Tenggelam dalam Kehampaan

58 22 4
                                    

Beberapa hari ini aku benar-benar sibuk, sangat sulit untuk membagi waktu antara kuliah dan organisasi kampus. Tugas-tugas dan laporan praktikumku terbengkalai, dari 10 mata kuliah yang aku programkan semester ini sudah 6 mata kuliah dipastikan eror. Ah, apa yang aku lakukan selama ini? Apakah aku harus pasrah kuliah 7 tahun? Atau pasrah DO karena tidak mencukupi nilai IPK minimum? Mana semangat kuliahku di hari pertama aku menginjakkan kaki di kampus ini?

Tugas terbengkalai, laporan praktikum terbengkalai, absensi kuliah berantakan, bahkan di beberapa mata kuliah aku tidak mengikuti sesi ujian akhirnya. Apa ini? Kenapa semakin lama aku semakin larut tenggelam dalam kehampaan yang aku sama sekali tidak tahu apa penyebabnya? Apa yang salah dengan diriku? Malas pun sebenarnya bukan alasan, organisasi hanya menjadi kambing hitamku. Ke mana aku selama ini?

Semakin lama semakin hampa, mengikuti organisasi tidak dapat mengisi kehampaan ini, bergaul bersama teman-teman dan senior di kampus pun rasanya masih hampa. Ada ruang kosong yang terus membesar menelan semangatku. Ini seperti sebuah perjalanan yang benar-benar sepi dan gelap, sangat gelap di luar dari kegelapan yang dapat dibayangkan. Aku hanya melangkah tanpa kepastian, dalam keadaan seperti ini, akan ke manakah aku akan pergi? Dan seberapa jauh langkahku akan pergi? Langkah tak pasti ini membawaku pada dua pilihan, antara harapan dan keyakinan. Harapan adalah menanti sebuah uluran tangan yang menuntunku ke arah yang benar, sedangkan keyakinan adalah terus melangkah lurus ke depan dan memilih jalanku sendiri. Dan aku hanya diam, takut melangkah sendiri dalam gelap namun tak ada satupun uluran tangan dapat aku genggam.

Sudah dipastikan aku hanya melulusi 3 dari 10 mata kuliah yang aku programkan semester ini, dengan IPK hanya 1,68 membuatku semakin putus asa. Berarti semester depan aku harus melulusi 11 mata kuliah dengan IP di atas 3. Astagaaa. Kalau aku tidak melakukannya berarti aku harus DO dari kampus ini. Aku ingin bebas dari belenggu kehampaan ini aku tidak meminta banyak seperti pagi yang mengharapkan datangnya sinar matahari atau hujan yang mengharapkan datangnya pelangi. Tidak, itu terlalu tinggi bagiku.

Sudah sebulan kegiatan pengkaderan untuk mahasiswa baru Kelautan telah berjalan, aku mengikutinya karena hanya untuk menghibur diriku dibalik kepanikan mengingat aku yang terancam DO semester depan. Aku duduk di belakang bersama para pengurus HMJ, Ciko sudah ada disana jadi aku tidak perlu menjadi pendamping maba lagi. Mempermainkan para maba, memberikan mereka nama-nama aneh, dan memberikan mereka perintah-perintah lucu membuat para senior tertawa. Aku hanya tersenyum melihat gelak tawa yang berhamburan ketika para maba melakukan hal-hal lucu selama pengkaderan.

Saat malam telah tiba, rapat pengurus dan panitia pengkaderan telah selesai. Aku benar-benar lelah, jadi aku langsung pulang ke indekosku yang lokasinya tidak terlalu jauh dari daerah kampus. Sesampai aku di sana, tiba-tiba Ciko datang menghampiriku meminta tolong.

"Dik, bantu gue dik. Gue lagi buntu banget." kata Ciko sambil memohon.

"Masuk dulu cik, capek nih. Mau sandaran dulu." balasku.

Kami memasuki indekosku yang biasa ini, indekos campuran dimana siapapun bebas untuk menyewa kamar yang tersedia di sini. Kamarku pun tidak terlalu besar tidak terlalu kecil, ukurannya pas untuk diriku dan temanku jika ada yang datang menginap. Agak berantakan, tapi menurutku itu rapi. Kami kemudian duduk dan aku bersandar di tembok, mendesah karena lelah lalu meregangkan badan.

"Lu mau dibantu apa?" tanyaku kepada Ciko.

"Ah iya lupa, kopi buatan lu enak tambah cemilan jadi bablas lupa tujuan awal hehe. Gini Dik, bulan depan ada persembahan yel-yel setiap kelompok. Nah gue lagi buntu Dik, ga tau harus ajarin yel-yel apa ke adek dampingan gue. Lu kan pintar nih, jago nyusun kata-kata lagi, tahun lalu kelompok lu bagus waktu yel-yel, siapa tau dong bisa ajarin mereka yel-yel." jawab Ciko penuh harap kepadaku.

"Astaga, iyaa.. iyaa. Gue bantuin. Infoin aja adik dampingan lu kapan latihan dan tempat latihannya. Gue bisa langsung nyusul. Sekarang gue rencanain dulu konsep yel-yelnya, nanti gue kirim kalau udah jadi konsepnya. Oh iya, kantin sebulan gratis. Oke?" tawarku.

"Oke sip." jawab Ciko dengan mantap menyetujuinya.

"Mantap, oh iya Cik. Gimana kabar Intan? Lu ada peningkatan?" tanyaku mengingat kami pernah bersaing mendekati seseorang bernama Intan ini.

"Ga ada Dik, malah jarang chatan lagi. Mungkin sudah ada pacar kali." balas Ciko.

"Lah, gue kemarin habis jogging berdua loh hahaha. Cari yang lain yuk, gak seru kalau lu udah nyerah duluan." tawarku setelah melihat Ciko yang kurang semangat, aku jadi kasihan.

"Nah bisa tuh." Ciko langsung semangat.

"Lu tau gak, salah satu penghuni indekos ini cantik loh. Dua hari yang lalu gue udah kenalan, dia dari universitas swasta dekat sini. Cantik beneran, astaga suaranya lembut lagi. Namanya Dewi." aku berusaha meyakinkan Ciko.

"Beneran Dik? Mantap tuh. Kapan nih bisa? Sekarang? Kamarnya mana?" Ciko langsung semangat, dasar.

"Lah, digas dong. Sabar dulu. Kamarnya ada di depan, lu bisa langsung ke sana kok. Dia pinjam novel gue, bisa lu jadiin alasan kan hahaha." aku meminta Ciko untuk tenang dan sabar.

"Mantap! Lu emang keren Dik, pasti ada aja cara lu bisa dekat sama cewek. Peranakan buaya lu yah." mulut Ciko memang gak ada rem.

Percakapan kami terus berlanjut, sebenarnya aku tidak ada niat kenalan sama perempuan yang satu indekos denganku. Hanya kebetulan saja dia melihat buku yang aku baca dan dia tertarik untuk meminjamnya, jadi aku pinjamkan. Kami mengobrol sangat lama, Ciko sudah tidak sabar untuk segera berkenalan dengan Dewi. Obrolan kami bertahan hingga jam 12 malam, Ciko akhirnya pamit untuk pulang dan aku akhirnya bisa beristirahat.

Sudah dua hari berlalu, Sabtu dan Minggu aku lewatkan untuk termenung memikirkan masa depanku yang akan hancur bagaimana setelah aku harus DO dari kampus ini. Mataku hanya terpaku pada langit-langit kamar, kedua tanganku berada di antara bantal dan kepalaku sesekali memijit keningku yang semakin pusing. Apakah aku bisa melewati semester depan dengan baik?

Memikirkannya saja sudah membuatku sangat lelah, jalani saja. Hasil akhirnya biar Tuhan yang tentukan. Kemudian aku mengambil smartphoneku, melihat sebuah notifikasi Whatsapp. Nomor baru, siapa? Perasaan akhir-akhir ini tidak pernah memberi nomor Whatsappku ke orang baru. Dewi? Nggak mungkin, aku belum pernah memberinya satu pun kontak media sosialku.

Aku membuka pesannya, "Assalamualaikum kak, maaf mengganggu kak, konsepnya sudah selesai kakak buat belum?" dahiku mengernyit, siapa? Konsep apa? Aku kemudian melihat profil orang mengirimiku pesan tadi, setelah membaca namanya aku baru tersadar dan melompat segera mengambil laptopku, aku lupa "Astaga" teriakku.

Anggun, nama itu ada tertulis dalam profilnya.

Sandiwara TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang