berarti gue pembunuh." ucapnya dengan air mata yang deras mengalir.

Dion, ia langsung membawa adik satu-satunya ini ke dalam dekapannya. Ia tumpukan dagunya di atas ubun-ubun Dara, ia membiarkan Dara menangis dan meluapkan semua emosinya di sana.

"Gue sayang sama lo dek, maafin gue."

---

Jangan lupa vote sama komen yya!

RAYYANZATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang