Havan kecil sering bertanya-tanya, apa yang dibicarakan orang dewasa dengan raut wajah serius dan suara yang lirih. Dari sudut pandangnya yang lebih rendah para orang dewasa itu terlihat sangat lelah, tua dan hidupnya seolah murung setiap hari. Havan kecil sering berpikir, kenapa orang dewasa tidak bermain kejar-kejaran lagi? Kenapa mereka sudah sangat jarang menonton televisi? Kenapa mereka suka sekali makan terburu-buru? Kenapa mereka selalu bejalan dengan dagu terangkat dan mata memicing seolah pemandangan yang disuguhkan oleh dunia tidak selalu menghibur? Betapa membosankannya dunia orang dewasa termasuk ayah dan ibunya.
Havan selalu dilanda bosan setiap kali kedua orang tuanya berbincang dengan kerabat, kolega bahkan rekan kerja mereka. Pembicaraan mereka tidak pernah seru. Yang Havan tangkap, mereka selalu membahas masalah ini dan itu seolah hidup ini hanya diisi masalah tak berkesudahan yang tidak mengijinkan manusia tersenyum barang sesaat.
Untungnya, Taran selalu mampu menyelamatkannya dengan menarik tangan mungilnya. "Ayo main bola saja," ujar kakak laki-lakinya yang lebih tinggi satu jengkal darinya.
Kata bunda, mereka terlihat seperti anak kembar dan Taran menyukai gagasan itu. Bunda akan selalu memakaikan pakaian dengan model dan warna senada untuk mereka berdua. Tatanan rambutnya juga disisir dengan gaya yang sama. Taran tidak pernah keberatan tapi Havan sebaliknya. Dia ingin lebih keren dari Taran.
Di matanya Taran terlihat luar biasa. Kakaknya itu bisa menendang bola dengan keras sampai memecahkan pot bunga di beranda. Kakaknya itu juga bisa memanjat pohon lebih gesit, berlari di labirin dan keluar lebih dulu, menyusun puzzle dengan cepat dan berkuda dengan lihai. Yang membuat Havan semakin kagum, Taran selalu tahu banyak hal seolah otak laki-laki itu berisi semua informasi keren dunia.
"Lempar kemari bolanya, Havan!" pinta Taran yang berdiri sedikit jauh di seberang Havan.
"Tidak ditendang saja?" tanya Havan yang me jatuhkan bolanya di ujung kaki, siap untuk menendang.
Taran menggeleng. "Jangan. Nanti kalau kita lupa dan menendang terlalu keras lalu mengenai jendela bagaimana? Repot."
Masuk akal, pikir Havan. Taran selalu lebih tahu dan paham darinya.
Mereka sedang berada di sebuah gereja kuno di desa terpencil. Parahnya yang membuat Havan dan Taran geleng-geleng kepala adalah sekeliling gereja terdapat banyak nisan tua. Kata ayah mereka ini adalah makam leluhur desa dan dirawat karena ada beberapa yang menyimpan artefak.
Taran dan Havan memang sering ikut kedua orang tuanya melakukan kunjungan rutin. Selain karena bisa jalan-jalan alasan lainnya adalah Havan bosan di rumah. Kali saja dia bertemu teman baru yang bisa diajak bermain bola. Akan lebih seru jika bermain beramai-ramai.
Mereka bermain saling mengoper bola. Sesekali Havan menendang bolanya dengan pelan. Dia harus bisa mengatur seberapa banyak kekuatan yang dia keluarkan hanya untuk sebuah bola. Taran balik menendang bola. Laki-laki itu kadang berlari seolah sedang menggiring bola di antara lawan, baru menendang pelan ke arah Havan.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DAWN NEVER COMES
Fantasy[FANTASY - AU] Ada yang aneh dengan kasus kematian di kota Durham beberapa hari terakhir. Semua korbannya adalah remaja dan mereka mati kering. Belum ada kejelasan pasti penyebab kematian. Namun satu yang pasti, mereka dibunuh. Florey yang acuh tak...