Havan berjalan masuk ke dalam kelas. Pandangannya langsung tertuju pada seorang gadis yang sedang duduk melamun. Gadis itu memegang tablet yang menyala namun pandangannya menatap kosong ke arah papan tulis.
Pagi ini, Havan memilih duduk di deretan tengah daripada di belakang. Dia memilih duduk di samping Florey yang bahkan tidak menyadari kehadirannya.
Bukan hanya Florey yang terlihat murung hari ini, tapi hampir seisi kelas. Mereka serempak mengenakan pakaian hitam termasuk Havan. Ah, kecuali Florey yang memakai pakaian secerah warna langit. Gadis itu seperti melakukan aksi menolak berkabung. Selama kelas berlangsung, tidak ada mahasiswa yang ramai atau aktif seperti biasa. Mereka cenderung menanggapi mata kuliah seadanya.
"Florey, I feel sorry for Dahlea," ucap seorang mahasiswa yang duduk di deretan depan begitu kelas usai. Dia berbalik hanya untuk menggengam tangan Florey dengan ekspresi menyesal. Mahasiswa itu sempat melirik ke arah Havan dan melempar senyum seadanya, kemudian berlalu.
Havan menoleh ke arah Florey. Gadis itu bergeming. Posisi duduknya masih sama sejak sebelum kelas dimulai. Mejanya juga kosong, hanya ada tablet yang layarnya telah mati. Empat puluh menit dihabiskan oleh Florey dengan melamum.
"Hei, Flo," sapa mahasiswa yang mendatangi meja Florey. Seorang laki-laki dengan kacamata tebal. "Sorry for Dahlea."
Silih berganti mahasiswa di kelas memberikan ucapan belasungkawa dan dukungan untuk Florey. Mereka seolah tahu, Florey adalah sahabat dari Dahlea sejak tahun pertama. Namun, yang dilakukan Florey hanya mengangguk pelan, kadang hanya berkedip dan selebihnya memilih diam.
Hingga kelas sepi, Florey masih duduk bergeming dan Havan tetap ada di sampingnya.
"Florey," panggil Havan lirih.
Baru kali ini Florey menoleh dan menunjukkan mata lelahnya. Dari sorot matanya dia mempertanyakan mengapa Havan duduk di sampingnya, di tempat yang biasa diduduki Dahlea.
"You have to go," ucap Havan. Dia meraih tablet milik Florey dan mengambil ransel gadis itu, lalu memasukkannya. "Kelas ini sebentar lagi dipakai."
Florey hanya mengerjak dan mengangguk. Dia tahu dia harus pergi tapi raganya menolak untuk beranjak.
Havan tidak tahu harus melakukan apa. Dia hanya tidak ingin meninggalkan Florey sendirian. Melihat wajah sedih gadis itu saja terasa menyiksa. Rasanya Havan ingin mengoyak semua vampir-vampir kotor itu hingga raib. Sekilas dia melirik sebuah kotak kecil di samping Florey, kotak berisi kue.
"Come on," ajak Havan. Laki-laki itu sudah beranjak. Ransel Florey dia sampirkan di salah satu bahu. Tangannya terjulur untuk menarik gadis itu berdiri.
Florey mendongak. Ada pertanyaan besar yang bercokol di kepalanya. Jika seperti ini, Havan terlihat tampan dan keren. Andai laki-laki itu tidak meninggalkan kesan buruk saat pertemuan pertama mereka, mungkin Florey sudah menyukai Havan bahkan tergila-gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE DAWN NEVER COMES
Fantastik[FANTASY - AU] Ada yang aneh dengan kasus kematian di kota Durham beberapa hari terakhir. Semua korbannya adalah remaja dan mereka mati kering. Belum ada kejelasan pasti penyebab kematian. Namun satu yang pasti, mereka dibunuh. Florey yang acuh tak...