BAB 10: BERBURU RESTU ITU BERAT

55 6 2
                                    


"Ngapain, Dip?" Teh Rina menghampiri Dipa yang sedari tadi berkutat di layar laptop dengan dahi berkerut.

"Teh, masih setengah jam lagi loh," balas Dipa setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 13.30, sementara Teh Rina sudah mencangklong tas. "Udah mau kabur aja?"

"Persiapan." Ibu hamil itu lalu sedikit menjulurkan lehernya, ingin melihat apa yang sedang koleganya kerjakan. "Kamu teh mau buka bisnis, Dip? Bisnis apah? Narkoba?" tanya Teh Rina setelah melihat monitor Dipa tengah menampilkan situs web yang menyajikan informasi ruko-ruko berstatus dijual atau disewakan.

"Dari semua komoditas yang bisa ditebak, kenapa narkoba sih, Teh?" tanya Dipa retoris, menanggapi canda Teh Rina. "Bukan aku yang mau buka bisnis. Tantenya Ajeng, Teh. Aku cuma bantuin."

Terdapat perbedaan definisi bantuin antara Dipa dan Tante Citra. Menurut Dipa, bantuin berarti menolong tipis-tipis sesuai buah pikiran Tante Citra. Namun, bagi bibi pacarnya itu, bantuin berarti Dipalah yang melakukan semuanya dari pencarian lokasi, tata letak ruangan, perhitungan jumlah pegawai, strategi pemasaran, hingga pendekatan dengan ormas setempat agar terhindar dari pemalakan. Pokoknya Tante Citra tahu beres. Walhasil, sekarang Dipa sakit kepala sebelah walaupun sudah bagi tugas dengan Ajeng.

"Emang kamu ada pengalaman ngebisnis, Dip?"

"Hmm, pernah sih waktu SD coba jualan es mambo. Enggak banyak, cuma 5 biji hasil bikin sendiri di rumah."

"Laku?"

"Karena cuaca lagi puanas, ta' makan sendiri."

"Geblek."

Dipa menghela napas. "Ini kalau enggak demi restu keluarga besar Ajeng, aku yo males, Teh."

"Oh, lagi nyoba ngambil hati ceritanyah?"

Dipa mengangguk dan memberi penjelasan singkat bahwa untuk meloloskan niatnya nikah tanpa resepsi, dia harus memperoleh restu dari satu demi satu keluarga Pak Guntur Hadi Winarno.

"Lagian, kalo dipikir-pikir kamu teh aneh, Dip. Pesta pernikahan kan hajatan pihak cewek, biaya dari cewek, dari bapaknya Ajeng. Artinya, semua beban ada di keluarga Ajeng. Kamu mah tinggal duduk manis, ngikutin apa maunyah, beres. Kenapa musti kekeuh nikah di KUA ajah?"

"Ini bukan masalah biaya, Teh. Tapi, ini prinsipku," terang Dipa. Masih membekas di ingatan, bagaimana kuliahnya nyaris berantakan gara-gara Ayah terlilit utang, sehingga dia harus bekerja sambilan untuk membiayani kuliahnya sendiri. Dipa tak mungkin lupa betapa sulitnya ekonomi keluarga saat itu. Dan, hanya ada satu penyebab mengapa masalah itu terjadi: resepsi pernikahan Mbak Saras. Dipa tidak membenci Kakaknya, Dipa hanya tidak suka almarhum Ayah mengambil keputusan serampangan tanpa mempertimbangkan risiko ke depan. "Teteh juga awalnya pengin di KUA aja, kan? Harusnya ngerti dong."

"Ya beda atuh. Kalau di kasus Teteh kan, emang kemauan awal kami berdua buat nikah di KUA ajah. Walau enggak berhasil."

"Ajeng juga mau kok nikah di KUA aja."

"Iya-iyah," ucap Teh Rina setelah Dipa terindikasi bakal berubah jadi siluman ular jika perdebatan dilanjutkan. "Ya udah, kamu lanjut weh bertapanyah. Teteh turun duluan."

"Teh, belum waktunya pulang ini."

"Dih, siapa yang mau pulang? Teteh cuma mau mastiin mesin finger print-nya masih ada di situ. Daah..."

Teh Rina berlalu, menghilang dengan cepat dari pandangan Dipa. Laki-laki itu lalu kembali tenggelam dalam pencarian calon lokasi cabang bisnis Tante Citra di internet. Dia memang sudah mengantongi beberapa lokasi potensial, tetapi rasanya masih kurang banyak. Dipa butuh satu atau dua lokasi lagi. Sampai panggilan telpon dari Ajeng menghentikan aktivitasnya.

BERBURU RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang