BAB 3: BERBURU RESTU

151 12 1
                                    


Jempol Dipa menekan tombol berhenti pada stopwatch ponsel, bertepatan dengan usainya pidato bertele-tele Lurah Cikolot. 15 menit 32 detik. Dipa menunjukkan layar gawainya kepada Teh Rina, kolega seniornya yang duduk di sebelah.

Walau mulut Dipa terhalang masker, Teh Rina dapat mengangkap bahwa temannya itu sedang tersenyum lebar penuh kemenangan. Dia pun melayangkan protes. "Kok bisa sih? Biasanya pidato dia minimal setengah jam loh!"

"Sesuai perjanjian, sarapan seminggu ya, Teh. Hihihi...." Alis Dipa naik turun. Teh Rina menyesal menerima tantangan Dipa untuk menebak durasi pidato Lurah Cikolot yang biasanya memakan waktu dua purnama. Wanita Sunda berbadan dua itu tidak tahu, sebelum naik podium, Dipa sempat menemui Pak Lurah dan meminta beliau berpidato lima belas menit dengan imbalan tiket menonton balapan formula E yang dia dapatkan dari orang dalam. Dipa sendiri tidak tertarik menonton balapan, jadi daripada sia-sia, dia menukar tiket itu dengan peluang jaminan sarapan gratis selama seminggu.

"Teh, gimana kalau sekarang kita nebak berapa kali Pak Lurah garuk-garuk kelek?"

"OGAH!"

Pagi itu, Dipa sedang menjalani tugas negara. Sebagai tenaga promosi kesehatan Puskesmas Cikolot, lelaki itu terlibat dalam seluruh kegiatan vaksinasi di lingkungannya. Negara sedang kejar setoran memenuhi target vaksin booster. Walhasil, hari-hari Dipa belakangan lebih banyak dihabiskan buat keliling dari titik ke titik untuk melihat orang disuntik. Kalau boleh memilih, pria ceking itu lebih suka bertugas di mal ketimbang kantor kelurahan. Vaksinasi di mal adem, tidak bertele-tele, sat-set bat-bet, dan selesai acara bisa melipir cuci mata. Di kantor kelurahan, dia harus mendengar pidato Pak Lurah yang lebih membosankan daripada tidak melakukan apa-apa selama dua jam!

"Saatnya kerja sampai tipes," ucap Dipa ngawur setelah prosesi tetek bengek keluarahan selesai. Karena tidak memiliki kompetensi teknis sebagai penyuntik, Dipa dan Teh Rina bertugas menjaga meja pendaftaran. Satu per satu warga kemudian maju sesuai nomor antrean. Di sana, mereka menunjukkan KTP seraya mengisi data diri pada formulir persetujuan vaksin. Proses ini penting sebab akhir-akhir ini sering ditemukan joki vaksin, oknum yang dibayar untuk disuntik atas nama orang lain. Bayarannya tidak main-main, rata-rata 800.000 rupiah per suntikan. Dipa sempat menghitung, dengan bayaran segitu, dia bisa mengumpulkan 8 juta rupiah dengan cepat setelah menerima sepuluh suntikan. Namun, ide gila itu segera disingkirkan karena Dipa tak ingin menjadi mutan.

Dua tahun pandemi telah melatih kecekatan dan kepiawaian para nakes menyelenggarakan vaksinasi. Sampai hari menjelang siang, seluruh prosesnya berjalan tanpa kendala. Hampir seluruh peserta telah selesai divaksin, tetapi belum ada satu pun warga yang pulang. Mereka menunggu paket sembako yang dijanjikan kelurahan. Beberapa menit kemudian, penantian mereka terjawab setelah dua mobil boks datang. Warga mulai riuh seiring diturunkannya seluruh bingkisan.

Dari mejanya, Dipa melihat Indra—temannya yang juga seorang staf kelurahan— agak kepayahan mengatur barang. Karena kasihan, Dipa berinisiatif membantunya setelah terlebih dahulu meminta izin kepada Teh Rina untuk meninggalkan meja.

"Ta' bantu, Ndra. Biar cepet."

"Oh, aman kok, Dip, udah mau beres. Habis ini gue mau manggilin warga satu per satu. Nah, gimana kalau lo bantu gue ngasih paketnya ke mereka?" pinta Indra. Dipa menyanggupi. Indra pun memulai panggilan.

Dua puluh nama telah menerima haknya dengan lancar. Hingga akhirnya, Indra berhenti di nama ke-21. Dia memandang nama itu sambil garuk-garuk kepala. Dipa yang menangkap kejanggalan segera bertanya, "Kenapa, Ndra?"

"Hm, Dip, gimana kalau nama yang ini, lo yang manggil? Enggak enak gue."

Dengan dahi mengerut, Dipa mengambil daftar nama dari tangan Indra kemudian melihat nama siapa yang dimaksud. Matanya sontak membeliak.

BERBURU RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang