BAB 18: BIAR OTOTMU TIDAK MELINTIR

40 6 2
                                    

Selesai sosialisasi di posyandu siang itu, Dipa bergegas kembali ke puskesmas. Hari ini dia berencana pulang tenggo (begitu teng langsung go) alias pulang tepat waktu untuk menunaikan tugas mulia menemani Om Genta berlatih cabang olahraga yang bikin Dipa tidak bisa tidur: tolak peluru. Sejumlah pertanyaan sudah menumpuk sejak semalam dan laki-laki berkumis tipis itu akan mengutarakannya nanti.

Di puskesmas, Dipa mendapati suasana yang ganjil. Biasanya, jam pulang kerja yang semakin dekat selalu menyisakan sepi. Namun, Dipa menangkap kerumunan pegawai di dekat laboratorium. Teh Rina—salah satu oknum yang ada di sana—keluar dari keramaian dan menghampiri Dipa sambil senyum bahagia seperti menang lotre.

"Ada apa, Teh?"

"Ituh, ada kenalannya dr. Adrian. Dia habis vaksin booster."

"Dr. Adrian Puskesmas Kebon Asin? Kok disuruh vaksin di sini?"

"Stoknya lagi abis di sana, Dip."

"Ooh... trus kenapa Teteh bahagia banget liat orang disuntik? Ganteng ya?"

"Ganteng sih hampir yah, Dip. Yang jelas mah kaya, orang pengusaha kedai teh! Tapi bukan itu sebabnya. Info dari dr. Adrian, temennya itu punya sindrom sinemastika, eh, sinemes...., simasta...., ah lieur! Pokokna mah dia bisa ngerasain nama-nama kita, Dip. Nama Teteh aja rasanya kayak melati katanyah."

"Serem dong?"

"Yee... yang penting wangi. Dari pada si Linda noh, katanya namanya berasa kayak semen yang udah dicampur pasir. Bisa kali buat bangun rumah, haha!"

Dipa garuk-garuk ubun-ubun. "Ngibul kali dia? Aku ora percoyo!"

"Awalnya kita juga enggak percaya, tapi anak-anak tadi googling ternyata beneran ada sindrom simenes-simenes apa gitu lupa namanya ih, bentar." Teh Rina segera mengambil ponselnya dan melakukan pencarian cepat. "Ah, ini dia, sinestesia!"

Bibir Dipa melengkung ke bawah, masih tidak percaya.

"Kalo enggak percaya, coba aja sendiri sono. Mumpung Pak Raga-nya masih ada."

Bersama rasa penasaran yang bercampur dengan curiga, Dipa melangkah mendekati kerumunan. Dia merasa sosok yang bernama Raga itu tengah berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman dibalik senyum formalitas. Namun, Dipa tak peduli. Dia pengin membuktikan ucapan Teh Rina.

"Mas Raga, perkenalkan aku Dipa Endaru. Menurut Mas Raga, namaku rasanya apa?"

Ada sekitar dua detik Raga menatap wajah Dipa tanpa keluar sepatah jawaban pun. Detik selanjutnya, dia menunduk, memegang hidung, dan tampak ragu untuk berkata-kata.

"Enggak apa-apa, Mas Raga. Bilang aja... aku jadi makin penasaran nih."

"Be-beneran enggak apa-apa?"

"Santai wae. Kayak apa, Mas?"

"Eek kuda."

****

Pecahan tawa Ajeng terdengar membahana di langit-langit mobil Dipa. Lelaki itu habis menceritakan rasa nama yang didapatnya dari puskesmas tadi.

"Habis denger itu, rasanya pengin cepet-cepet mandi, Jeng," tutupnya sambil melihat spion kanan. Menelpon sambil menyetir tentu bukan kegiatan yang direkomendasikan polisi dan pastinya bakal ditilang jika ketahuan. Namun, Dipa tak ambil pusing sebab selama dia mampu menjaga konsentrasinya, semua bakal aman-aman saja.

"Aku jadi pengin tahu, kira-kira nama Ajeng Gantari rasanya apa ya, Mas?"

"Kalau itu enggak perlu nanya dia, Mas juga tahu kok."

BERBURU RESTUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang