Dipa membatin, seandainya langit bisa disogok, aku sudah transfer seratus ribu biar enggak hujan. Mata laki-laki itu menatap benci derasnya hujan yang turun. Setiap tetesan yang jatuh seperti mengajak baku hantam. Usahanya menciptakan suasana malam romantis dengan kerlip bintang sebagai atap benar-benar berantakan.
"Maaf, Pak, sepertinya hujan. Sebagai gantinya, kami sudah siapkan meja di dalam."
Dipa ingin mengkritik penggunaan kata sepertinya yang kurang tepat sebelum Ajeng, pacarnya yang ginuk-ginuk, menenangkannya dengan nada suara selembut putri Solo yang secara konsisten bikin Dipa klepek-klepek. "Enggak apa-apa, Mas Dipa. Wong namanya hujan mau gimana lagi?"
Si pelayan kemudian mengarahkan sejoli itu ke meja yang katanya sudah disiapkan. Kekecewaan Dipa sempat memudar seiring teredamnya suara hujan. Namun, keriuhan di dalam bikin kepalanya kembali mumet. Belum lagi di sebelah mejanya duduk pasutri dengan tiga bocah yang diduga titisan kuda lumping. Anak pertama dan kedua berlari ke sana kemari, berkhayal menjadi Iron Man dan Spider Man. Sementara itu, si bungsu tidak lebih baik: menari kesurupan di tempat dengan iringan lagu Johny Johny Yes Papa versi remix yang keluar dari ponsel ibunya. Melihat itu, Dipa menimbang-nimbang menelpon satu tim pemadam kebakaran untuk menyemprot mereka semua.
"Uwis, enggak apa-apa, Mas Dipa," ucap Ajeng lagi setelah mendengar helaan napas pacarnya. "Ini malam Minggu, tanggal muda. Ya pasti rame toh?"
"Padahal Mas udah reservasi meja outdoor buat makan malam yang romantis lho, Jeng. Candle light dinner ditemani alunan biola klasik. Kayak di film-film itu," jawab Dipa dengan suaranya yang medok nge-bass.
Perempuan berpipi gembil itu tersenyum. "Kalau mau niru film ya jangan di restoran keluarga ikan bakar Sunda, Mas. Isinya pasti ya keluarga semua. Paling enggak di café and resto gitu loh."
"Di café enggak bisa nyocol sambel matah, Jeng," jawab pria cungkring itu yang sukses memancing tawa Ajeng. "Atau kita pindah tempat aja? Tapi mbungkus sambel dulu."
"Halah, enggak usah. Di mana pun aku seneng kok, asal sama Mas Dipa,"
Dipa langsung menggeliat seperti cacing kena garam ketika mendengar itu. Setelah normal kembali, dia menyibukkan Ajeng dengan memintanya memilih menu.
Malam ini Dipa tetapkan sebagai malam terpenting setelah penculikan Soekarno ke Rengasdengklok. Dia akan melamar Ajeng, perempuan yang sudah dipacarinya selama tiga tahun. Itulah alasan mengapa setelan Dipa cukup rapi walaupun kombinasi warnanya bikin sakit mata: kemeja lengan pendek hijau muda plus celana chino ungu.
Sebenarnya, makan malam romantis bukan opsi pertama. Dipa ingin sesuatu yang lebih berkesan, lebih membekas. Dia hampir memutuskan untuk merekayasa drama penculikan dengan menyewa tiga orang berbadan kekar. Mereka akan menculik Ajeng sepulang kerja, menutup matanya, membekapnya, lalu membawanya ke gudang kosong. Saat matanya terbuka, Dipa akan memberi kejutan dengan melamarnya. Namun, rencana itu buru-buru dihapus setelah ingat bahwa bapaknya Ajeng belum berencana mengundurkan diri sebagai pejabat eselon 2 di Kementerian Pertahanan. Dipa belum ingin digeruduk tentara.
"Nila bakar aja piye, Mas?"
Dipa mengangguk lalu mengacungkan tangan, berharap ada pelayan yang menangkap panggilannya. Tak lama, pelayan yang tadi menyambut Dipa datang.
"Kami pesan nila bakar, kangkung balacan, mendoan, sambel matah. Terus minumnya es jeruk sama bandrek ya, Mas."
Si pelayan manggut-manggut sambil mencatat.
"Oya, Mas, pemain biolanya sudah siap?" tanya Dipa. Walau hujan menghilangkan 50% aspek keromantisan malam itu, setidaknya masih ada pemain biola yang mungkin bisa menyelamatkan harinya. Namun, perasaan Dipa tak enak ketika melihat perubahan ekspresi si pelayan.
"Nah, itu dia, Pak. Mohon maaf, saya baru dapat kabar kalau pemain biolanya tidak bisa datang. Kebanjiran, Pak."
Dua detik Dipa memejamkan mata, menahan emosi.
"Tapi Bapak tidak usah khawatir, kita sudah siapkan penggantinya. Kebetulan lima belas menit lagi kita ada live music. Biduannya juga sudah datang. Nanti Bapak bisa request-request lagu. Nyawer juga boleh ehehe..."
"Oh, boleh?"
"EHEM!"
"Chanda cayangku." Dipa mengelus punggung tangan Ajeng. Ajeng jinak lagi. Si pelayan langsung mual dan berlalu.
"Jadi, Mas mau ngomong apa? Kayaknya ada yang serius nih sampai-sampai bajumu cetar makblar. Biasanya pake baju bola."
"Malam ini spesial, Jeng, karena ..." Dipa mengambil sesuatu dari kantung celananya. "Ini."
Mata bulat Ajeng membelalak melihat benda yang disuguhkan sang pacar. Terakhir kali Ajeng terkejut seperti itu adalah ketika Dipa memberi hadiah anak kelinci di ulang tahunnya. Namun, kali ini pacarnya tidak membawa makhluk hidup apa pun. Di tangannya, ada kotak kecil berwarna merah yang terbuka, dengan cincin emas putih menyelip di tengah.
"Kali ini Mas sudah siap, Jeng. Maukah kamu menjadi istriku? Menjadi separuh nafasku? Mas asma tanpamu."
Ajeng menutup mulutnya dengan tangan. Matanya mulai berair. Tak ada firasat apa pun sebelumnya bahwa Mas Dipa kesayangan bakal melamarnya. Pacarnya benar, malam ini spesial. Setahun belakangan, Ajeng terus memikirkan arah hubungannya dengan Dipa. Ajeng terus memanjatkan doa agar ia segera halal bersanding dengan Dipa. Dan, Tuhan mengabulkannya malam ini.
"Gimana, Jeng? Kalau enggak mau, cincinnya ta' jual lagi."
"MAU DONG!" jawab wanita berambut lurus sebahu itu dengan pasti. Mana mungkin dia menolaknya? Bagi Ajeng, keberanian Dipa malam ini semakin menobatkan dirinya sebagai mas-mas Jawa paling ganteng se-Indonesia raya.
"Yha, tapi enggak usah nyembur gitu," Dipa mengambil secarik tisu lalu mengelap wajahnya.
"Habis Mas Dipa nakal."
Dipa nyengir. "Bener kamu mau, Jeng? Kamu sudah siap mengarungi kehidupan penuh ombak bersamaku? Kalau enggak kuat bisa masuk angin lho."
"Mas Dipa ..." suara lembut perempuan itu masuk ke telinga Dipa. "Kita udah jalan tiga tahunan. Aku wis paham dirimu luar dalam. Insyaallah aku siap, Mas. Kalau masuk angin ya tinggal kerokan," tutup Ajeng. Gigi kelincinya terpapar indah mengiringi senyuman.
Bibir Dipa mekar mendengarnya. "Makasih ya, Jeng." Dalam hati dia bersyukur Tuhan menurunkan jodoh seorang wanita imut yang baik, yang mau menerima dirinya, sehingga Dipa tak perlu pergi ke Gunung Kawi untuk memasang susuk.
"Terus—" Kalimat Ajeng terhenti sesaat ketika pelayan datang menyajikan minuman ke atas meja. Dia lalu melanjutkan, "Kapan mau ketemu Bapak, Mas?"
Dipa mencondongkan tubuhnya mendekati pinggiran meja. Dia ingin bicara lebih serius. "Gini, Jeng. Sebelum ke Bapakmu, Mas pengin kamu tahu. Mas mau kita ijab kabul aja. Mas—"
"Ya namanya nikah pasti ijab kabul toh, Mas? Masak langsung manjat!" potong Ajeng.
"Wah, pikiranmu! Sebentar, dengerin Mas dulu." Dipa meneguk bandrek panas sejenak sebelum melanjutkan. "Mas pengin kita ijab kabul saja. Di KUA. Tok. Abis itu pulang."
"Ma-maksudnya piye, Mas?"
"Mas enggak mau ada resepsi, Jeng. Enggak penting resepsi itu! Mas mau intinya saja. Ijab kabul. Selesai."
Wajah Ajeng berubah. Kecerahannya meredup drastis seperti senter kehabisan baterai. Kalimat terakhir yang meluncur dari mulut Dipa membuatnya menelan ludah.
Ini tidak akan mudah.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBURU RESTU
HumorDipa cuma ingin menikahi Ajeng di KUA. Tanpa resepsi. Tanpa ingar bingar pesta. Menurutnya, resepsi pernikahan hanyalah bentuk kesombongan, pamer, dan buang-buang uang. Belum lagi ribetnya, ampun dah! Ajeng sih tidak masalah menikah di KUA saja. Kal...