PROLOG

429 69 8
                                    

Eowynasch Falls Castle

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eowynasch Falls Castle

Istana ini megah hanya dilihat dari bayangannya yang terlukis dari sinar rembulan. Ditopang oleh bukut bebatuan cadas dan dikelilingi oleh hutan pinus lebat. Dindingnya yang kokoh diselimuti oleh tanaman sulur dengan bunga-bunga beraroma wangi. Lantai marmernya mengkilap sekaligus dingin. Jendela-jendela kaca yang tinggi membiaskan cahaya bulan menjadi kilasan pelangi indah.

Seorang laki-laki sedang duduk di salah satu sofa beludru megah. Satu kakinya menyilang dan tangannya menyangga buku bersampul kulit.

"Ada manusia yang mati lagi?" tanyanya sebelum seorang berjubah yang datang menghampirinya membuka suara. "Kali ini berapa?"

Laki-laki berjubah itu menghembuskan napas kesal. Perjalanan panjang dan kabar buruk mampu merengut semua energinya. Jubahnya disingkap. Kakinya berderap mendekati sebuah meja panjang berisi gelas-gelas mengkilap. "Sepuluh dalam seminggu," balasnya sembari menuangkan sebuah cairan merah pekat ke dalam gelas piala.

"Wow!" seru laki-laki berparas tampan. Dia menutup bukunya dan menegakkan tubuh. "Dia sudah keterlaluan. Ini sudah di luar batas normal."

Lawan bicaranya mengangguk setuju.

"Juniper, kau tidak berpikir Bunda akan memintaku untuk menggantikannya, kan?" tanya laki-laki tampan itu.

Juniper, si pengawal paling setia sekaligus teman baik hanya mengedikkan bahunya. Seharusnya itu bukan sebuah pertanyaan karena jawabannya sudah jelas. "Sepertinya lebih dari itu," jawabnya.

Laki-laki itu terdiam. Ada banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya. "Aku tidak siap, tidak akan," gumamnya.

Juniper mendekat dan menepuk bahu sang pangeran muda. "Havan, since the king died and your brother decided to betray the clan, you have known for certain your destiny."

Tak perlu diingatkan, dia sudah tahu. Dia hanya tidak ingin takdir itu tampak begitu jelas baginya. Havan hanya ingin menampiknya.

"The Queen calls you," ucap Juniper sembari meletakkan gelasnya dan mengusap sisa cairan di tepian bibirnya.







Ruangan ruang dengan pilar-pilar tinggi itu menyimpan magis aneh. Rasanya terlalu dingin menurut Havan. Terhitung sejak kematian ayahnya, singgasana itu terasa begitu mencekam daripada sebelumnya. Membayangkan dirinya duduk di kursi itu mampu membuatnya tidak bisa tidur berhari-hari. Namun, melihat sang ibu duduk di sana dan kesulitan, jauh membuatnya tercekik.

"Kenapa repot-repot mempertahankannya saat dia bahkan mencelakai klan sendiri," protes Havan begitu dirinya sampai. Tidak ada membungkuk, tidak ada salam. Laki-laki itu menatap tegas ke arah ibunya.

Juniper berdeham untuk mengingatkan Havan. Sang ratu sedang kesal malam ini sejak berita kematian para manusia itu terdengar olehnya.

"Kirim saja prajurit dan bunuh dia," usul Havan terdengar seolah tidak memiliki hati. Sesaat kemudian dia menyesali ucapannya. Dia tidak sampai hati jika harus melihat saudaranya sendiri mati.

"Sekutunya bertambah. Ini semakin menyulitkan. Jangankan membunuhnya, menemukan keberadaannya saja terasa mustahil," bisik Juniper pada Havan.

Sang ratu menarik napas panjang. Dia menatap lekat-lekat putranya. "Kau benar. Akan lebih baik jika kita membunuhnya sejak awal."

Sungguh, Havan tidak serius dengan ucapannya. Dia hanya terbawa emosi.

Juniper hendak menahan ide sang ratu jika dia benar-benar memerintahkan prajurit untuk membunuh pangeran mahkota. Namun, terlambat.

"Cari kakakmu dan seret dia kemari. Jika perlu, bunuh dia!" Perintah itu bagai mantra yang harus dipatuhi. Seketika, hawa di ruangan ini sudah terasa seperti berdiri di antara badai salju.

Havan, laki-laki itu menegang. Dia tahu, ulah saudaranya memang sudah di luar batas wajar. Menghukumnya dengan memotong tangannya tidaklah cukup. Havan juga tahu, ibunya sudah murka. Dia juga menyesal telah memberi usul gegabah. Namun, membunuhnya itu urusan lain. Bahkan Havan tidak tahu apakah dia bisa melakukannya atau tidak.

"Juniper, temani dan jaga Havan hingga misinya selesai," titah sang ratu.

Sekali perintah tetap perintah. Juniper menunduk tanda hormat. "Siap, Yang Mulia Ratu Amarantha.

Malam ini, Havan tidak lagi punya pilihan selain menyeret saudaranya kembali ke tempat asal mereka. Apa pun keadaannya, Havan tidak akan membunuh saudaranya sendiri.

[]






August 22, 2022

THE DAWN NEVER COMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang