Mobil Karimun biru andalan Dipa merapat di depan pagar rumah Ajeng. Sebenarnya, pria kurus itu ingin turun dan meminta izin kepada orang tua sang kekasih, tetapi Ajeng keburu muncul dan membuka pagar. Tanpa diduga, adegan buka pagar yang harusnya biasa saja, justru memberi dampak fatal buat jantung Dipa. Dua detik laki-laki itu habiskan untuk melongo menatap Ajeng. Di kepalanya terangkai sebuah sketsa: barisan paduan suara menyanyikan lagu Kau Cantik Hari Ini-nya Lobow dan Dipa ada di bangku penonton, menikmati kesyahduan sambil mengibarkan bendera Slank.
"Hai, Mas," sapa Ajeng setelah masuk ke mobil.
Dipa masih bengong. Ajeng benar-benar sempurna pagi ini. Balutan blus brokat merah muda lengan pendek begitu cocok dengan kulit kuning bengkuangnya. Kombinasi rok batik selutut dan ankle strap heels makin mengibarkan keanggunannya. Namun, itu belum apa-apa dibanding riasan Ajeng yang tepat. Bagi Dipa, begitulah seharusnya riasan, benar-benar mampu menonjolkan sisi kecantikan alami. Bukan jenis riasan yang mampu mengubah warna terong menjadi kuning.
"Mas Dip? Dalam hitungan ketiga, Mas Dipa akan tertidur jauh lebih dalam," canda Ajeng sekaligus mengembalikan kesadaran Dipa.
"Kecantikanmu memang sudah menghipnotisku, Jeng."
"Gombal."
"Model rambutmu bagus."
Pipi tembem Ajeng makin mengembang seiring senyumnya. Dia puas, keputusan memilih gaya rambut digelung ke atas dan membiarkan poninya menutupi dahi, menuai pujian pacarnya. Dipa lalu mengutarakan rasa tak enak sebab kontras dengan Ajeng yang penuh totalitas dalam berdandan, dia hanya memakai batik di bawah seratus ribu yang dibeli dari lokapasar ternama dengan promo bebas ongkos kirim.
"Enggak apa-apa, Mas. Yang penting kamu enggak pakai batik KORPRI," jawab Ajeng menenangkan. Toh, buat Ajeng itu tak penting. Yang penting, Mas Dipa-nya mau digeret untuk pergi ke pernikahan Hapsari.
Dipa lega. "Eh, Mas enggak perlu minta izin Bapak-Ibu?"
"Mereka lagi pergi, Mas. Kondangan juga."
"Wah, bulan ini kayaknya lagi musim kawin ya?"
Ajeng mengangguk. "Margono aja bunting lagi, Mas."
"Lho, Margono-mu itu cewek toh?"
"Iya, kan nama panjangnya Margono Anastasya."
"Suka-suka kamulah, Jeng."
Tawa Ajeng meruak, sementara Dipa geleng-geleng sambil menyalakan mesin mobil.
****
Area parkiran gedung sudah cukup ramai. Dua sejoli itu masih di dalam mobil, memastikan tidak ada detail di wajah yang dapat menurunkan percaya diri. Ajeng touch up tipis-tipis, sementara Dipa melakukan ritual nyisir jambul. Setelah semua dirasa sempurna, mereka turun dan melangkah menuju pintu gedung. Layaknya sepasang kekasih, Ajeng menyisipkan sikunya lengan Dipa. Bukan hanya karena ingin romantis, Ajeng takut Dipa berubah pikiran dan memutuskan kabur, atau—lebih buruk lagi—melakukan hal-hal yang membatalkan keikutsertaannya dalam pesta seperti misalnya berpura-pura kesurupan macan.
Ajeng bernapas lega setelah Dipa menerima suvenir pernikahan dari meja penerima tamu. Aman.
"Suvenir itu hal paling enggak berguna di resepsi. Pada akhirnya, suvenir hanya bakal berakhir di tong sampah. Ini juga nih, dari semua jenis cendera mata, kenapa Hapsari milih lilin?" ucap Dipa sambil melangkah masuk.
"Mas, dikasih gratis kok komplen?"
"Lha ngasih lilin enggak ada koreknya."
Ajeng gemas, tetapi niat menginjak kaki Dipa ditunda hingga waktu yang tidak dapat ditentukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBURU RESTU
HumorDipa cuma ingin menikahi Ajeng di KUA. Tanpa resepsi. Tanpa ingar bingar pesta. Menurutnya, resepsi pernikahan hanyalah bentuk kesombongan, pamer, dan buang-buang uang. Belum lagi ribetnya, ampun dah! Ajeng sih tidak masalah menikah di KUA saja. Kal...