20| Towards Fantasy

130 19 53
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.






Ruangan seluas lima kali lima itu dibiarkan berantakan. Masih tersisa bekas-bekas olah TKP dengan garis polisi yang malang melintang. Pendingin ruangan dibiarkan menyala dengan suhu rendah. Lampu dibiarkan mati, hanya mengandalkan sisa-sisa cahaya senja yang meredup dan hampir raib. Sorot cahayanya menerobos pintu dan jendela balkon yang diibiarkan terbuka mengundang angin. Debu-debu mengambang, tampak menyesakkan dan memuakkan.

Ruangan ini sama dinginnya dengan seonggok daging hidup yang meringkuk diam di sofa. Raganya nyata namun seluruh jiwanya hampa dan pikirannya entah bercecer di mana. Hatinya sama bekunya dengan besi-besi dan kayu dalam ruangan ini yang terasa dingin menggigit akibat suhu ruangan yang terlampau rendah.

Hanya ada suara tarikan napas dan hembusan napas tanpa daya.

Tidak ada lagi hal yang bisa dilakukan Florey saat ini selain meratapi sofa di hadapannya, tempat di mana Mykah meregang nyawanya di tangan Taran.

Laki-laki itu ....

Florey mendesis kesal. Gadis itu sekali lagi melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Dengan sisa akal sehatnya, dia mengumpulkan semua fokusnya pada satu titik dan memanggil Havan. Entah berapa kali dalam hari ini Florey mengirim telepati untuk laki-laki itu.

Ruangan ini sudah benar-benar bermandikan gelap. Kesiur angin menerobos masuk melalui celah pintu yang terbuka. Semakin lama, angin bertiup semakin kencang seiring dengan hawa dingin yang melingkupi. Kilat menyala di langit, disusul suara gemuruh guntur. Sesaat setelahnya, hujan turun dengan derasnya.

Florey menekuk lutut dan memeluknya. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di ceruk lutut. Tiba-tiba aroma kayu sage dan amber menggelitiki hidung Florey. Tanpa gadis itu menoleh ataupun menilik, dia tahu siapa yang baru saja datang ke tempatnya.

Havan berdiri di balkon, menatap ruangan gelap yang menyembunyikan Florey di sana. Laki-laki itu bersandar pada pagar balkon. Tubuhnya sedikit basah tapi dia tidak merasa kedinginan sama sekali. Kakinya melangkah pelan menyebrangi pintu. Dia bisa merasakan sisa aura Taran di ruangan ini dan bekas-bekas ulah kakaknya pada Mykah dan Florey. Dada Havan seperti ditikam benda tumpul saat melihat gadis itu hanya meringkuk di sofa tanpa daya.

Dia mengambil tempat di samping Florey dan menatap gadis itu tanpa berniat mengusiknya. Jika ditanya bagaimana perasaan Havan saat ini, dia ingin mengoyak semua orang yang membuatnya kesal termasuk Taran sendiri. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Seharusnya dia memercayai instingnya kemarin. Seharusnya Havan tidak terkecoh dengan umpan Taran dan bertarung mati-matian untuk sesuatu yang sia-sia sedangan seseorang yang dia khawatirkan justru dalam bahaya.

"Tidak ada yang bisa membawa Mykah kembali," gumam Florey dengan suara parau.

Havan hanya diam membisu. Semua kalimat yang ingin dia ucapkan terasa salah.

"Dia dibunuh dihadapanku," lanjut Florey. Gadis itu mendongak dan menatap Havan.

Meski ruangan ini gelap dan hanya mengandalkan sorot cahaya dari luar, tapi Havan mampu melihat dengan jelas ekspresi marah dari tatapan gadis di hadapannya. Havan mengulurkan tangan, hendak menyentuh tangan gadis itu tapi seketika berhenti.

THE DAWN NEVER COMESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang