Menangani Ajeng memang gampang-gampang susah. Gampang ketika hatinya sedang dalam suasana ceria. Susah saat Ajeng berada di fase premenstrual syndome alias PMS. Di fase itu, menjaga Ajeng jauh lebih rumit ketimbang membangun kapal kayu pinisi. Dalam membangun kapal kayu pinisi, setidaknya harus melalui enam tahap: pemilihan kayu, pemotongan sesuai arah urat kayu, pemasangan pondasi, membentuk struktur badan kapal, pendempulan, dan pemasangan tiang layar. Semua harus presisi karena kalau tidak, kapal bakal tenggelam. Menangani Ajeng versi PMS? Dipa hanya bersandar pada keberuntungan. Dan hari ini, Dipa sudah menerima ultimatum via Whatsapp di sela-sela jam makan siangnya.
My Ginuk-ginuk : Mas, aku lagi PMS. Jangan bikin aku sebel.
Dipa menarik napas dalam lalu melakukan kegiatan ketik-hapus-ketik-hapus untuk memilah kata yang tepat untuk menjawabnya.
My Ginuk-ginuk : Ngetik apa? Lama banget.
Mas Dipa : Ya, Jeng.
My Ginuk-ginuk : Ngetik YA aja lama. Duh, kan aku bilang jangan bikin aku sebel.
Dipa mengacak muka sendiri. Mendadak, dia ingin tiba-tiba sudah minggu depan saja.
Mas Dipa : Udah makan siang, Jeng?
My Ginuk-ginuk : Gak minat. Mas ada cerita seru apa? Aku bosen nih.
Mas Dipa : Belum ada sih. Tapi Mas bisa ceritain dongeng Bawang Merah Bawang Putih. Mau?
My Ginuk-ginuk : Baca chatku yang awal.
Dipa menelan ludah.
My Ginuk-ginuk : Aku tuh sebenernya pengin ketemu Mas. Tapi kalau ketemu pasti sebel. Tapi kalau enggak ketemu, kangen. Piye dong?
YA GIMANA DONG, SULASTRI? Dipa ngedumel dalam hati.
Mas Dipa : Ta' kirim fotoku aja mau?
My Ginuk-ginuk : Maunya yang asli. Tapi yang asli nyebelin.
Mas Dipa : Ya wes, nanti pulang kantor ta' jemput terus kita ke alun-alun bogor ya. Kamu boleh ngeluarin emosi apa pun, Mas siap jadi samsak.
My Ginuk-ginuk : ☺
Dipa melanjutkan makan siangnya. Setelah menelan satu sendok nasi padang, dia bergumam, "Duh, Gusti. Kuatkan hambaMu dengan sabar."
****
Setelah memarkir mobilnya di stasiun Bogor, Dipa dan Ajeng turun untuk berjalan menuju alun-alun kota. Sebenarnya, Dipa biasa merapatkan mobilnya di pinggiran alun-alun. Lebih dekat dan tidak buang-buang napas. Namun, Ajeng menolak dengan dengan alasan kebersihan dan keamanan. Wanita itu meminta Dipa memarkir mobilnya di stasiun meski harus membayar lebih mahal. Toh, jarak antara stasiun dan alun-alun bisa ditempuh dengan berjalan kaki dan sesekali koprol. Dipa yang tak ingin dikutuk jadi mengkudu, tidak bisa berkata lain selain siap. Sebelum berangkat, mereka juga telah menanggalkan pakaian dinas dan menggantinya dengan setelan kasual, di kantor masing-masing. Alasannya pasti, mereka takut ada orang yang memotret diam-diam, mengunggah ke media sosial, dan viral dengan tajuk: PNS makan gaji buta.
Alun-alun kota Bogor siang menjelang sore itu tampak tidak begitu ramai. Masih menempel dalam ingatan Dipa, bahwa tempat ini dulunya adalah Taman Topi, salah satu objek wisata keluarga yang murah meriah di kota Bogor. Penduduk bisa healing tipis-tipis bersama keluarga dengan menikmati berbagai wahana di dalamnya: bom-bom car, odong-odong, komidi putar, dan lain-lain. Khusus buat Dipa, bom-bom car punya banyak jasa di hidupnya. Ketika Ajeng merasa kesal dengan pekerjaan atau orang-orang di kantornya, Dipa mengajak sang pujaan hati untuk main bom-bom car di taman topi dan menabrak semua orang. Ajeng pun girang kembali. Namun, Taman Topi stop beroperasi semenjak pandemi melanda. Dan, sejarahnya berhenti setelah pemerintah merombaknya menjadi alun-alun kota Bogor. Bukan sesuatu yang buruk, sebab alun-alun kota Bogor ternyata menyajikan suasana yang lebih menyenangkan dan menenangkan.
Dipa mempersilakan Ajeng duduk di satu bangku di bawah pohon rindang, sementara dirinya pergi ke penjual es krim puter tak jauh dari sana dan membeli dua cone.
"Kamu mau yang putih atau pink, Jeng?" tanya Dipa sekembalinya dari tukang es krim.
"Mas, itu yang kamu bawa warnanya putih semua. Pink-nya mana?"
"Pink-nya muncul ketika Mas beredar di dekatmu." Dipa duduk di sebelah Ajeng, lalu memberikan satu cone es puter. "Kamu enggak lihat di belakang Mas ada percikan-percikan love marna merah jambu?"
Ajeng tersenyum seadanya, malas. Melihat itu, Dipa paham pacarnya sedang tidak bisa diberi gombalan maut.
"Kenapa ya setiap PMS aku tu selalu mood swing begini? Kesel tauk, Mas."
"Setahu Mas, itu gara-gara terjadi penurunan hormon estrogen dan progresteron yang bisa memancing gejala fisik atau emosi. Dan ternyata, kondisi itu berpengaruh pada kadar sorotonin yang punya peran dalam ngatur suasana hatimu. Terus—"
"Mas," potong Ajeng. "Enggak semua pertanyaan harus dijawab. Apalagi pertanyaanku yang retoris itu. Harusnya kamu bisa bedain dong? Lagian, aku juga tahu kok ini tuh masalah hormon," balas Ajeng yang tiap katanya mengalami kenaikan nada.
Duh, salah lagi.
Bingung di kepala Dipa mengundang sunyi. Bagaimana lagi, sepertinya pergerakan Dipa selalu salah di mata Ajeng hari ini.
"Kok diem, Mas?"
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Dipa.
"Mas!"
"I-itu retoris atau bukan, Jeng?"
Ajeng langsung memukul-mukul lengan Dipa dengan kekesalan memuncak. Dipa meringis kesakitan.
"Jeng, ampun. Satu pukulan lagi, lenganku jadi lemes kayak wayang kulit."
"Abis Mas Dipa ngeselin. Enggak ada yang bisa diceritain gitu? Tentang apa kek. Ah, atau tentang Om Genta, gimana?"
"Sejak gowes di kebun raya, Om Genta enggak kontak aku lagi, Jeng."
"Kenapa bukan Mas Dipa aja yang inisiatif menghubungi?"
Dipa menggaruk kepalanya. "Gimana ya, Jeng, hmm..." Dengan kondisi mood Ajeng yang senggol-bacok, Dipa kesulitan mencari kata-kata yang pas. Ajeng benar, dia harusnya berinisiatif lebih untuk menghubungi Om Genta. Harusnya dia tidak berpangku tangan, menunggu bola. Namun, tidak bisa dimungkiri, menghubungi Om Genta sama dengan merelakan diri untuk berlari lima putaran, latihan lompat jauh, bersepeda sampai jelek, dan kegiatan memeras keringat lainnya. Itu yang bikin Dipa malas. Keseimbangan hidup yang dia yakini jadi terganggu. "Akhir-akhir ini, Mas lagi banyak kerjaan," dalih Dipa.
Jawaban itu rupanya tidak memuaskan Ajeng. Mata, hidung, alis, dan semua yang ada di wajahnya mendadak berkumpul jadi satu di titik tengah. "Kok jadi kendor sih, Mas? Katanya mau berjuang? Lagian, olahraga itu bagus buat kesehatanmu. Atau jangan-jangan, Mas mulai ragu tentang hubungan kita?"
Dipa langsung berkata tidak. "Mas cuma—"
Suara ponsel tiba-tiba menghentikan kalimat Dipa. Dia langsung mengambil benda itu dari sakunya dan nama yang sedang jadi objek pembahasan muncul di layar. Om Genta panjang umur.
"Assalamualaikum. Ya Om. Enggak, ini lagi sama Ajeng. Kebun Café? Ya tahu, Om, yang di dekat kantor pemda kan? Sekarang? Sebentar, Om." Dipa lalu menoleh ke arah Ajeng, menjauhkan ponselnya sejenak, dan bertanya, "Om kamu ngajak ketemuan sekarang, piye?"
Dengan pasti pacarnya menjawab, "Berangkat, Mas."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
BERBURU RESTU
HumorDipa cuma ingin menikahi Ajeng di KUA. Tanpa resepsi. Tanpa ingar bingar pesta. Menurutnya, resepsi pernikahan hanyalah bentuk kesombongan, pamer, dan buang-buang uang. Belum lagi ribetnya, ampun dah! Ajeng sih tidak masalah menikah di KUA saja. Kal...