CHAPTER 39

6.6K 471 9
                                    


Ada apa di rumah lamaku? Tetapi, mungkin ini menjadi pertanda bahwa Bapak akan segera ditemukan.

“Ibumu bilang, Bahar pergi merantau?” Pak Haji berjalan tepat di samping kananku dengan hentakan kaki yang pelan.

“Iya, Ibu juga bilang seperti itu ke aku. Tapi, sudah 3 tahun lebih Bapak tidak memberi kabar ataupun uang,” timpalku.

“Sejak kematian adikmu yang kecil itu?”
Aku mengangguk mengiyakan.

Sepertinya, Pak Haji ada rasa curiga, semoga saja kebohongan yang ditutupi Ibu segera terbongkar.
20 menit berlalu, karena kami harus berjalan kaki menuju rumah lamaku yang sudah tak terawat.

“Masuk, Pak?” tanyaku pada Pak Haji.

“Iya, masuk saja, baca doa dahulu,” sahutnya.

Tak lupa aku terus membaca doa-doa yang kubisa. Bau tak sedap serta rerumputan menjulang tinggi membuatku kesulitan untuk berjalan.

Kondisi rumah masih sama hanya saja sudah mulai keropos dimakan rayap, serta atas yang mulai rusak.

“Bapak di sini, Pak?”

Pak Haji masuk ke dalam sebuah kamar kecil yang tak lain adalah kamar Ibu dan Bapak dulu.

Entah apa yang dicari Pak Haji saat ini, ia sedang mencari sumber yang bisa menemukan Bapak.
“Gimana, Pak?”

Namun, ia tak menyahut apa pun ia terus fokus pada pencariannya. Aku yang tampak bingung, menoleh ke sebelah kanan terdapat lemari bekas Ibu dan Bapak.

Aku mencoba membukanya. Namun, terkunci.

“Ada apa Adrian?” Pak Haji menyahut.

“Aku ingin buka lemari ini Pak, tapi sangat susah!” Aku terus membukanya. Namun, hasilnya nihil.

“Sini, biar Bapak yang dobrak!”

Aku mulai minggir dan membiarkan Pak Haji menobraknya.

Pintu lemari terbuka.

“Waduh, banyak sekali bajunya,” ucap Pak Haji.
Namun, aku menemukan keanehan di balik tumpukan baju-baju milik Ibu.

“Pak, ini apa?”

Remukan tulang berwarna putih terselip di antara baju-baju milik Ibu.

“Tulang apa ini?”

Pak Haji memalingkan tanganku yang hendak menyentuh benda ini.

“Jangan kamu pegang, ini bukan tulang hewan,” ucap Pak Haji yang membuatku semakin bingung.

Lalu, ia merobek salah satu kain berwarna putih dan segera mengambil benda yang kuduga sebagai tulang.

Mataku terbelalak melihatnya, ternyata tulang tengkorak manusia, utuh.

“Pak Haji, ini apa, Pak?! Maksud Bapak ….”

“Jangan banyak bicara dulu. Biar Bapak yang merapikan ini.”

Degup jantungku tak karuan sekali, Pak Haji membongkar kembali satu sisi dari lemari ini yaitu tempat gantungan baju.

Ia membuang semua baju yang ada di dalamnya.
“Innalilahi wa innailaihi roji’un.”

Sontak aku kembali terkejut. “Ada apa lagi, Pak!”
“Ini Bapakmu Adrian?”

Tulang belulang serta baju hitam milik Bapak yang masih utuh membalut tubuhnya.
“Bapak?”

“Kamu diam saja, biar Bapak yang membersihkan ini.”

Aku menangis histeris tak tertolong. “Pak, ini Bapak? Pak Haji pasti berbohong, kan?”
Ia menoleh menatapku dengan alis yang menurun.

“Pak, aku tak percaya ini Bapak! Aku akan menyelidiki dengan melapor ke polisi, Pak!” ucapku dengan nada cukup keras.

“Itu bagus, laporkan saja. Biar semuanya terungkap dengan jelas,” timpal Pak Haji padaku.

“Akan kuurus hari ini juga, Pak,” ucapku.

“Baiklah, Adrian. Bapak akan mengurus jenazah bapakmu ini.”

Tak menunggu waktu lama, aku berlari dan segera menuju kantor polisi untuk menangani hal ini lebih lanjut.

***

Hari sudah mulai petang, pihak polisi yang aku sambangi sudah mulai berdatangan. Tulang belulang yang sudah berserakan kini sudah dirapikan oleh Pak Haji, serta tak lupa pakaian Bapak yang dikenakan dulu.

“Kami akan menangani sesegera mungkin, Pak. Kami akan membawa semuanya untuk pemeriksaan lebih rinci,” ucap salah satu pihak polisi ini.

“Pak, saya perlu ikut?” tanyaku padanya.

Tapi, aku baru mengingat. Ibu sendirian di rumah dan aku menguncinya di dalam kamar dan seharian Ibu di dalam sana. Ini gawat!
“Pak Haji, aku harus pulang sekarang. Ibu sendirian dan aku menguncinya di dalam kamar,” ucapku.

“Pulanglah, biar Bapak yang ikut polisi. Besok kamu kembali lagi ke rumah Bapak.”

Aku mengangguk mengerti.

“Pak, tolong sekali harus diwakilkan Pak Haji Rosadi, besok saya datang lagi,” ucapku.

***

Hari sudah malam saat aku kembali ke rumah.
“Astaga, Ibu, aku meninggalkannya di dalam kamar.” Dengan buru-buru aku membuka pintu ini.

Terdengar suara teriakan dari kamar ini yang ingin memaksa keluar.

Aku dengan tergesa-gesa membuka pintu kamar Ibu.

“Bu, Ibu.”

Ibu terlihat sedang merangkak sembari berteriak memanggil namaku.

“Dari mana kamu?!” bentaknya padaku.
“Maaf, Bu. Aku ada urusan sebentar,” ucapku pelan.

“Urusan apa?! Tak perlu mengunci Ibu seperti ini!” timpalnya.

Aku hanya menunduk, tak berlangsung lama ia menarik rambutku dan mulai memukuli dengan tangan kosongnya.

“Bu, jangan, Bu.”

“Dasar anak kurang ajar!!”

Ibu memang sudah sedikit gila, kemungkinan hal buruk ini akan bertambah buruk dan merusak otak Ibu.

“Bu, ayo tidurlah. Jangan marah-marah seperti ini,” ucapku.

“Tidak, Ibu akan menjalani ritual untuk menambah uang Ibu,” ucapnya dengan mata melotot ke arahku.

“Ritual apa lagi, Bu?! Uang kita sudah habis, aku harus banting tulang mencari uang,” jawabku.
“Uang kita tidak habis, uang kita masih banyak tersimpan dan raja iblis itu akan memberikan kepada Ibu.”

Aku tak mengerti lagi, apa yang Ibu tengah bicarakan, ia memang sudah gila.

FAMILY IN DANGER ( LENGKAP )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang