Klaten, 2015
Gedung Arjuna Manggala menjadi saksi bagaimana Dipa mengumbar senyum formalitas kepada para tamu di tengah suasana hatinya yang tidak begitu baik. Dia mengerti, apa yang dilakukan adalah varian basa-basi. Profesionalitas sebagai among tamu pernikahan Mbak Saras –kakak kandungnya– menuntut demikian. Hitungan kasar Dipa, dari seluruh tamu yang datang, hanya sepuluh persen yang dia kenal. Sedangkan selebihnya, dia tak tahu mereka datang dari planet mana. Tersenyum menjadi logis, karena tidak mungkin Dipa mengeksekusi niatnya menggonggongi para tamu.
But I... won... hesi...dem mo mor... mo mor
Suara biduan pernikahan menggema di langit-langit gedung. Merdu, tetapi ngawur. Semua tampak tak peduli, tapi tidak dengan telinga Dipa. Andai Jason Mraz hadir di sini, dan mendengarkan bagaimana lirik lagu I'm Yours-nya dirombak jadi bahasa alien dengan brutal, dia yakin Mister Jason bakal pensiun jadi penyanyi lalu pindah ke Bali untuk menjalani kehidupan sebagai bule biasa. Dipa kemudian mendekati pemain organ tunggal dan memberi perintah halus yang dalam versi frontalnya kira-kira berbunyi: Mas, bahasa Inggris Mbaknya jelek dan kami sudah bayar mahal. Jadi, daripada ta' lempar sound system, mending nyanyi lagu Indonesia atau tembang Jawa saja ya.
Selesai di area organ tunggal, Dipa melanjutkan langkah berkeliling dengan perlahan. Setelan beskap merah marun dan kain batik yang membungkus tubuhnya bikin pergerakan terhambat. Dipa sempat berpikir, sekencang apa leluhurnya berlari dengan busana sekaku ini ketika dikejar Belanda? Masih tentang busana, ada hal lain yang mengusik batin Dipa: keris di pinggangnya. Apa urgensi among tamu dibekali keris? Apakah ada potensi perang ilmu antar pendekar di resepsi Mbak Saras? Atau sekadar jaga-jaga apabila mantan kakaknya datang lalu mengacak-acak katering? Walau di beberapa kondisi menusuk mantan pacar dengan keris dapat dimaklumi, tetapi kali ini bukan ide yang menarik.
"Udah nyoba iga bakarnya, Lek? Daginge alot, digigit malah ngelawan."
Keluhan oknum tamu menghentikan langkah Dipa sekaligus membuyarkan lamunannya. Dia mengambil jarak untuk memasang telinga.
"Wah bener, alotnya kayak istriku pas minta duit belanja," timpal yang lain, menyusul kemudian tawa. Di sisi lain, Dipa mulai panas.
"Kateringnya enggak sip iki. Aku wis survei dari ujung ke ujung. Nasinya keras, sate ayamnya seret, sopnya hambar, terus tadi ada bulet-bulet dikasih sambel ta' kira bola-bola daging, ternyata tahu. Ealah..."
"Gedunge juga kurang oke. Gede sih, tapi sumuk. AC-nya enggak ngangkat."
Rasanya Dipa ingin mengambil satu piring kotor di dekatnya, lalu melemparnya ke kepala bapak-bapak tak tahu diri itu dengan gerakan memutar ala atlet lempar cakram. Sudah diizinkan masuk gedung, makan hidangan gratis, masih saja mulutnya minta ditutup lakban. Namun, di pelaminan, senyum bahagia Mbak Raras menghentikan niat penganiayaan berat itu. Setidaknya, wajah cerah kakaknya menjadi satu-satunya hal positif di mata Dipa dari resepsi yang bermasalah ini. Ya, bermasalah. Dan, menurutnya ini semua gara-gara Ayah.
****
Tiga bulan sebelum resepsi
"Dip, sini sebentar," ucap Ayah kala mendapati Dipa masuk ke rumah setelah selesai berbelanja di pasar. "Ayah lagi mbahas rencana resepsi Mbakmu." Bunda yang bersimpuh, menguatkan perintah suaminya dengan menepuk-nepuk karpet. Dipa mengangguk, menaruh kantong plastik berisi logistik dapur di tepi dinding, lalu duduk bersila di sebelah Mbak Saras.
"Bapak sudah survei gedung, tiga bulan lagi insyaallah kita bikin hajatan."
Alis Dipa naik, kemudian menoleh ke Mbak Saras. "Wah, selamat, Mbak. Tiga bulan lagi Mbak Saras resmi jadi atlet gulat."
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBURU RESTU
HumorDipa cuma ingin menikahi Ajeng di KUA. Tanpa resepsi. Tanpa ingar bingar pesta. Menurutnya, resepsi pernikahan hanyalah bentuk kesombongan, pamer, dan buang-buang uang. Belum lagi ribetnya, ampun dah! Ajeng sih tidak masalah menikah di KUA saja. Kal...